Minggu, 05 Juni 2022

Suamiku Jadul (17)

 Suamiku Jadul

Karya; Bintang Kejora

Part 17 (Sabaar dan dermawan)

Tiba waktunya pesta, segera kuberitahu semua saudaraku, bahwa kami akan pesta besar sekali lagi. Pas kubilang kakak ipar langsung bilang tidak bisa. 

"Kami tidak bisa ikut, jauh kali ke sana," Begitu kata kakak ipar. 

"Kok langsung bilang gak bisa sih, Ma?" Abangku langsung meyela. 

"Ya gak bisa, di jalan saja sudah dua belas jam, memang Papa bisa?"

"Bisa tidak bisa aku yang putuskan, Mama itu melangkahi Papa, ini adikku lo yang mau pesta," kata Abangku. 

Aku terkesima dengan perkataan Abang itu, apakah dia sudah sadar kalau selama ini diatur istri? Apa-apa selalu kakak ipar yang memutuskan. Baru kali ini kulihat abang protes. 

"Aku juga sepertinya tidak bisa," kata adik laki-lakiku yang paling bungsu. 

"Aku juga harus kerja," kata adikku satu lagi,

"Aku ikut, Kak," kata Ria--adik perempuanku. 

"Sayang sekali ya, padahal semua biaya kami yang tanggung, sudah disediakan bus besar untuk ke sana." kata Bang Parlin. 

"Kalau begitu aku ikut," adik laki-lakiku langsung tunjuk tangan. 

"Kami juga," kata Abangku. 

Akhirnya semua setuju ikut pulang ke desa Bang Parlin. 

Bus pariwisata besar sudah disiapkan, keluarga Rina dan keluarga kami cukup satu bus. Bang Parlin rela mengeluarkan satu sapi untuk mencarter bus ini beserta sopir dan kernetnya. Saudaraku ikut semua karena gratis. 

Kabupaten padang lawas utara adalah tempat yang kami tuju, di sinilah suamiku dilahirkan dan dibesarkan. Masih ada rumah mereka di situ. Begitu kami sampai sudah disambut warga desa. Musyawarah pun digelar ternyata aku dan Rina harus ditabalkan marga lebih dahulu sebelum acara digelar. 

Semua saudara Bang Parlin datang, luar biasa banyaknya. Yang membuat aku takjub mereka semua menyumbang untuk acara itu. Kata mereka marpege-pege namanya. Acara yang khusus mengumumkan bahwa akan digelar acara pesta besar. Uang yang terkumpul luar biasa banyak. Bahkan melebihi dari dana yang diperlukan. 

Aku akhirnya berkenalan dengan Pardamean ini, dia bertubuh kecil, tidak seperti abangnya yang tinggi besar. Partaonan yang tinggal di Kalimantan sudah menikah dengan gadis Banjar. Mereka juga datang. Panyahatan yang tinggal di jambi juga sudah menikah. Mereka semua punya satu kesamaan, yaitu Jadul. Entah kenapa tak ada dari mereka yang punya akun Facebook. Akan tetapi semua kaya raya. Keluarga yang luar biasa. 

Ketika kami ditabalkan Marga, namaku jadi berubah. Nia Dahlia Harahap namaku sekarang, Rina juga ditabalkan marga Harahap. Acara penambalan marga itu sangat melelahkan. Hampir semua orang berpidato bergilir. Mereka menyebutnya Markobar, yang membuat ini makin melelahkan adalah karena aku tak mengerti apa yang mereka katakan. 

Para saudaraku dijamu di pesta itu mereka tak diperbolehkan ikut membantu, ternyata dalam adat keluarga dari pihakku disebut Mora, datang hanya makan dan berpidato. Untunglah abangku yang tertua pandai Berpidato, biarpun pakai bahasa Indonesia.

Pesta berlangsung tiga hari tiga malam, makanannya sangat mewah, daging kerbau. Tiga kerbau dipotong. Pesta yang luar biasa. Para saudaraku sampai melongo melihat pesta besar tersebut. 

"Nia, usaha apa sih suamimu sampai uangnya gak pernah habis?" tanya kakak ipar. 

"Yang pasti bukan ngepet, Kak," 

"Bilanglah si Parlin kami ikut kerja kek dia,"

"Kakak aja yang bilang," kataku. 

Setelah pesta besar-besaran selesai saatnya kembali ke kediaman masing-masing. Suami memberikan uang lelah untuk semua saudaraku, masing-masing dapat tiga ratus ribu. Adik laki-lakiku sampai nyeletuk. 

"Baru kali ini pergi ke pesta digaji," katanya. 

"Kita bulan madu lagi yok, Dek, kan baru pesta," kata suami di suatu pagi, saat itu kami berdua sedang menyiram tanaman di halaman rumah. 

"Ish, Abang," 

"Ayok lah, Dek, kita ke Jawa," 

"Ngapain?"

"Ketemu Rara,"

"Astagfirullah, Bang, masih saja Abang ingat si Rara,"

"Coba kau hubungi dulu, Dek, tanya kabar Bapak,"

Segara kuambil HP, langsung ke aplikasi WA dan memanggil Rara. Memanggil, berdering, akhirnya terhubung.

"Rara, ini Bang Pain, mau nanya kabar Bapak,"

"Eeh, Bang Pain, Bapak sehat Alhamdulillah,"

"Kami mau jalan-jalan ke sana, kalian di mananya?" kataku akhirnya. 

"Oh kami di Bandung, datanglah, nanti kukirim alamat lengkap," kata Rara, setelah basa-basi yang cukup lama sambungan telepon pun terputus. 

"Kita ke sana, Ya, Dek, sekalian jalan-jalan ke Bali,"

"Ok, Bang, tapi jangan macam-macam sama Rara, ya,"

"Mana berani Abang, Dek, hanya teman kok,"

"Laki-laki dan perempuan mana mungkin hanya teman, pasti ada rasa," kataku, entah kenapa aku selalu cemburu bila Bang Parlin bicara tentang Rara. 

"Berarti Adek sama si Rapet itu ada rasa lah ya," 

Ah, suami ini selalu bisa membalikkan perkataan. Aku dan Rapi memang berteman unik, kami berteman bahkan selalu saling ejek, tapi jujur tak ada rasa, hanya teman. 

Akhirnya kami berangkat honeymoon juga, Bandung jadi tujuan, kami naik pesawat dari medan ke Jakarta, baru naik mobil travel jakarta ke Bandung. Begitu kami sampai pertemuan Bang Parlin dan Rara sangat menyentuh sekali, tak ada salaman, akan tetapi ada tangisan. Bapak dokter itu juga akhirnya kami jumpai. Ternyata beliau sudah ada ada di kursi roda. Pertemuan itu sangat mengharukan, suami menangis dan bersimpuh di kaki bapak itu. 

"Ini yang namanya Pain, Parlindungan?" tanya seorang lelaki yang kutahu suami Rara. 

"Iya, Bang," kata Bang Parlin seraya mau menyalam. Akan tetapi suami Rara ini terlihat dingin. Saat itu kami lagi bertiga duduk di teras rumahnya. 

"Berani juga kau datang kemari?" tanya pria tersebut. 

"Emang kenapa, Bang?"

"Memang kenapa? kau merampas hati istriku, semua ceritanya selalu tentang kau, kau yang pandai ngaji, yang pandai menyanyi, yang sopan, bahkan nama anak kami pun ternyata diambil dari namamu, nanti kuganti itu,"

Aku melongo, Bang Parlin juga terdiam. 

"Bahkan mertuaku pun ikut ngepans sama kau, apa sih kelebihanmu? Tampan tidak, pintar tidak, bahkan udik lagi," 

"Maaf, Bang, kami pergi saja, selamat tinggal," kata Bang Parlin, dia sepertinya tersinggung, tanpa pamit ke Rara lagi yang sedang ke pasar, kami pergi dari rumah itu, dan menginap di hotel.

"Abang liat itu, kan, itu Rara yang abang banggakan itu, semua orang punya masa lalu Bang, masa lalu itu tak perlu diinget, Move on, Bang, move on,"

"Ngomong apa nya kau itu, Dek, baru dua hari dia Bandung bahasamu sudah campur sunda," 

"Itu bahasa Inggris, Bang, bukan sunda, artinya lupakan, lupakan,"

"Ih, Adek, makin marah makin cantik aja,"

"Abang sih, jauh-jauh kemari menyeberangi selat sunda hanya untuk dapat cemoohan, jangan terlalu lugu, Bang, gak semua orang lurus-lurus pikirannya kek Abang,"

"Adek makin mirip si Nunung, suka cemburu," kata Bang Parlin. 

"Udah, Bang, Adek rela jadi Nunung Abang, lupakan Rara, ya," 

"Iya, Dek, iya,'"

"Kita pulang ya, Bang,"

"Belum, Dek, Abang mau keliling Indonesia, kunjungi saudara, ke Kalimantan, ke Jambi, ke Riau, baru ke kebun kita."

Wah, kami akan keliling Jawa Kalimantan sampai Sumatra.

Bersambung...


                                                            

Kampung Coklat 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar