Selasa, 23 Agustus 2022

Suamiku Jadul edisi 34

 Suamiku Jadul  edisi 34


CERBUNG DISELA HIKMAH RAMADAN


"Jadi, Abang ...?" tanyaku setengah percaya. 


"Iya, Dek, udah janji gak boleh marah ya," jawab suami seraya menaik turunkan alisnya. 


Aku merasa yang jadul itu kini adalah aku, kukira Bang Parlin tak akan periksa sampai contreng dua kali itu. Padahal balasan pesanku sudah kuhapus duluan. Kukira aku yang mengerjai suami, ternyata aku yang dikerjai. Rasanya nano-nano, marah, kesal, malu. Akhirnya kupilih merajuk. 


"Abang gitu ya, berarti Abang suka WA-an sama cewek," kataku seraya berdiri dan masuk rumah. 


Masih kulihat tatapan heran dari Ayah mertua sebelum aku menutup pintu kamar dengan keras. 


"Dek, kan dah janji gak boleh marah," kata suami seraya mengetuk pintu kamar. Akan tetapi aku diam saja. 


Pagi harinya seluruh orang sudah sibuk, ketika aku keluar dari kamar bersama si ucok, tak ada lagi orang di rumah. Rumah panggung yang besar ini tinggal aku sendiri. Tak biasanya Bang Parlin pergi tanpa pamit. 


Aku keluar rumah seraya menggendong si Ucok. Kulihat beberapa orang sibuk memanen sawit. Mereka menyapaku dengan ramah. 


Kuambil HP, coba menghubungi Bang Parlin, akan tetapi suara deringnya justru dari dalam rumah. Suami pasti pergi tak bawa HP. Aku terus berjalan menyusuri jalan di tengah kebun. Kulihat Ayah mertua sedang duduk sambil mengawasi pekerja yang memanen sawit. 


"Mau ke mana, Maen?" tanya Ayah mertua. 


"Mau lihat-lihat saja, Amang Boru, Bang Parlin mana ya, Mang Boru?" jawabku seraya mendekat dan duduk di batang sawit yang tumbang. 


"Tadi ke sana, katanya mau bawa sapi jalan-jalan," jawab Ayah mertua seraya menunjuk ke arah barat. 


Pasti sudah ke pinggir sungai, itu tempat kesukaan Bang Parlin. Ada pondok kecil di pinggir sungai itu. 


"Opung doli, Opung doli," kata Ayah mertua seraya mengambil Ucok dari gendonganku. 


"Kok, Opung Doli, Amang Boru?" tanyaku heran. Memang panggilan mereka sangat aneh kadang, sampai sulit untuk kuhapal sendiri. Anakku sudah dua namanya, Sutan Pinayungan Siregar nama gelarnya, Pahlevi Siregar nama di akte kelahiran, akan tetapi dipanggil justru Ucok, kini Ayah mertua manggil Opung Doli lagi.


"Dalam Adat Batak Angkola panggilan itu bisa timbal balik, seorang Ayah biasa panggil anaknya "Amang" Anaknya panggil ayahnya Ayah, padahal Ayah dan Amang itu artinya sama." Ayah mertua menjelaskan.


"Begitu juga cucu, si Ucok panggil Opung Doli, kupanggil juga Opung Doli," tambah Ayah mertua lagi. Akan tetapi biarpun ayah mertua menjelaskan aku masih tak mengerti juga. 


"Maen kan campuran dari banyak suku, Ayahmu saja sudah campuran Minang melayu," kata Ayah mertua lagi. 


Aku memang punya banyak suku, Ayah campuran Minang Melayu, Ibu campuran Bugis dan Jawa, aku suku apa?  Ditambah lagi kini aku sudah jadi orang Batak, margaku sudah ditabalkan. Jadilah aku Minang, Melayu, Bugis, Jawa dan Batak. 


"Aku mau nyusul Bang Parlin, Mang Boru," kataku akhirnya.


"Jangan, Maen, jauh di pinggir sungai sana," kata Ayah mertua. 


"Aku sudah pernah ke sana kok Amang Boru," kataku lagi seraya berdiri. 


"Udah, kalau gitu si Ucok sama Opungnya saja," kata Ayah mertua. 


Aku berjalan sendiri, menelusuri jalan setapak yang penuh kotoran sapi, sesekali mengangguk menyapa orang yang sibuk bekerja. Sayup-sayup terdengar suara seruling, itu pasti Bang Parlin, kuperiksa pakaianku, aku masih trauma dengan baju merah. Syukurlah, baju dan rokku berwarna gelap.


Sambil berjalan, aku sesekali mengambil foto suasana perkebunan. Seruling sudah berhenti, kini terdengar suara nyanyiin Bang Parlin, masih seperti itu, kadang aku heran juga, tak adakah dia tahu jenis lagu yang lain? 


"Banggg!" teriakku setelah melihat dia di pondok. 


Bang Parlin lalu berlari menyusulku. 


"Ngapain kemari? Mana si Ucok?" tanya Bang Parlin. 


"Si Ucok sama Opung Dolinya, adek datang mau bantu Abang gembalakan sapi," kataku. 


"Ya, udah, ayo," kata Bang Parlin. 


"Aku mau digendong, Bang," kataku manja. 


"Udahlah Nunung, minta gendong lagi," kata suami seraya membungkuk. Aku langsung naik ke punggung suami, biarpun aku termasuk gemuk, suami bisa gendong melewati jalan berlumpur. Pertengkaran kami semalam seakan sudah lupa, kami berdua tertawa.


"Sebenarnya Abang sudah capek gini terus, maunya jalan-jalan aja," kata suami, ketika kami duduk berdua di pondok. 


"Mau jalan-jalan lagi, Bang?" 


"Iya, Dek,"


"Habislah uang kita, Bang, kalau jalan-jalan terus."


"Ingin menikmati hidup dulu, Dek, kerjaan semua ada yang urus."


"Kita jalan-jalan ke mana, Bang?"


"Enaknya ke mana?"


"Bukit tinggi, Bang, lihat jam gadang,"


"Ayo, habis panen sawit ini ya," kata suami tampak semangat. 


Kami makan di pinggir sungai, ternyata Bang Parlin bawa bekal dari rumah, hanya nasi, lauknya dicari sendiri. Bang Parlin turun ke sungai, lima belas menit kemudian sudah dapat dua ikan yang cukup besar. Ambil garam yang terselip di atap pondok. Ikan dibakar, kami pun makan. 


Malam harinya, kucoba buka HP, karena sudah ada sinyal, bisalah buka Facebook, kuposting beberapa foto yang baru kuambil tadi dengan caption (Damai itu indah) langsung komentar beberapa temanku. 


(Cieee, ngangon sapi) 


(Orang kota turun ke desa ya, gini) 


(Orang biasa merantau dari desa ke kota, si Niyet ini dari kota ke desa)


Hanya kubalas dengan beberapa striker. Malas juga menanggapi komenan mereka. Akan tetapi aku terkejut, Bang Parlin yang jadul itu justru membalas semua komentar orang. Balasannya juga tak menggambarkan pribadinya yang rendah hati. 


(Biar ngangon sapi yang penting banyak rezeki)  begitu balasan suami di komentar pertama. 


(Biar desa tapi surganya dunia) begitu lagi balasan di komentar lain. 


Kulihat suami yang lagi asyik dengan HP-nya. Lah, aku telah merubah suami jadi orang yang melek gadget. Sebenarnya aku lebih suka Bang Parlin yang dulu, yang alat komunikasinya hanya berbunyi dua kali seminggu. Yang HP-nya hanya Nokia jadul. Akan tetapi aku sadar, dunia ini akan terus berubah. Perubahan pada Bang Parlin mungkin terlambat, akan tetapi pasti terjadi. 


"Bang sini lihat HP Abang," kataku kemudian. Entah kenapa aku jadi kepo dengan isi Facebook-nya. 


Suami memberikan, lalu kubuka dan melihat, temannya hanya empat puluh lima, semua rata-rata orang yang dikenal di dunia nyata. Akan tetapi setelah kulihat messenger. Ya, Tuhan, ada puluhan permintaan pesan yang belum dibaca. Ada juga beberapa yang sudah dibaca, coba kubaca satu persatu. 


(Bang, kenalkan aku seorang janda dengan dua anak, mohon bantuannya untuk modal usaha) 


(Bang Parlin, aku punya lahan, tapi sapinya gak ada, bantulah, Bang) 


Rata-rata isinya seputar minta bantuan, aku penasaran ada apa dan kenapa. Setelah lelah mencari dan scroll sana sini, terjawab sudah. Ternyata Rapi telah membuat suamiku viral, dia bagikan link Facebook Bang Parlin, dan bercerita betapa dermawannya Bang Parlin. 


(Malaikat Yang Nyata di Sekitar Kita) 


 begitu judul tulisan Rapi, lalu menceritakan bagaimana Bang Parlin bantu orang yang mencuri di rumah, bantu janda yang baru ditinggal suami. Si Rapi ini memang berbakat jadi wartawan. Entah dari mana dia dapat semua informasi itu. 


"Bang sudah lihat ini?" tanyaku pada suami seraya menunjukkan status Rapi. 


"Belum, Dek memang kenapa?"


"Apa ada si Rapet WA  atau telepon Abang?"


"Gak ada,"


Berarti si Rapi sebarkan Facebook orang tanpa izin. Kurang ajar juga si Rapi ini. Privasi kami jadi terganggu. 


(Rapet, kau makin kurang ajar ya, kau sebar link FB suamiku,)  pesanku pada Rapi. 


(Iya, Niyet, aku angkat topi pada suamimu, itu hanya bentuk kekagumanku) 


(Kagum ya, kagum, jangan sebar FB orang,) 


(Hanya untuk memberikan contoh pada orang kaya yang lain, seandainya semua orang kaya seperti suamimu) 


(Masih ngeles kau, ya, Rapet) 


(Maaf, Nia) 


Wah, baru kali ini si Rapi panggil namaku lurus, biasanya dia selalu panggil Niyet, sejak belasan tahun berteman mulai SMA selalu begitu. 


"Ada apa sih, Dek?" tanya suami. 


"Ini banyak orang inbok Abang gara-gara si Rapi," kataku. 


"Abang udah lihat sebagian, Dek, Abang kurang suka sama orang yang minta,"


"Tapi, Bang,"


"Tenang aja, Dek, Abang tetap seperti yang dulu, yang sayang sama Nunung, yang zakatnya tetap begitu, biarpun beribu gadis cantik, Adek tetap di hati Abang, biarkan beribu orang yang minta, Zakat tetap dicari sendiri." kata suami. 


"Sayang sama Nunung?"


"Iya, Dek, adek kan pengganti si Nunung,"


Lah, ujung-ujungnya selalu Nunung..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar