Suamiku Jadul
Part 33
(Niyet, si Danu dan Ilham sudah pulang)
Pesan WA dari Rapi siang itu. Danu dan Ilham adalah dua sepupunya yang melarikan sapiku. Segera
kubalas chat Rapi tersebut.
(Rapet, tahan dulu mereka, kami mau buat perhitungan)
(Itulah, mereka mau datang ke rumahmu, katanya mau bayar utang, lelah juga mereka jadi buronan) Balas Rapi lagi.
(Ya, Udah, silakan datang)
Segera kuberitahu pada Bang Parlin, Bang Parlin justru seperti tidak percaya, menurutnya itu sesuatu yang tidak mungkin, karena kedua orang tersebut belum setahun pergi, menurutnya mereka pulang karena uang telah habis.
“Siapa tahu masih rezeki kita, Bang,” kataku kemudian.
Benar juga, kedua orang itu datang bersama Rapi, akan tetapi orang tua mereka tidak ikut.
“Maafkan kami, Kak Nia,” kata Danu seraya menyalami aku dan Bang Parlin. Ilham juga menyalami kami seraya minta maaf.
“Oke, kalian kembalikan uang kami, kalian dimaafkan,” kataku kemudian.
“Bang Parlin, tolong kami, beri kami kesempatan kedua, akan kami ganti sapi itu,” kata Danu lagi.
“Kesempatan kedua maksudnya?” kata Bang Parlin.
“Begini, Rambo, mereka sudah sadar dan mengakui kesalahannya, jadi tolong maafkan, beri mereka kesempatan kedua, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua,”
“Langsung saja, aku bingung ini,” kata Bang Parlin. “Mereka kan ada utang, sekitar dua puluh anak sapi, jadi biar mereka bisa bayar, modali mereka lagi, terus
penghasilannya nanti potong utang,” Rapi menjelaskan.
Tiba-tiba Bang Parlin marah, belum pernah ku lihat Bang Parlin semarah itu, dia berdiri lalu tangannya menunjuk pintu.
“Pergi kalian dari sini!” hardik Bang Parlin. “Tapi Rambo ...”
“Tidak ada tapi tapi, pergi sekarang, kerbau saja tak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali,” kata Bang Parlin.
Rapi dan dua sepupunya lalu pergi dengan tergesa- gesa, bisa juga rupanya Bang Parlin semarah ini. HP-ku bergetar, kulihat ada pesan WA dari Rapi.
(Niyet, kata orang suamimu malaikat, yang mencuri di rumah kalian saja dikasih modal, malaikat apaan?)
Hahaha, dalam hati aku tertawa, ternyata itu alasannya, Rapi ini memang punya antena tinggi, dia cepat sekali mendapat berita. Mungkin dia berpikir Bang Parlin akan memodali sepupunya lagi, karena pencuri saja dimodali?
(Rapet, Rapet, bilang sama sepupumu itu cepat mereka ganti sapiku, atau mereka bisa celaka,) pesanku kemudian.
(Niyet, kok gitu sama temen?)
(Pertanyaan itu seharusnya untukmu, kok gitu sama temen? Kau mau manfaatkan kebaikan suamiku kan?)
(Iya, jujur saja, betul, karena kudengar pencuri di rumah kalian dibawa berobat, dikasih uang modal, adikmu juga mencuri di rumah kalian, dikasih juga sapi, kirain sepupuku juga akan begitu)
(Gila kau, Rapet)
“Aku paling benci orang yang begitu, dikasih kepercayaan malah berhianat,” suami masih mencak- mencak.
“Iya, Bang, sabar,” kataku kemudian. Kali ini aku yang menenangkan suami, biasanya dia yang menenangkan aku.
Akhirnya orang tua dari kedua sepupu Rapi datang lagi, kali ini mereka minta damai dan minta keringanan, kata mereka Danu dan Ilham sampai tak tenang hidupnya, sering mimpi dan mengigau. Bang Parlin mungkin sudah
mempergunakan ilmunya lagi. Mereka sampai jual tanah warisan untuk membayar uangku yang mereka larikan. Itupun masih kurang.
“Uangnya kita kemanain, Bang?” tanyaku pada suami ketika orang tua kedua anak muda tersebut mengganti kerugian kami sebagian. Totalnya seratus tujuh puluh juta.
“Itu uangmu, Dek, terserah Adek mau belikan apa,” jawab suami.
“Benar, Bang,” kataku riang gembira. “Iya, Benar, Dek.”
Wah, aku beli apa ya? Mobil, tanah? Akan tetapi aku selalu teringat tentang perkataan suami. Antara kebutuhan dan keinginan. Ternyata begini nasib orang kaya baru, sampai bingung uang mau dibelikan apa. Setelah berpikir tiga hari tiga malam, akhirnya uang tersebut kubelikan emas batangan, dan kusimpan di tempat tersembunyi di rumah, hanya aku yang tahu tempatnya.
Orang sabar rezekinya lancar, mungkin ungkapan itu tepat untuk Bang Parlindungan, biarpun beberapa kali ditipu, akan tetapi rezekinya mengalir terus. Sawit naik harganya, sapi makin gemuk saja, tak ada penyakit berarti seperti di peternakan lain.
Suatu hari aku dapat pesan WA dari Rara, isinya mengabarkan kalau saja Ayahnya sakit keras. Kalau kuberitahu suami, dia pasti akan pergi ke sana, kalau dia pergi, entah kenapa aku selalu cemburu bila dia bertemu Rara. Biarpun masing-masing sudah punya anak dan keluarga, akan tetapi sepertinya mereka masih menyimpan rasa. Aku bahkan ikut cemburu seperti suami Rara. Akan tetapi bila tak kuberitahu aku merasa berdosa pada suami.
“Bang, Rara tadi bilang, bapaknya sakit keras,” kataku akhirnya ketika malam tiba.
“Duh, sakit apa?” kata suami seraya mengambil HP-nya.
“Berapa nomor Rara?” tanya suami lagi.
Langsung kuberikan nomor tersebut, dan suami coba menelepon.
“Kok gak bisa, Dek?”
Duh, aku lupa, nomor Rara sudah kublokir dari HP Bang Parlindungan.
“Pakai ini aja, Bang,” kataku seraya memberikan HP-ku.
“Rara, Bapak kenapa?” tanya Bang Parlindungan lewat panggilan video.
“Bapak sakit, biasa, Bang, penyakit tua, bapak sudah tujuh puluhan lo,” jawab Rara dari seberang.
“Sekarang sudah bagaimana?, Rara,?”
“Sudah mulai baikan, sudah pulang dari rumah sakit,” “Kami ke sana ya?”
Tepat dugaanku, Bang Parlindungan pasti akan ke sana. Keesokan harinya, kami pesan tiket pesawat. Berangkat hari itu juga, bersama bayi kami yang baru delapan bulan. Ketika kami sampai, Bang Parlin langsung menyalami Bapak itu seraya salim. Air matanya menetes, Bang Parlin duduk di kursi dekat ranjang. Memegang jemari Bapak itu seraya berbisik ke telinganya.
“Innalillahi waina ilahi roji’un,” Pak dokter itu akhirnya berpulang ke rahmatullah. Tangis Rara pecah. Ternyata beliau hanya menunggu Bang Parlin.
Bang Parlin duduk bersila, membaca do’a sambil berurai air mata. Bapak itu akhirnya menyusul istrinya yang sudah meninggal lima tahun yang lalu. Baru aku tahu ternyata Rara itu anak tunggal. Kami di Bandung sampai tiga hari. Setiap malam selama di situ, Bang Parlin memimpin do’a ketika tahlilan.
“Pantas saja almarhum ngepans sama kau, Parlin, kau memang serba bisa,” kata suami Rara ketika kami hendak pulang. Dia antar kami sampai bandara.
“Terima kasih kunjungannya, aku jadi ikut ngepans sama kau ini, bisa meluangkan waktu sampai empat hari di sini, sedangkan saudara dekat saja hanya satu hari,” kata suami Rara lagi sebelum akhirnya kami berangkat.
“Habis dari sini kita ke kampung ya, Dek, jangan khawatir, sinyal sudah masuk ke daerah kita,” kata Bang Parlin ketika kami di pesawat.
“Iya, Bang,” jawabku, aku memang ingin ke kebun sawit, di sana damai.
Sampai di Medan kami langsung bersiap menuju kampung, sekalian mengantarkan obat-obatan pertanian.
Seorang sopir kami bayar. Aku memang sudah rindu kampung halaman suami. Ingin tahu bagaimana perkembangan sekolah yang kami dirikan.
Perjalanan lima belas jam yang melelahkan, akan tetapi aku sudah mulai terbiasa mengikuti suami dengan perjalanan jauh, si Ucok kami pun tidak rewel.
Begitu sampai kami langsung disambut dengan laporan demi laporan. Sapi yang beranak, sawit yang butuh obat dan pupuk, sekolah yang sudah mulai banyak siswanya. Pembangunan sekolah PAUD yang mulai rampung.
“Dek, kenapa gak bisa hubungi Rara dari HP Abang itu?” tanya suami di malam harinya. Saat itu kami lagi duduk santai di bawah pohon sawit, buah sawit dibakar sebagai penerangan alami. Dia terus mengutak-atik alat komunikasi tersebut. Karena baru masuk sinyal, HP di sini jadi mainan baru yang lagi tren.
“Adek akan jujur, Bang, tapi jangan marah ya,” kataku akhirnya.
“Iya, Dek.”
“Janji, Bang.”
“Janji, jika Adek jujur, Abang juga akan jujur.” “Sebenarnya nomor Rara adek blokir dari HP Abang,”
kataku seraya menunduk.
“Adek kok gitu, sih? Gak ada percayanya sama suami, nomor laki-laki temanmu banyak di HP-mu, Abang gak masalah, karena apa? Karena Abang percaya sama Adek.” Tak disangka Bang Parlin marah.
“Maaf, Bang, Abang sih segitunya sama Rara.”
“Dia kan sudah menikah, Abang juga sudah punya kau, hanya silaturahmi, apa salahnya?”
“Maaf, Bang, terus apa tadi yang maju Abang jujur itu.”
“Abang tahu cangkul biru dua.” Jawab suami. “Cangkul biru dua? Apaan sih, Bang,”
“Kalau pesan kita sudah dicangkul dua kali sama cangkul biru, berarti sudah dibaca,” jelas suami.
Aku mulai mencerna ucapan suami, akan tetapi aku belum ngeh juga, apa cangkul biru, apa yang dicangkul?
“Gini, Dek, contohnya Abang kirim pesan, kalau ada cangkul hitam belum dibaca, kalau cangkul biru dua sudah dibaca,” terang suami seraya menunjukkan HP-nya.
“Oh, contreng itu, Bang, kok cangkul?” “Pokoknya mirip cangkul, Dek,”
“Terus abang mau jujur sudah tahu conteng yang cangkul gitu?”
“Iya, Dek,”
“Hahaha,”
“Abang tahu malam itu Adek baca dan balas pesan dari cewek di HP Abang, karena ada cangkul biru dua, makanya Abang balas begitu, biar adek senang, karena Abang yakin adek akan baca lagi,”
“Apaa, Bang?”
Duh, siapa yang jadul sekarang?
Bersambung ................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar