Suamiku Jadul
Karya; Bintang Kejora
Part 19 (bangga dikiitt...manusiawilah)
Perjalanan yang benar-benar melelahkan sekaligus mengasikkan. Pemandangan indah melewati hutan dan perkebunan sawit. Selama tiga belas jam perjalanan Bang Parlin dan
Bang Parta terus berbincang-bincang. Pembicaraan mereka membosankan, kubilang membosankan karena aku tak mengerti sama sekali yang mereka ceritakan. Bahasa yang mereka pakai adalah bahasa Batak Angkola/Mandailing.
“Hargai kami napa? Pakai bahasa persatuan,” celutuk istri Bang Parta.
“Iya, setuju, jangan pakai bahasa planet,” sambungku. “Udahlah, kalian kaum hawa jadi pendengar saja sekali ini, sekali setahun belum tentu aku bisa berbahasa kami,”kata Bang Parta.
Aku akhirnya tertidur, kemudian terbangun karena guncangan yang cukup keras, kulihat keluar jalan yang sangat jelek, ternyata perjalanan ke sini lebih sulit dari pada perjalanan ke kebun Bang Parlin. Kulihat istri Bang Parta sudah tertidur lelap. Kutatap ke depan dan ke belakang tak ada kenderaan lain. Kiri kanan perkebunan kelapa sawit. Tiba-tiba aku merasakan mobil berhenti mendadak.
“Ada ular!” kata Bang Parta sebelum sempat aku bertanya. Aku melihat ke depan, ya, Tuhan, ular besar ada di jalan, ular tersebut seperti menghalangi jalan. Badan ular tersebut seperti bengkak di bagian tengah.
“Dia baru makan, makanya sulit bergerak,” kata Banget Parta lagi. Sementara itu istri Bang Parta seperti tak terganggu, dia terus tidur di sampingku.
Bang Parlin dan Bang Parta turun dari mobil, mereka justru menangkap ular besar tersebut, Bang Parta seperti sudah ahli sekali, tanpa kendala berarti dia menyeret ular tersebut dan minta karung padaku.
“Ambil dulu karung di bagasi,” perintahnya. Sementara dia dan Bang Parlindungan memegangi ular tersebut.
Aku segera turun dan buka bagasi, mengambil karung dan melempar ke arah mereka. Ternyata mereka mau bawa ular tersebut, tak lupa kuabadikan dengan kamera HP.
“Untuk apa dibawa?” tanyaku.
“Untuk dikasih ke karyawan, mereka akan senang ini,” kata Bang Parta.
“Tidak, gak mau aku semobil dengan ular,” teriakku kemudian.
“Gak apa-apa itu,”
“Pokoknya tidak,” kataku lagi.
Akhirnya Bang Parlindungan melepaskan ular tersebut. Dia berbicara dengan Bang Parta seraya tertawa. Ah, sebel juga ini orang jadul, mereka justru menertawakan aku.
Kami sampai juga akhirnya, akan tetapi bukan kebun, tapi desa atau tepatnya seperti kota kecil. Kami turun dari mobil, langsung disambut seorang bocah anak Bang Parta.
“Mana kebunnya?” tanyaku.
“Kita gak tinggal di kebun, hanya penjaga kebun yang tinggal di sana,” jawab istri Bang Parta.
Ternyata kebun Bang Parta sangat luas, jauh lebih luas dari punya Bang Parlin. Sudah jadi semacam perusahaan perkebunan, bukan lagi kebun rakyat. Kota kecil itu hampir semuanya adalah karyawan perkebunan. Luar biasa.
Aku foto-foto di daerah itu, berfoto bersama Bang Parlin, bersama orang utan, lalu kuunggah di Facebook. Baru saja dua menit, si Rapi langsung komentar.
(Kasihan kau Niyet, orang liburan ke Singapura, Bali, kau. Malah ke hutan)
Langsung disambut, Romli—mantanku yang pernah mau permalukan Bang Parlin di Pesta.
(Kasian, kasian, berteman orang utan,)Dia komentar seperti itu karena aku ada memposting foto bersama orang utan, foto ular juga ku-posting. Akhirnya aku di-bully teman satu geng.
(Gak percuma julukanmu Niyet, akhirnya ketemu sodaramu monyet).Komentar seorang teman lagi. Aku jadi panas, akan tetapi komentar tersebut justru kuperlihatkan pada suami, ingin kutahu bagaimana reaksinya. Sudah kuduga, bila aku yang dihina, dia akan marah sekali. “Habis dari sini kita ke Bali,” kata suami. Aku jadisenyummasemmendengar perkataan suamiku ini. Akan tetapi aku berpikir, tujuan kami hanya silaturahmi, bukan mau pamer kemewahan. “Gak usah, Bang, kita ke tempat Dame saja,” kataku kemudian. Bersama istri Bang Parta kami pergi ke pasar, rencananya hari ini kami akan masak besar. Lagi-lagi aku terkejut dengan harga di sini, satu ikat sayur daun singkong harganya enam ribu. Padahal di Medan ini hanya dua ribu, kota lagi. Kupikir karena pelosok harga sayur akan murah. Lebih terkejut lagi harga gas tiga puluh ribu.
“Lagi mahal di sini ya, Kak?” tanyaku pada istri Bang Parta.
“Biasa aja, kok,” jawab wanita tersebut.
Wah, dia bilang biasa, apakah orang di sini lebih banyak gajinya? Atau memang harga lebih mahal di sini?
Aku baru tahu, istri Bang Parta ikut kerja, dia sebagai direktur di CV milik mereka. Perkebunan mereka bukan kaleng-kaleng, karyawannya mencapai ratusan orang. Kalah jauh Bang Parlin yang punya kebun hanya sepuluh hektar, karyawan hanya dua puluh lima orang. Akan tetapi ternyata mereka tak pelihara sapi, alasannya sungai besar sering meluap bisa menenggelamkan sapi. Bang Parta ternyata bos besar di sini. Truknya puluhan, kebun sawitnya ada juga yang belum panen.
“Abangku jago, betul-betul jago, dia hanya tamat SD, tapi karyawannya sarjana,” begitu kata Bang Parlin ketika kami berkunjung ke kantor perkebunan tersebut.
“Bukan aku yang jago, tapi si Parlin ini yang jago, dia yang kasih modal pertama samaku sebelas tahun lalu,” kata Bang Parta balik memuji adiknya.
Wah, luar biasa keluarga ini, dalam sebelas tahun sudah bisa mendirikan CV. O
Sementara di luaran sana banyak orang yang sekolah sampai tujuh belas tahun hanya bisa jadi karyawan.
“Aku hanya petani, dia yang urus CV,” kata Bang Parta seraya menunjuk istrinya.
Tiga hari di Ketapang, saatnya kami pulang, Bang Parta memberikan ongkos pulang untuk kami.
“Ini ambil, Nia, kalau kukasih si Parlin dia akan menolak,” kata Bang Parta. Tentu saja kuterima, siapa juga yang bisa menolak rezeki.
Kami diantar ke bandara, kali ini kami naik pesawat langsung dari Ketapang, bandara Rahadi Usman namanya, dari Ketapang ke Pontianak, baru dari Pontianak ke Padang, dari Padang rencananya kami akan naik mobil ke Rokan Hilir, tempat Dame dan temanku Rina.
Ketika transitif di Pontianak aku buka Facebook, sudah lama tak kubuka Facebook, semenjak di-bully teman satu geng, akue tak bukan lagi.
Aku terkejut banyak notif, dan lebih terkejut lagi ada tiga status terbaru, wah, apakah Facebook-ku dibajak?
Ternyata banyak fotoku diunggah, fotoku yang kusimpan di galeri banyak diunggah entah siapa. Yang membuat aku geli adalah captionnya.
(Biar di hutan, yang penting sultan) begitu caption salah satu status tersebut fotonya diriku lagi naik mobil Pajero milik Bang Parta.
(Biar suami jadul, yang penting duit ngumpul) begitu status lain disertai fotoku lagi memakai seluruh perhiasanku.
Ada lagie status lain yang meng-upload fotoku lagi berdiri di tengah kebun sawit captionnya lagi lagi membuat aku geleng-geleng kepala.
(Biar suami petani sawit, yang penting gak pelit)
Kulirik suami yang duduk di sampingku, dia senyum- senyum. Tak mungkin dia, memang dia ada pinjam HP-ku kemarin, akan tetapi tidak mungkin, buka SMS saja dia gak pandai, lalu siapa?
Kulihat layar HP, lalu kulihat lagi suami, dia justru makin senyum seraya melirik layar HP-ku.
“Buat satu lagi, Dek, tulis gini, biar orang kampung, yang penting bisa pengganti Nunung,” kata suami.
“Apanya Abang ini?” kataku seraya mencubit perutnya.
Dia tertawa ngakak, “Abang gak bisa terima adek dihina,” kata suami di sela tawanya.
Dugaanku Bang Parlin menyuruh istri Bang Parta membuat status itu, karena waktu Bang Parlin pinjam HP-ku, mereka lagi duduk di teras bersama Bang Parta dan istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar