Suamiku Jadul
Karya; Bintang Kejora
Part 18 (Nggak Bucin)
"Hubungi dulu Bang Parta, Dek?" perintah suami.
Bang Parta adalah panggilan Bang Partaonan, yang tinggal di Kalimantan, juragan sawit juga. Segera kuambil HP jadul Bang Parlin, memeriksa nomor serta mengetik nomor tersebut di HP-ku.
"Assalamu'alaikum, Bang, ini Nia, istrinya Bang Parlin," salam dan sapaku ketika hubungan tersambung.
"Waalaikumsalam, apa kabar?"
"Baik saja, Bang, kami mau datang ke sana kalau boleh,"
"Kalian mau datang ke Kalimantan?"
"Iya, Bang, ada nomor WA, Bang,"
"Ada, kakakmu ada WA-nya, mau naik apa kalian biar kami pesan tiket,"
"Naik pesawatlah, Bang, kami di Bandung,"
"Apa? Di Bandung, memang yang jajok lah si Parlin ini."
"Bukan jajok, Bang, mau keliling Indonesia katanya, sekalian silaturahmi,"
"Ya, iya, jajok lah itu, mana dia?"
"Ini, Bang," kataku seraya menyerahkan HP ke Bang Parlin.
"Pakai bahasa Indonesia, Adek mau denger," bisikku pada Bang Parlin.
Akan tetapi mereka tetap pakai bahasa Batak juga, sebel! Akhirnya aku hanya menonton, dan menunggu bagaimana putusannya.
Setelah sekitar lima belas menit bicara baru HP kembali padaku lagi.
"Nia, pesan tiket dari Bandung ke Pontianak, baru kabari kami sehari sebelum berangkat, biar dijemput kalian." kata Bang Partaonan.
"Kenapa harus sehari sebelum berangkat, Bang?
"Dari Pontianak ke tempat kita masih jauh,"
Ya, Tuhan ini akan jadi perjalanan yang panjang.
Segera kucek HP, menelusuri tentang tiket Bandung ke Pontianak, dapat tapi berangkatnya masih hari sabtu. Segera kupesan lewat online.
"Harga tiketnya hampir dua juta, Bang," laporkan pada suami.
"Ya, udah, itu hanya seribu kilo sawit,"
"Tapi Bang Parta mau bayar,"
"Gak usah, Dek, kita saja yang bayar,"
Ada waktu sehari lagi di Bandung, mau jalan-jalan juga, akan tetapi kami tak tahu tentang Bandung sama sekali. Sementara perut sudah lapar, urusan makanan Bang Parlin sangat ribet, dia hanya mau masakan Tapanuli Selatan, mau di mana dicari di Bandung ini.
Ketika aku buka HP hendak bertanya sama Google ternyata pesan WA masuk. Ketika kubuka ternyata dari Rara, pesan beruntun yang sangat banyak.
(Di mana kalian)
(Kok pergi gak bilang-bilang sih)
(Ditinggal sebentar sudah pergi)
(Udah masak ini, pulanglah)
(Di mana kalian, biar dijemput suamiku)
Begitu pesan dari Rara, kutunjukkan pada Bang Parlin, Bang Parlin justru bilang "acuhkan saja" Ternyata bisa juga ngambek ini suami.
(Kalian bagaimana, Sih, pesan dibaca tapi gak dibalas, maksud kalian apa?) pesan WA dari Rara lagi. Ah, ini harus dijelaskan, berarti suaminya belum cerita. Dari pada dia berprasangka buruk pada kami.
(Kak Rara, kami pergi karena dimarahi suaminya, Bang Parlin sakit hati, tolong biarkan saja, baru kali ini kulihat Bang Parlin sakit hati begitu) balasku akhirnya.
(Suamiku bilang apa)
(Udah, gak usah dibahas lagi, yang jelas suami kakak tidak suka kami datang,)
(Baik, Nia, maaf, ya, suamiku memang begitu, karena itu juga kami tak pernah pulang ke kampung)
Tak kubalas lagi, kulanjutkan tujuanku cari makanan enak di Bandung. Belum sempat aku cari, suami sudah berkata.
"Dek, kudengar di sini ada gedung sate, kita ke sana yuk, pasti banyak jual sate," kata suami.
"Siap, Bos!" jawabku seraya memesan taksi online menuju gedung sate. Kami pun berangkat. Akan tetapi aku dan Bang Parlin bengong ketika sampai, ternyata gedung sate itu bukan jual sate, tapi gedung yang cukup besar.
"Mana satenya?" kata Bang Parlin.
"Mana kutahu, yang ajak kemari Abang, kok,"
"Ah, gak beres ini orang Bandung, katanya gedung sate, dikira banyak jual sate,"
Aku lalu bertanya ke orang yang lewat, di mana kira-kira jual sate.
"Numpang tanya, Bu, jual sate di mana, ya?" tanyaku kemudian.
"Oh, di sana, Teh, di belakang," jawab wanita itu seraya menunjuk ke, arah belakang gedung.
"Kami cari sate, bukan cari teh?" suami yang menjawab.
Orang tersebut tampak bingung, kulihat Bang Parlin juga terlihat bingung.
"Orang Bandung aneh, ditanya sate, yang ditunjuk teh," kata Bang Parlin lagi. Aku sampai memegang perut menahan tawa.
Kami akhirnya makan sate juga, terjadi lagi salah paham yang cukup lucu, aku juga ikut salah paham.
"Ini cengeknya," kata pelayan warung sate itu seraya menunjukkan cabe hijau.
"Mana jengeknya, aku suka jengek," kata Bang Parlin.
"Ini," jawab pelayan tersebut sembari menunjuk cabe.
"Ah, macammana sih, Dek, masa cabe dibilang jengek,"
"Entahlah, Bang," kataku ikut bingung, karena setahu aku jengek itu kerupuk, enak kalau teman makan sate.
"Ini sate apa, Dek?" tanya suami pada pelayan.
"Sate Jando, Pak,"
"Astagfirullah, sate jando? Yang masak janda gitu?"
"Bukan, Pak, itu payudara sapi,"
"Astagfirullah!" kembali Bang Parlin istighfar.
Kami kembali ke hotel, tak puas rasanya yang makan sate tersebut. Suami malah tak menghabiskan satenya, karena pelayannya bilang sate payudara sapi. Entah karena dia peternak sapi atau apa aku tidak tahu.
"Abang mau keliling Indonesia, tapi selera Abang tak Indonesia," kataku pada suami.
"Iya, Dek, susah kali lidah kampung ini," kata suami.
"Kita pesan gofood saja, Bang,"
"Makanan apa pula goput ini, gak ah, namanya saja sudah aneh," jawab suami.
Akhirnya kutunjukkan HP pada suami, dasar memang suami jadul. Kubiarkan suami memilih-milih, akhirnya ketemu juga, biarpun di Bandung ternyata ada juga rumah makan khas Mandailing di tanah Pasundan ini.
Ketika kami makan Rara menelepon, kuberikan pada Bang Parlin, akan tetapi Bang Parlin tak mau terima. Tak kusangka orang seperti Bang Parlin bisa merajuk juga.
(Tolong angkat) pesan dari Rara.
Lagi-lagi kutunjukkan sama Bang Parlin, "ya, udah, angkat," jawab Bang Parlin.
Panggilan Video call itu akhirnya kuangkat juga, ternyata ada Bapak, ayahnya Rara. Ada juga Lindung anaknya Rara.
"Bang Pain, maaf ya, Bang Pain," kata Rara.
"Iya, Rara, Abang juga minta maaf,"
"Tetap semangat, Parlin, kau anak kebanggaanku, aku selalu memantau perkembanganmu," kata Bapak Rara.
"Iya, Pak, saya sedih, Pak, belasan tahun kutunggu bertemu Bapak, jadi begini," kata Bang Parlin, ada butir bening di sudut matanya.
"Apapun ceritanya, kau tetap kebanggaan Bapak, anggap Rara sebagai adikmu sendiri," kata Bapak itu lagi.
"Iya, Pak, dari dulu kuanggap begitu," kata Bang Parlin, aku tahu dia bohong, dia justru lama menikah karena menunggu Rara.
"Ini suamiku, Bang, dia mau ngomong," kata Rara.
Lalu terlihat di layar pria berperawakan tinggi besar tersebut.
"Maaf, ya, jujur aku cemburu padamu, Bapak dan Rara selalu menceritakan tentang kau, bertanya ke kampung hanya ingin tahu berita tentang kau, jadi aku sampai hapal kau punya ternak banyak, bantu saudaramu semua, berangkatkan ayahmu ke Mekkah, menikah dengan orang kota, aku tahu semua, aku cemburu, akan tetapi aku baru tahu ternyata kau anggap Rara sebagai adikmu, bodoh sekali aku cemburu pada kakak istriku," kata lelaki kekar tersebut.
Duh, mulai lagi, Bang Parlin menangis, aku tak suka ini, aku tak suka melihat Bang Parlin sedih.
Keesokan harinya kami akhirnya berangkat, Rara mengantar kami ke bandara Husein Sastra Negara, tujuan kami adalah bandara Supadio Pontianak.
Ketika kami sampai di bandara Supadio, Bang Parta dan istrinya sudah menunggu di situ, kami lalu naik mobil menuju kebun sawit Bang Parta.
"Berapa lama perjalanan ini, Bang?" tanyaku pada Bang Parta.
"Kita ke Ketapang, sekitar tiga belas jam naik mobil." jawab Bang Parta.
Ya, Allah, perutku akan diguncang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar