Selasa, 16 Agustus 2022

Suamiku jadul 31

                                                        Aku mencintaimu anakku 8F

Duduk: Echa, Kinaya, Vio, Nesha, aurellia, selma

Berdiri : Zahra, Maya, Kinan, Farrah, Salwa, Kayla, Nabila, Naya,


Suamiku Jadul Tenan
part 31


Alat komunikasi yang baru kubeli rasanya percuma, selain karena di tempatku tak dapat sinyal, nomor Rara pun aku tak tahu. Sementara itu usaha sapi dan sawit makin maju. Bang Parta yang merantau ke Kalimantan pulang kampung karena butuh modal. Penghasilan sapi satu tahun keberikan padanya dengan sistem pinjaman. Biarpun saudara harus tetap ada surat perjanjian kalau tak dia bayar selama lima tahun, harta warisan bagiannya menjadi milikku. 

Menyusul Bang Nyatan, dia juga butuh modal mau ternak sapi di Jambi, kuberikan juga dengan perjanjian yang sama. Adikku Dame juga akhirnya pergi merantau. Dia gigih, tak butuh modal usaha, dia lakukan seperti yang kulakukan. Sistem bapak angkat. Begitulah akhirnya kami berempat jadi petani sawit. 

Kesuksesan datang, dalam sepuluh tahun aku sudah punya ratusan sapi, berpenghasilan ratusan juta sebulan. Akan tetapi semua rasanya hampa, karena Rara tak kunjung pulang. Sering aku bertanya pada orang yang mungkin kenal Rara, akan tetapi percuma.

Ayah terus saja menyuruh aku menikah, akan tetapi aku tak tetap berharap Rara datang. Sapinya tetap kuurus dengan baik. Entah karena apa, sapi pemberian Rara seperti cemburu bila ada wanita di dekatku. Aku makin yakin itu karena Rara, dia masih ingat aku. Akan kutunggu dia sampai kapan pun. 

Bou-saudara perempuan Ayah datang dari Medan, dia menawarkan rumah kontrakan enam pintu. Aku mau beli dengan harapan bila  Rara kembali, mungkin dia tak mau tinggal di desa, apalagi di perkebunan seperti ini. 

Dua puluh tahun berlalu semenjak Rara pergi, tak ada kabar berita. Aku mulai ragu, adakah dia ingat aku? 

Lebaran di desa, aku bertemu dengan seorang teman lama, dia merantau juga ke Bandung. Aku terkejut dan senang karena katanya dia pernah bertemu Rara, akan tetapi Rara sudah menikah. 

Hancur sudah harapanku, penantian dua puluh tahun berakhir begini. Pada temanku ini, kutulis surat untuk dia berikan ke Rara, akan tetapi dia tak bisa janji, karena mereka hanya bertemu sekali, tak sempat tanya alamat. 

"Udah, kawin aja kau Parlindungan, anak dokter pula kau harapkan, ngaca sikit," kata Ayah di suatu hari. 

"Iya, Yah, aku mau pensiun saja, lelah aku cari uang, ternyata orang yang kunantikan sudah diambil orang," kataku. 

Pencarian jodoh pun dimulai, akan tetapi tak ada yang cocok. Sampai akhirnya Ayah lelah sendiri. 

"Ayah, aku mau ke Medan, mau tinggal di kota saja," kataku pada Ayah. 

"Yang urus sapimu?"

"Itu, ada banyak, sawitnya Ayah yang urus,"

"Baiklah, Parlin, temui teman Ayah di Medan, dia punya anak gadis, dia teman lama Ayah, tanya boumu, dia tahu itu," kata Ayah. 

Petualanganku di Medan pun di mulai. Rumah petak milikku kebetulan kosong satu pintu, itu saja ketempati, di Medan ini aku sering jadi bahan tertawaan, rambut gobelku seperti lucu bagi orang. HP Nokia 1100 yang pernah kubeli dulu masih kupakai, HP itupun sering jadi hinaan orang. 

Bou pun mengenalkan aku dengan teman lama Ayah, aku di bawa ke rumahnya. 

"Ini putriku Nia," kata Bapak tersebut seraya menunjuk seorang gadis. 

Pertama melihat Nia, yang kupikirkan justru Nunung, sapi kesayanganku, sungguh gadis ini mirip Nunung, kilit sawo matangnya seperti kulit Nunung, tubuh berisinya juga mirip Nunung. Entah kenapa aku langsung suka padanya. Padahal sudah banyak gadis cantik dikenalkan orang, baru kali ini aku langsung jatuh hati. 

Ketika bersalaman dengan gadis itu, spontan aku berguman "Nunung"


"Apa!?" jawabnya setengah berteriak. Aku gegalapan. 


"Assalamu'alaikum," kataku kemudian. 


"Oh, Waalaikumsalam," jawabnya. 


"Kau percaya pada Ayah, Nia?" kata Bapak itu pada putrinya. 


"Tentu saja percaya, Yah,"


"Menikahlah dengannya," kata Bapak itu lagi.


Wah, secepat itu? Kutatap Nia, kebetulan pula dia tetap aku, pandangan kami beradu, dia justru membesarkan matanya seraya bilang "Apa?" lucu ini cewek. 


"Berkenalan lah dulu kalian," kata Bapak itu seraya pergi. 


Gugup juga aku berduaan dengan wanita ini, sepertinya dia galak mirip si Nunung. 


"Apa pekerjaan Abang?" tanyanya langsung. 


"Pensiunan," jawabku jujur. 


"Hahaha," dia justru tertawa, padahal aku jujur. 


"Pensiunan? Ya, Allah, ada pensiunan melamar aku," katanya. 


"Aku pensiun dini karena ingin berkeluarga dan menyenangkan istri," kataku kemudian. 


Dia terdiam, wajahnya menunduk, dagunya seperti berlipat, makin mirip si Nunung. Aku justru makin jatuh cinta. Apa yang akan kukatakan untuk meyakinkan dia? 


"Mimpi apa aku semalam, ada pensiunan melamar aku," katanya lagi. 


"Biarpun pensiunan, aku akan menafkahimu seberapa yang kau butuhkan," kataku yakin. 


"Seberapa saja yang kuinginkan?" tanyanya. 


"Bukan, seberapa pun yang kau butuhkan,"


"Oh, ya, Abang sebelumnya kerja apa?"


"Gak penting lagi, kalau adek mau jadi istriku, kunafkahi lahir batin, kumahari berapa kau minta," kataku kemudian. Aku yakin sekali, karena aku baru menjual sapi lima puluh ekor. 


"Aku minta tiga puluh juta," katanya. 


"Baik," jawabku langsung. 


"Tunggu cepat kali, aku berpikir dulu,"


"Okee, aku tunggu sampai besok."


Begitulah, keesokan harinya, aku datang lagi, ternyata di rumahnya sudah ramai orang. Ayah Nia langsung memperkenalkan aku dengan orang ramai yang ternyata saudara Nia semua. Mereka seperti meremehkan aku, aku terima saja, memang semenjak aku ke kota ini, entah kenapa orang selalu meremehkan aku. HP-ku pun selalu jadi bahan tertawaan. 


"Kami tak setuju Nia menikah dengan laki-laki ini," kata seorang pria yang terlihat lebih tua di antara mereka. 


"Siapa yang minta pendapat kalian," kata Ayah Nia, Wah, orang yang tegas dan langsung. 


"Apa yang bisa kau berikan pada adik kami?" kata seorang wanita lagi. 


"Semua, apa saja," jawabku. 


"Udah, dia di sini mau perkenalan, bukan mau diinterogasi kalian, yang mau nikah Nia," kata Ayah Nia lagi. 


Hari itu aku dan Nia jalan-jalan sebagai bentuk perkenalan. Aku yang tidak tahu tentang kota Medan ini menyerahkan semua pada Nia, dia mau bawa ke mana aku mau saja. 


"Aku terima, ingat ya, Bang, aku terima karena percaya pada Ayahku, bukan percaya padamu," kata gadis itu lagi. 


"Berapa nomor WA Abang," tanyanya seraya mengeluarkan HP-nya. 


"Apa itu WA?" tanyaku. 


"Ya, Allah, Abang berasal dari planet mana sampai tak tahu apa itu WA?"


"Masih dari bumi,"


Dia tertawa lagi, saat itu kami berada di sebuah pasar, entah mau apa dia bawa aku kemari. 


"Kata Abang akan penuhi apa yang kubutuhkan?" tanyanya lagi. 


"Ya," jawabku singkat. 


"Aku butuh pakaian,"


"Ya, silakan pilih,"


"Yang benar,"


"Iya, pilih saja," 


Dia kemudian memilih pakaian, aku heran, yang dia beli justru celana dalam dan beha, gadis yang aneh. Padahal bila dia minta banyak pun aku mampu. Uang penjualan sapi lima puluh ekor ada di rumah, kusimpan di tas kresek. Yang kubawa hanya yang muat di kantong saja. 


Atas saran dari Bou, uang tersebut akhirnya kusimpan di Bank, ada kartunya, akan tetapi aku belum pandai memakainya. Biarlah, bila nikah nanti, istriku akan jadi asistenku.


"Boleh aku minta sesuatu lagi?" kata Nia sehari sebelum akad nikah. 


"Boleh,"


"Aku mau rambut Abang dipangkas pendek," katanya. 


"Oh, tidak, itu bukan kebutuhanmu, itu hanya keinginan, yang kuturuti hanya kebutuhan," kataku seraya memegang rambut belakang. Dalam hati aku bilang, "ini milik Rara," 


"Abang Jadul," katanya. 


"Apa itu jadul?"


Dia justru tertawa lagi, entah kenapa aku suka tawanya. Dalam hati aku bertekat akan membuatnya terus tertawa, tak akan kubiarkan dia menangis. Bersamanya aku merasa bersemangat lagi. Semoga aku bisa melupakan Rara. Bisa mengikhlaskan Nunung. Pada Nia aku menemukan dua sekaligus. Tawa Rara dan galaknya Nunung. 

~~ bersambung ... 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar