Sabtu, 25 Juni 2022

Suamiku Jadul (25 : rendah hati, pandai memuji istri)

 Suamiku_Jadul...

Part 24 (rendah hati, pandai memuji istri)

👇"Abang bohong lagi?" kataku di sela tawa. 

"Bohong di bagian mananya, Dek?"

"Ngapain Abang bilang kerja nyupiri istri juragan sawit?"

"Memang betul, Kok, untuk saat ini pekerjaan Abang memang hanya bawa-bawa istri juragan sawit, Abang kan gak bohong,"

"Abang memang bohong?"

"Ada juga memang bohong Abang tadi,"


"Yang mana, Bang,"

"Abang bilang bawa istri juragan cantik, padahal ... "

"Padahal apa, Bang?" 

"Padahal bukan cuma cantik, tapi cantikkk sekali,"

Kami sama-sama tertawa, kuelus perut yang sudah masuk delapan bulan, sebulan lagi aku akan melahirkan. Deg-degan juga menunggu, karena kata orang hamil di atas umur tiga puluh tahun itu sangat beresiko. Saat ini umurku sudah tiga puluh tiga. Aku lalu teringat perlengkapan bayi yang belum dibeli. 

"Bang supir, antar dulu nyonya beli perlengkapan bayi," kataku pada suami. 

"Siaaap, Bos," jawab suami seraya bergaya menghormat. 

Suami lalu membukakan pintu mobil, mempersilahkan aku naik dengan cara menjulurkan tangannya sebelah. 

"Hati-hati jalannya, Bang Supir," candaku lagi. 

"Baik, Nyonya," jawab suami. 

Sesampainya di toko penjualan perlengkapan bayi, Bang Parlin tetap melanjutkan candaannya, dia bergaya bak supir pribadi, membuka pintu mobil untukku, bahkan pintu kaca toko tersebut pun dia buka. 

Seseorang lalu menghampiriku dan bertanya mau cari apa. Akupun memilih apa yang ingin kubeli. Ketika aku memilih-milih, suami masuk ke toko. Dia masih melanjutkan candaan, keterlaluan memang. 

'Yang ini barangkali cocok, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk ayunan elektrik. 

"Gak mau yang begitu, Bang supir, aku mau yang biasa saja,"

"Mungkin ini juga cocok, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk botol minum susu bayi. 

"Bayiku nanti minum susu ibu, bukan susu formula," kataku lagi. 

Tiba-tiba pegawai toko itu mengusir Bang Parlin. 

"Bang Supir, sebaiknya tunggu di luar saja, tahu apa pula supir urusan bayi," kata pegawai toko itu. 

Aku tertawa, akan tetapi Bang Parlin tak tertawa, dia justru melanjutkan candaan sandiwaranya. 

"Aku memang supir, tapi tahu betul urusan bayi, apalagi itu bayiku," kata Bang Parlin. 

Pegawai itu menatap heran, mungkin di pikirannya kami ini pasangan sopir dan majikan yang selingkuh. Mengingat penampilan suami yang memang mirip sopir, ditambah lagi aku memanggil Bang Parlin dengan panggilan "Bang Sopir"

"Udah, Bang, tunggu di luar aja," kataku akhirnya. Bang Parlin menurut, dia akhirnya keluar dan kulanjutkan aktivitasku memilih perlengkapan bayi. 

"Sopir kok gitu, ya, urusan majikan pun mau dia urus," kata pegawai toko tersebut. Hanya kubalas dengan senyuman, malas juga untuk menerangkan. 

Ketika semua sudah selesai, kupanggil suami untuk bantu angkat, suami malah masih melanjutkan candaan, dia memang seperti itu, dianggap orang sopir, dia akan berperan sebagai sopir. 

"Ini saja, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk barang belanjaannya. 

"Iya, Bang," 

"Kau punya kelambu ini," kata Bang Parlin seraya mengelus perutku yang sudah besar. 

Kulihat pegawai toko itu, dia bisik-bisik dengan temannya. Kami keluar, ketika aku melihat ke belakang, dua pegawai masih menatap kami. Mungkin kami akan jadi bahan gosip mereka.

Ketika kami sampai di rumah, ada Ria, adikku yang perempuan. 

"Datang gak bilang-bilang, Ria," kataku seraya menerima uluran salamnya. 

"Aku gak ada pulsa untuk menelepon, Kak," kata Ria. 

"Jangan pura-pura miskin, tar benaran miskin," candaku kemudian. 

"Silakan masuk," kata Bang Parlin seraya mengangkat barang belanjaan kami. 

Ria duduk di sofa, aku segera ke dapur ambil minum. 

"Ada apa Ria, wajahmu kok sedih kali nampak," 

Akhirnya tangis Ria pecah, dia belum bilang apa yang terjadi, tapi tangisnya sudah duluan menggambarkan kesedihannya. 

"Ada apa, Ria, cerita dong?"

"Ayahnya Rio, kak, dia dipecat, huhuhuhuhu," kata Ria, Rio adalah anak semata wayang mereka. 

"Baru dipecat kok seperti itu?" suami ikut bicara. 

"Sudah dua bulan dia dipecat, Bang Parlin, bagian kami warisan itu mau dia pakai buka usaha, kan udah kubelikan pertapakan perumahan,dia suruh jual, tapi usaha apa? Aku takut, kata orang, uang warisan dibuat modal akan habis," kata Ria. 

Kulihat Bang Parlin, minta dia yang bicara, karena kutahu Bang Parlin selalu punya solusi. Ria adalah saudaraku yang paling dekat denganku, ketika dia dulu menikah melangkahi aku, dia sampai nangis seharian, katanya gak tega dia duluan menikah. 

"Dia mau usaha apa?" tanya Bang Parlin. 

"Itulah yang gak kutahu, bayar kontrakan rumah pun sudah nunggak dua bulan, aku bingung mau bagaimana lagi," kata Ria. 

Bang Parlin lalu memanggilku ke dapur untuk bicara berdua. 

"Dek, kita bayar zakat untuk Ria saja," kata Bang Parlin. 

"Tapi belum waktunya bayar zakat, Bang, masih tiga bulan lagi." kataku. 

"Iya, bayar zakat lebih dulu kan gak apa-apa," kata suami. 

"Apa mereka sudah pantas menerima zakat, Bang?" tanyaku lagi. 

"Sudah, itu sudah termasuk miskin, orang miskin berhak menerima zakat,"

"Nanti saudaraku yang lain iri, Bang, mereka semua nanti minta juga, bagaimana?"

"Ya, gak usah bilang-bilang," 

Kami kembali ke ruang tengah, Ria masih duduk menunggu, matanya masih basah. 

"Begini saja, nanti malam ajak suamimu ke mari, kita bicara di sini," kata Bang Parlin. 

Ria pulang, sebelum pulang, Bang Parlin memberikan uang pada Rio anak adikku tersebut. Ria tampak senang sekali, senyumnya merekah melihat uang Merah tersebut.

Malam harinya, suami Ria datang bersama Ria dan anak mereka Rio yang masih empat tahun. Selama ini suami Ria bekerja di perusahaan retail, di bagian gudang. 

"Mau usaha apa rupanya?" tanya Bang Parlin. 

"Belum tau, Bang," 

"Cari modal, tapi gak tau usaha apa?"

"Aku juga bingung, Bang, sudah sembilan tahun aku kerja di situ, tiba-tiba disuruh mengundurkan diri, alasannya peremajaan," kata suami Ria. 

Oh, aku baru paham, ternyata ini alasannya kenapa pekerja di indo dan Alfa tak ada yang tua. 

"Jaga kebun sawit, mau?"

"Mau, Bang, tapi kan modalnya besar,"

"Begini, kami ada lahan baru, pernah kami buat peternakan lembu di situ, tapi yang jaga justru melarikan diri setelah menjual lembu tersebut. Jadi, kalau kalian mau, kalian di situ saja, kami gaji sesuai UMR, terus dikasih ternak lembu untuk kalian urus," kata suami. 

"Mau, Bang, mau," kata suami Ria. 

Bang Parlin lalu menulis surat, lalu memberikan ke suami Ria, pergilah ke desa, temui Ayahku, ini alamatnya, berikan surat ini, nanti beliau akan mengurus semuanya. 

"Iya, Bang, kami akan pergi besok, karena kontrakan kami kebetulan sudah habis." kata suami Ria. 

Suami lalu memberikan uang tiga puluh juta. Ria tampak heran. 

"Saya serahkan zakat harta saya, untuk kalian, semoga bisa dimanfaatkan," kata Bang Parlin seraya menyalami suami Ria. 

Ria kembali menangis, aku yakin kali ini bukan tangis sedih lagi, akan tetapi tangis bahagia. Mereka pulang setelah lebih dulu berkali-kali berterima kasih. 

"Mana tau suatu hari nanti kalian sukses, bayar juga zakat kalian seperti ini, cari orang yang benar-benar butuh," kataku kemudian, aku takut suami lupa berpesan tentang kebaikan berantai itu. 

"Bang, kalau mereka larikan uang kita lagi, aku gak tanggungjawab ya," kataku pada suami. 

"Iyaa, Dek, lagian mana pernah abang minta adek tanggung jawab," 

Dua hari kemudian, dua adik laki-lakiku datang, mereka datang sambil bawa oleh-oleh gorengan. 

"Bang Parlin memang baik, sama saudara tidak pernah perhitungan," kata adikku yang bungsu. 

"Bang, kami juga minta modal lah, kek sama Ria itu," sambung adikku yang nomor dua dari bawah. Duh, aku sungguh lupa berpesan pada Ria supaya tak bilang ke orang lain. 

"Untuk apa?" kata Bang Parlin. 

"Aku mau beli mobil, Bang,"

"Aku mau beli motor KLX, Bang," kata adikku yang lain. 

"Apa kalian merasa sudah jadi orang yang berhak menerima zakat?" tanya Bang Parlin. 

"Bisa, Bang,"

"Bisa apanya?"

"Kami bisa pura-pura jadi orang yang berhak menerima zakat," 

"Hei, kita itu sesuai keinginan kita, kalau mental kalian seperti itu, ya, begitu selamanya, selamanya jadi penjilat," kata suami. 

Muka adikku tampak merah. "Kok abang gitu, bilang kami penjilat?" katanya. 

"Ini untuk apa gorengan?" 

"Ya, untuk abang,"

"Tumben bawa gorengan?"

"Karena... "

"Karena kalian mau minta uang, inilah yang namanya menjilat, semoga kalian bisa sadar," kata suami. 

Mereka akhirnya pulang, jelas terlihat kekecewaan di wajah mereka. Aku merasa tak enak juga melihat saudaraku itu. Bang Parlin bisa sangat dermawan, akan tetapi bisa juga sangat perhitungan. 

"Padahal mereka lumayan, dua-duanya kerja, tapi mental penjilat," kata Bang Parlin setelah kedua saudaraku pergi. 

Ada juga rasa sakit hatiku, ketika Bang Parlin memperlakukan saudaraku seperti itu, akan tetapi benar juga, mungkin dengan begini mereka bisa sadar. 

Tiba bulannya aku melahirkan, suami benar-benar jadi suami siaga. Perlengkapan ke rumah sakit disediakan di mobil. Subuh itu kami jalan-jalan di seputaran komplek, karena kata dokter jalan di pagi hari bisa memudahkan persalinan. 

"Dek, Abang deg-degan mau ke rumah sakit ini," kata suami. 

"Lo, yang mau lahiran itu aku, Bang, kok Abang yang deg-degan. 

"Abang belum pernah ke rumah sakit,".

"Mana mungkin?"

"Iya, betul, Dek, seumur hidup belum pernah ke rumah sakit,"

"Wah, emang Abang gak pernah sakit atau antar saudara sakit?"

"Belum, Dek, ada tiga hal yang kuhindari berurusan dengannya,"

"Apa saja,"

"Rumah sakit, kantor polisi dan rumah dukun,"

"Hahaha," aku tertawa ngakak, ternyata suamiku ini memang benar-benar unik. 

Tiba-tiba perutku rasanya sakit, entah karena terlalu ngakak yang tertawa itu aku tak tahu. Kurasa ini, sudah waktunya. 

"Bang, sudah saatnya, Bang," kataku seraya memegang perut. 

Suami gerak cepat, dia justru berlari meninggalkanku, beberapa detik kemudian kembali lagi, lalu berteriak memanggil beca yang kebetulan lewat. 

"Kita kan punya mobil, Bang," kataku setelah naik ke becak. 

"Duh, Abang lupa, bentar kuambil," kata suami seraya menyuruh becak berhenti, baru turun berlari, lalu kembali lagi. Aku tersenyum melihat suami yang tampak panik. 

"Udah, kita naik becak saja," katanya. Padahal bisa saja dia suruh becak memutar pulang. 

"Ketika sampai di rumah sakit, langsung ke ruangan bersalin,"

Baru kali ini kulihat suami sepanik ini. Suami ngotot tak mau keluar dari ruangan ketika perawat menyuruh menunggu di luar.

#Bersambung ke-25 ...

                                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar