Suamiku Jadul
Part 32
Selalu saja ada orang bertanya suamiku kerja apa, memang bisa dimaklumi, seharian di rumah terus, tapi uangnya selalu banyak. Dermawan lagi. Pernah suatu pagi ada pemulung masuk ke dalam pekarangan rumah kami, pemulung itu mengambil sepatu boot dan alat penyiram tanaman yang ada di halaman rumah.
Saat itu masih subuh, ada tetangga memergoki dan meneriaki maling. Kontan saja kami terkejut, kami langsung keluar. Pemulung tersebut adalah seorang remaja, dia sudah ditangkap tetangga. Barang bukti sepatu boot dan alat penyiram bunga ada di dalam karung besar yang dia bawa.
"Kasih pelajaran dulu, pantasan barang sering hilang, ternyata dia yang ambil," kata seorang tetangga. Tetangga yang lain melemparkan botol air mineral ke anak remaja tersebut.
"Tunggu dulu," kata Bang Parlin seraya merangkul anak remaja tersebut, mungkin mencegah amukan warga.
Bang Parlin justru mengajak pemulung itu masuk rumah, para tetangga kesal. "Huuu, sok baik," teriak seorang ibu-ibu.
"Kenapa kau mencuri?" tanya Bang Parlin setelah anak tersebut ada di rumah.
"Ampun, Pak, kupikir tadi gak perlu lagi," jawab anak tersebut, dia sepertinya ketakutan.
"Gak sekolah rupanya kau?" tanya Bang Parlin lagi.
"Sekolah, Pak, habis mulung nanti baru pergi sekolah."
"Mana rumahmu?"
"Di sana, Pak, dekat rel,"
"Tolong lepaskan aku, Pak, ibuku menunggu, ayahku sakit, biasanya ayah yang mulung, karena sakit makanya aku," kata anak itu lagi.
"Ayo, kuantar pulang, awas kalau kau bohong ya," kata Bang Parlin.
Akhirnya Bang Parlin mengantarkan anak tersebut pulang, aku tak ikut karena jaga bayi yang masih tidur. Sampai jam sepuluh
Bang Parlin belum pulang, aku sudah cemas, mana HP-nya tak dia bawa. Aku berdiri di depan pagar rumah sambil menggendong anakku. Ingin kususul suami, tapi tak tahu susul ke mana.
"Pencuri tadi dibawa ke kantor polisi ya?" tanya tetangga yang tadi ikut menangkap.
"Gak tau, Pak?" jawabku singkat.
"Baiknya yang begitu gak usah dilapor polisi, digebuki aja biar jera, dibawa ke polisi pun dua hari keluar, baru dia mencuri lagi." kata tetangga ini.
"Iya, Pak," jawabku lagi.
Dari jauh kelihatan mobil Mitsubishi Strada kami, aku sangat bersukur sekali akhirnya suami pulang juga.
"Kok lama, Bang?" tanyaku begitu dia turun dari mobil.
"Ayah anak tersebut ternyata betul sakit, sudah Abang bawa berobat," jawab suami.
"Abang bawa berobat?"
"Iya, Dek."
"Ya, ampun."
Aku masih ingin mengomel, suamiku ini terlalu baik, masa pencuri pun dia bawa berobat. Akan tetapi ada tamu datang. Ternyata Bu Rena, janda lima anak yang dulu pernah kuberikan uang zakat dua puluh juta.
"Mbak Nia, aku datang mau kembalikan uangnya, Mbak," kata Bu Rena.
"Kan sudah dibilang, Bu, tak usah bayar, bila Ibu sudah sukses bantu orang seperti kami bantu Ibu," kataku menjelaskan.
"Aku merasa tidak enak juga, Mbak, modal yang Mbak berikan sungguh berkah, dalam setahun sudah balik modal, bisnis kulinerku berkembang, bahkan kini sudah punya karyawan."
"Alhamdulillah."
"Jadi aku merasa tidak enak juga kalau tak kubayar pada Mbak." kata Ibu itu lagi.
"Oh, tapi, Bu,"
"Tolong terima, Mbak, jangan biarkan aku merasa tidak enak, lagi pula kini aku sudah punya suami lagi,"
"Oh, begitu, kami terima," kata Bang Parlin tiba-tiba.
"Terima kasih, Pak, terima kasih, Bu, kalian seperti malaikat," kata ibu itu lagi.
Ibu itu lalu pulang, aku ikut meneteskan air mata melihat dia bahagia. Akan tetapi kenapa suamiku tiba-tiba menerima uang tersebut?
"Bang, kok Abang terima lagi, mana bisa begitu, dosa Abang, zakat di terima lagi," protesku pada suami.
"Begini, Nunung yang cerewet, Abang akan jadi amil." kata suami.
"Amil apaan?"
"Amil zakat, uang ini akan Abang salurkan ke orang yang lebih membutuhkan," kata suami.
"Oh,"
"Iya, kamu memang bawa rezeki, Nung, tiap tahun Abang bantu orang dengan zakat, baru kali ini yang berhasil mengubah kehidupan orang," kata suami.
"Kok Nunung Abang panggil aku? namaku Nia ya, Nia Dahlia Harahap," kataku gemas, "Adek gak sudi disamain sapi,"
"Dari pada Niyet, Nia Monyet,"
"Ish, Abang, awas ya, nanti tidur di luar," kataku pura-pura cemberut.
Ternyata uang dua puluh juta itu mau diberikan Bang Parlin ke pemulung tersebut. Bang Parlin ajak aku ke rumah si pemulung itu. Menyerahkan uang dua puluh juta. Kuambil HP, ingin kurekam susana haru tersebut. Akan tetapi Bang Parlin malah melarang. Sebel juga. Di luaran sana orang ngasih seratus ribu saja pakai konten, ini direkam pun gak boleh.
"Bang, divideokan sesekali napa, Bang, bukan niat pamer, tapi kan untuk disimpan aja," kataku pada suami di malam harinya. Saat itu dia lagi mengayunkan si Ucok kami. Sedangkan aku melipat kain.
"Gak percaya Abang?" kata suami, dia menghentikan nyanyiin kecilnya.
"Apanya yang gak percaya Abang?"
"Gak percaya Abang niatnya tidak untuk pamer,"
"Wiii, Abang, sama istri sendiri gak percaya,"
"Riya itu ibarat semut hitam berjalan di atas batu hitam, Dek, samar sekali, Pahala sedekah terhapus jika ada riya," kata suami.
"Hmmm, cocoknya Abang jadi ustadz aja."
Dia justru melanjutkan nyaniannya, lagu ungut-ungut kesukaannya dia nyanyikan, karena sering dia nyanyikan, aku sampai hapal liriknya.
"Parunikan baya pargadungan da Inaaang, natubu di toru rumbio. Arani parkancitann baya pardangolan da inangggg, nai rokkap nimata pe mandao."
Begitu lirik yang dia nyanyikan.
"Bang, tolong translate, kok sering kali abang nyanyikan itu," kataku penasaran.
"Translate itu apa, Dek?"
"Ya, Allah, artikan, Bang,".
"Oh, begini kira-kira, kebun kunyit kebun singkong, yang tumbuh dibawah rumbio. Karena sakit karena miskin, yang dihati pergi menjauh."
"Rara?" seruku.
"Itu hanya lagu, Dek,"
"Pasti karena ada sebab,"
"Mulai lagi Nunung cemburuan, tidur Abang ya, Dek," kata suami.
Aku mau mengomel lagi, dia sudah tertidur, kuperhatikan wajah polosnya, ah, suamiku ini, segitu cintanya kah dia sama Rara?
Tiba-tiba HP barunya bergetar, segera kulihat, ternyata ada pesan WA masuk dari nomor yang belum disimpan.
(Bang, dah tidur belum)
Wah, siapa pula ini, segera kuperiksa, foto profilnya seorang wanita cantik berpakaian kurang bahan.
(Belum, ada apa?) iseng-iseng kubalas.
(Mau curhat, Bang, maaf ya, aku dapat nomor Abang dari si Rina)
(Mau curhat apa?)
(Gini, Bang, entah kenapa kalau lihat Abang damai dan sejuk rasanya, ingin rasanya dekat, rambut Abang seksi, mirip kuda, tenaga Abang pun pasti tenaga kuda)
(Hei, katanya tadi mau curhat)
(Iya, Bang, ini lagi curhat, mencurahkan isi hatiku, orang kaya seperti Abang pasti sanggup poligami, aku yakin itu, andaikan Abang berniat, aku daftar, Bang,)
Ya, Allah, ini wanita jenis apa ini, menawarkan diri jadi madu. Duh, harus dibasmi ini, ini sih, calon pelakor. Tak boleh ada di ceritaku pelakor. Akan tetapi aku justru ingin tahu bagaimana respon suami jika ada chat dari wanita seperti itu. Kuletakkan kembali HP tersebut di dekat suami, kugelitik telapak kaki anakku, dia pun nangis, aku pura-pura tidur. Suami terbangun, tangannya reflek mengambil tali ayunan dan kembali mengayunkan, sial, dia tak periksa HP-nya. Gak seperti aku begitu terbangun langsung periksa HP.
Duh, hatiku jadi tak tenang, rasa ingin tahu begitu kuat, akhirnya ku-chat Rina.
(Rina, coba misscall ke HP Abangmu,)
Lima detik kemudian, HP Bang Parlin bunyi, kulihat responnya, dia memainkan jari telunjuk di layar HP, agak lama juga, baru kemudian dia tertidur kembali.
Kuambil alat komunikasi tersebut, langsung ke aplikasi WA, ternyata betul, dia balas chat itu.
(Anda siapa)
(Poligami memang boleh, tapi maaf saja, aku tak berniat, istriku saja ini montok gak habis-habis)
(Semoga Anda mendapatkan jodoh tanpa harus menyakiti orang, tanpa harus jadi duri dalam rumah tangga orang, coba istriku tahu ini, kau bisa mampus)
(Maaf, Anda diblokir)
Aku tersenyum seraya berurai air mata, kupeluk suami yang sudah tidur.
"Bang, ayo bikin anak cewek," bisikku ke telinganya. Akan tetapi dia justru mendengkur.
Oalah.
Bersambung ........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar