Kamis, 30 Juni 2022

Cara Menggapai Umur Panjang

 

Pelatihan Guru 28 Juni 2022

“IKIGAY”

Oleh Dr Edi Kuncjoro, M.Pd.

Orang Jepang yang hidup di Okinawa panjang umurnya 100 thn hal itu karena hidupnya Bahagia. Bahagia karena hidupnya berarti, mempunyai tujuan hidup, impian dan harapan. Saat bangun tidur kita merasa ada hal yang akan kita lakukan hari ini akan terasa beda jika kita merasa malas. Hidup lah bermanfaat walaupun hanya menyapu, merapikan tanaman itu membuat hidup berguna.

Lakukan sesuatu yang kita senangi (passion), kita kuasai (profession), bayarannya (vacation) dan bermanfaat bagi orang banyak (Mission)

Tipe-tipe manusia :

1.       hidupnya hanya memuaskan dirinya, yang disukai tanpa manfaat buat orang lain. Contoh manciing aja tiap hari (mendapatkan kepuasan tapi tidak merasa berguna)

2.       hidupnya hanya untuk mengasah kemampuanna. Contoh : belajaaarr aja, semua hal dipelajari, berbagai gelar ditempunya.

3.        Hidupnya hanya untuk bekerjaaaa aja sehingga tidak bisa menikmati hasil kerjanya dan meninggal orang lain yang menikmati hasil kerjanya. Cerita : Seorang juragan wanita yang rajin bekerja tiap hari, gak pernah berlibur karena takut pelanggannya kecewa dan pergi. Pada akhir harinya menghitung keuntungan dan rutinitas dilakukan hingga dia sakit dan meninggal. Suaminya menukah lagi dengan asisten istrinya. Asisten itu senang dan mengunjungi makam juragan Wanita untuk berterimakasih atas jerih payahnya sehingga kini dia bisa menikmati kekakyaannya bersama juragan laki-lakinya.

4.       Hidupnya yang hanya untuk orang lain, ke keluarga, dirinya tidak diperhatikan.

5.       Memadukan kesukaan dan kompetensi, misalnya menolong orang dengan ketrampilannya misalnya service mesin…dia ahli dalam bidang mesin motor hingga suatu hari ada orang yang harlenya rusak, hanya cukup diketok dan hidup lagi karena kabilatornya kotor.

6.       Menyukai sesuatu dan berperan dalam hidup orang lain, misalnya Pak RT yang aktif dalam kegiatan kampung.

7.       Profesiaonal dan kesenangan, menjadi guru bayaran, hampa karena apa yang dia kerjakan adalah materi. ….ini kebanyakan yang dialami orang jaman sekarang….u Edy pernah menjadi guru bimbel utama yang dipercaya, disenangi siswa sehingga bimbel itu dicari oleh siswa karena peran seorang guru.  Pasien yang dicari dokter yang cocok bukan rumah sakitnya, sehingga rumah sakit itu tidak akan mempensiunkan dokter anak tersebut walaupun sudah tua, karena dokter anak paling laris di rumah sakit tersebut.  

Ikigai mengerjakan sesuatu yang dikuasai dengan rasa cinta sehingga ada totalitas, bukan sekedar bayaran namun kemanfaatan buat orang lain.

Extacy=kegembiraan yang tak tertandingi.

Refleksi Diri : Yang aku lakukan sekarang adalah cita-citaku duluuu yang sempat berganti-ganti dari menjadi guru TK, Polisi, Teller Bank dll. Aku ingin untuk selalu berinteraksi dengan manusia, tidak dengan computer, tidak dengan kuman (teman-teman saya alumni Biologi MIPA jadi peneliti di Lab). Ternyata profesi itu adalah guru. Saya pingin menjadi guru di SMA 5 surabaya yang pinter, namun tidak berhasil. Dan ternyata guru Alhikmah adalah passion saya di mana saya bisa menjadi guru agama seperti harapan bapak saya, menjadi konselor bagi murid dan wali murid yang saya dapati dari guru BK idola saya. 

Bapak kalau menasehati aku “As biji matematikamu oleh mek 85 neng biji agamamu kudu 100”. Artinya aku harus lebih mengutamakan belajar agama dan memahaminya. Masyaalloh bapakku itu hanya sekolah sampai kelas 2 SD karena trauma dengan gurunya yang sering memarahi karena kenakalan bapakku dengan meludahi. Mungkin karena itu sehingga bapakku hanya sekolah sampai kelas 2 SD dan selebihnya mengabdi pada Kyai di pondok Jember. Namanya mengabdi, belajarnya ya kalau ingat…dan susahnya banyak gak ingatnya…dan beliau mulai mengaji lagi setelah lahir aku.

Pertanyaan yang digunakan untuk mengetes dirimu di posisi IKIGAY atau belum?

1.       Apakah yang saya kerjakan saya sukai?

Ibunya Anas bin Malik Wanita yang kurang cantik, Malik melihat itu dan kurang suka. Namun tetap menjalaninya karena mungkin ada kebaikan di wanita itu. Namun hati malik tidak bisa bohong, karena kecewa dengan pernikahannya maka  Malik pergi 20 tahun. Saat Malik ingin ke Madinah dia mendengarkan seorang pemuda imam masjid yang bagussss, maka Malik meminta ijin untuk mengunjungi rumah ibunya sang imam itu. Pastinya Malik masih mengingat rumah yang ditinggalkan maka dia memberikan kata kunci pada pemuda itu. “ Nak, bilanglah ke ibumu seperti ini  “Mungkin ada kebaikan dibalik ini semua”. Maka pemuda itu mengatakan kata kunci it uke ibunya dan ibunya bilang “laki-laki itu ayahmu nak, suruhlah masuk”. Masyaalloh betapa hebat ibunya Anas yang mendidik anaknya dengan sabar walaupun mendidik sendirian dan itulah balasannya seorang Anas bin Malik.  

Ustd Edi menceritakan pengalamannya bahwa bu Edi bukan cinta pertamanya, namun adalah cinta terbaiknya. Maka bersyukurlah dengan yang ada sekarang, dengan pasangan kita, yakinlah bahwa ada kebaikan di diri pasangan kita.

 

2.       Pakah bermanfaat buat orang lain?

3.       Aku blm mencatat

4.       Aku belum mencatat

Cara menemukan Ikigai

1.       Jangan berputus asa. Tekun bekerja, di Jepang ada yang kerjanya satu hal sampai pensiun. Berlatih untuk focus dan tahan malu untuk menjalani proses. Pengalamanku tentang aku tidak putus asa, saat itu aku belum bisa menangani anak dan di marahi U Edi. Aku sedih terpukul 3 hari aku nangis namun aku bangkit, aku belajar buku-buku penangan anak remaja, Alhamdulillah proses berjalan dan kini aku tahu dari komentar murid-muridku dan wali murid sehingga aku menjadi wali kelas abadi.

2.       Jangan tergesa-gesa : jika tergesa membuat tidak focus dan tidak optimal. Persiapkan hal yang remeh karena itu mendukung untuk focus

3.       Jangan berlebihan. Dalam hal makan, takut, kuatir, proporsional saja.

4.       Temukan teman baik. Orang kesepian gampang stress, putus asa, gampang sakit. Tarsan aja bersosialisasi dengan hewan. Berteman kebutuhan psikologis terpenuhi, yaitu dipuji. Di sorga aja nabi adam minta teman. Suamiku adalah teman baikku yang akan menimpali setiap hal yang aku ceritakan. Dulu pernah aku sebel karena respon yang kuharapkan berbeda dengan komentarnya, namun kini kami sudah bisa saling mencocokan, kalau tidak seperti yang kuharapkan maka aku akan menjelaskan lebih detail apa yang kurasakan dan jika pada akhirnya berbeda persepsi maka yaa kami akhiri saja.

5.        Olah raga rutin

 

                                                                 

                                                            Bahagia bersama U Arifah

Cara Menegur

                                            Vio yang lembut hati, dengan diamku sudah tahu


 

Pelatihan Musyrif 2022 oleh Ustd Jinan

Guru sering menegur dengan "diam", marah, membentak efeknya

1. tidak mengerti kenapa harus sopan

2. merasa tidak disayang

3. tidak diberi kesempatan memperbaiki diri

Tujuan: 

1. mengontrol emosi dirinya

2. punya kepercayaan diri karena tidak disalahkan

3. memecahkan masalah

4. mengenal peraturan

jangan bilang "alasan kamu" yang penting adalah penyebabnya apa dan anak diminta cari solusi

Tahapan menegur :

1. pandangan visual : jika saatnya solat masih di kamar maka masukkah kamar dan pandangi mereka dengan halus....Masyaalloh aku ingat bapakku dulu kalau mengingatkan aku sholat pasti dengan bertanya..."wes solat As"....gitu kalau aku menunda langsung bapakku menuju ke tempat aku mainan dan melihatku saja tanpa bicara, namun satu saja selisihnya...bapakku sambil melotot tegas....langsung aku dan adekku lari melaksanakan solat. 

2. Diam dan lakukan apa yang kita mau terhadap anak. Misalnya jika anak melempar sampah di depan kita maka langsung kita ambil saja tanpa bicara....kalau ini apa yang dilakukan emakku. Jika aku diminta tolong nyapu masih asik mainan maka langsung dilakukan sendiri. Otomatis aku sungkan dan langsung juga mengambil sapu lainnya untuk membantu dari arah yang berbeda. Kalau bapakku mendiamkan kami hanya dengan isyarat dehemnya "eheeemmm" itu saja kami berdua langsung pulang dari rumah tetanggaku dan kalau lagi mainan di rumahku maka temanku juga langsung pulang.

Masyaalloh begitu ternyata bapak dan emakku sudah melakukannya walaupun belum mengerti teorinya. Sayang sekali kalau urusan masak aku kurang suka sehingga aku hanya membantu hal-hal yang remeh misalnya mengupas brambang, sehingga aku baru bisa masak setelah menikah. Itupun setelah aku hitung dari harga bahan dan harga waktuku karena impas maka aku lebih baik membeli ketering di Bu Sri tetangga sebelahku. Alhamdulillah dapat Wifi juga..masyaalloh bu Sri baiknya seperti sodara. 

3. pernyataan tidak langsung (memberikan informasi "nak disana lo tempat sampahnya")

"nak, adzan sudah berkumandang waktunya pergi ke masjid"

4. memberi pilihan, "Kamu melakukan dzikir atau berdiri ditempatmu?"....Masyaalloh itu persis bapakku menegur, biasanya langsung bertanya "deleh dolanane? opo solat"...padahal itu pilihan yang sebenarnya adalah menyuruh aku solat....al Fatihah buat bapakku

5. Melarang dengan menyentuh fisik, Misalnya saat anak mau memukul temannya maka langsung kita hadang tangannya. 

Rabu, 29 Juni 2022

Suamiku Jadul (26 Ndeso FB an)

 Suamiku_Jadul...

Part 26.

👇 Akhirnya kuajari juga suami main HP, katanya HP android sudah masuk kebutuhan, bukan lagi keinginan. Jaman sekarang apa-apa yang ditanya nomor WA, kalau kita gak punya WA, orang jarang menghubungi. Pertama kubuat nomorku dengan nama My Darling di HP-nya, dia justru protes, dan suruh diganti sama Umak Ucok. 

Akan tetapi ku-antisipasi juga supaya dia tak berhubungan dengan Rara, entah kenapa aku selalu cemburu cara suami bicarakan Rara. Kumasukkan nomor Rara, baru kublokir, jahatnya aku. 

Tiba-tiba adik bungsuku memasukkan nomor Bang Parlin ke grup WA keluarga. Akhirnya itu saja yang dibahas Bang Parlin. 

"Dek, lihat ini, adik iparmu mau belanja pun pakai pengumuman," kata suami ketika ada pesan dari adik iparku di grup WA, pesannya begini. 

(Ke pasar dulu belanja, ada yang mau nitip gak) 

Duh, bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Bang Parlin?  Ini sesuatu yang baru baginya, banyak yang akan dia temui yang tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. 

Setelah Bang Parlindungan masuk grup WA, para saudaraku sering kirim pesan pada Bang Parlindungan. Aku tahu karena setiap ada pesan, suami akan tunjukkan padaku. Seperti hari itu, pesan dari adik bungsuku di grup WA, akan tetapi ditujukan untuk suami. 

(Bang Parlin memang pahlawan keluarga, sudah dua saudara kita yang menghilang dari peredaran karena  Bang Parlin) 

Aku tahu maksudnya, Ria--adikku dan kakakku kini tak lagi aktif di grup WA, karena keduanya kini ada di kampung beternak sapi. 

"Baca aja, Bang, gak usah balas, tahan diri," kataku pada Bang Parlin. 

Dua adikku mungkin sakit hati karena tak dikasih pinjaman oleh Bang Parlin, akan tetapi abangku yang paling besar justru seperti sudah sadar kini, semenjak Bang Parlin menceramahi abangku itu dia tak pernah lagi usil, tak pernah nyindir. Aku sangat bersukur, satu persatu saudaraku berubah karena Bang Parlin. Kejadulannya membawa aura positif untuk keluargaku.

Suatu hari kulihat Bang Parlin serius kali lihat HP-nya, aku jadi penasaran dengan apa yang dia lihat, tanpa setahu Bang Parlin kulihat ke layar HP-nya, posisiku dari belakang. Ternyata suami sadar akan kehadiranku. 

"Lihat ini, Dek, ada orang minta duit, katanya butuh uang untuk bawa anaknya berobat," kata suamiku seraya menunjukkan HP-nya. 

Ternyata di beranda Facebook-nya lagi lewat postingan yang mengemis online. Bang Parlin memang kubuatkan akun Facebook, akan tetapi akun Rara kublokir, teman Facebook-nya juga hanya belasan orang. 

"Kasihkan dulu uang kita, Dek, kasih tiga juta, dari HP-mu kan bisa transfer langsung," kata suami lagii. 

Segera kulihat orang yang ngemis tersebut, fotonya hanya satu, pertemanan hanya seratusan. 

"Itu gak benar, Bang, pura-pura itu?" kataku kemudian. 

"Masa sih pura-pura anaknya sakit, nanti sakit benaran, lihat yang beginu abang gak tahan, Dek, teringat terus Abang waktu kecil dulu." kata suami lagi. 

"Ini, lihat ini, Bang, biar ku inbok ya," 

(Di mana rumahnya, kebetulan kami di Medan juga, biar kuantar langsung bantuan, repot kirim-kirim)  begitu kubalas, karena katanya di komentar, dia tinggal di Medan. 

Beberapa saat kemudian, akun Bang Parlin sudah diblokir. Bang Parlin tampak bingung, "mana dia, kok hilang?" tanya suami. Sepertinya Bang Parlin harus diajari dunia medsos yang penuh tipu-tipu ini. 

"Dia blokir Abang," kataku. 

"Kok gitu, mau dibantu malah blokir,"

"Karena dia tak seperti yang dia katakan," 

"Ah, banyak penipu di mediasi sosial ini?"

"Ya, iya, Bang, satu lagi banyak pelakor, hati-hati, Bang. Kalau ada yang inbox hai, Hai, gitu langsung blokir," kataku lagi. 

"Kalau diblokir hilang gitu?" 

"Iya, Bang, gak bisa dihubungi, gak bisa dilihat lagi."

"Wah, kejam itu, itu namanya memutuskan silaturahmi, itu sesuatu yang dibenci Tuhan." kata Bang Parlin. 

Ah, suamiku ini masih terlalu polos untuk ikut berkecimpung di dunia medsos ini. Untung dia gak punya SMS bangking, kalau punya dia mungkin sudah kirim tiga juta untuk orang tak jelas. 

Selama masa nifas, Bang Parlin terus mengurusku, dia juga rajin masak, akan tetapi sayangnya, masakannya tak pernah cocok dilidahku. Entah kenapa kalau dia masak, bawang putih tak pernah dipakai, cabe selalu banyak. Masakannya juga selalu itu ke itu saja, kalau gak daun ubi tumbuk, ikan asam padeh. 

"Dek, lihat ini, Abang kan mau buat status kek orang-orang, terus di sini ada tulisan, " Apa yang anda pikirkan" gitu, terus ditulis apa?" kata suami di suatu malam. 

"Sini adek yang buat," kataku akhirnya. Lalu kutulis status untuk suami, fotonya dia lagi mengganti popok anakku. Captionnya begini. 

(Suami sayang istri)  itu saja yang kutulis, tak lupa kutandai namaku.

Baru sebentar ku-post, sudah ramai komentar para teman satu geng-ku. 

(Ada koboy ngurus bayi) 

(Wah, si gobel yang tak lagi gobel jadi Ayah) 

(Rambo pengsiun) 

Beragam komentar temen satu gengku, kulihat suami hanya senyum membacanya. Tiba-tiba anakku nangis, dengan sigap suami meraba pokoknya, masih bersih katanya, akan tetapi si bayi yang biasa dipanggil Bang Parlin "Ucok tersebut, tetap rewel. 

"Tidurkan dulu, Bang, dia barusan nenen tadi," kataku kemudian. 

Bang Parlin lalu menggendong si Ucok dengan kain gendongan ulos batak, salah satu kain yang diberikan abangnya. Bang Parlin menyanyi. 

Buee, bueee da Amang bueee... 

We wa we, sipulut Mandailing

Magodang ko Amang so sikola mangaji. 

Seperti itu lirik lagunya, entah lagu apa aku tak tahu, akan tetapi aku justru ikutan tertidur mendengar lagu tersebut.

Keesokan harinya rumah kami didatangi seorang wanita cantik, saat itu aku lagi di kamar bersama bayi. Bang Parlin masuk ke kamar bersama wanita tersebut. 

"Siapa ini?" tanyaku. 

"Ini, Dek, katanya dia butuh kerjaan, dia mau jadi baby sitter di sini," jawab suami. 

"Tidak, Bang, aku gak butuh baby sitter," kataku kemudian. 

"Biar adek gak capek kali, Dek,"

"Aku sudah berpengalaman jadi baby sitter, Bu bahkan pernah kerja di rumah pejabat," kata wanita cantik tersebut. 

"Tidak, maaf saja, kami tak butuh, tapi tunggu dulu, dari mana kau dapat informasi kami butuh baby sitter?" tanyaku penasaran, entah kenapa pikiran burukku tiba-tiba muncul, jangan-jangan ini pelakor, jangan-jangan dia pura-pura mau jadi baby sitter, padahal incar Bang Parlin, atau Bang Parlin sudah lama kenal? 

"Dari sini, Bu," kata wanita cantik tersebut seraya menunjukkan status Facebook suami. 

Ya, Allah, ternyata suami sudah bisa buat status sendiri, statusnya alay banget, gini captionnya. 

(IKasihan istriku, dia tampak lelah sekali, andaikan rasa lelahnya bisa kubantu) baru fotoku sedang tertidur. Duh! 

Setelah berulangkali kujelaskan wanita cantik itu akhirnya pergi. Begitu dia pergi, langsung kuinterogasi suami 

"Siapa dia, Bang,"

"Lo, kok tanya abang?"

"Ya, aku tanya siapa dia?"

"Kan sudah dia bilang, dia mau cari kerjaan di sini,"

"Kenapa dia tahu rumah ini?"

"Lo, abang bilang, dia tanya apa butuh baby siiter, aku jawab " Tanya saja istriku," dia tanya alamat, ya, kukasih tahu,"

"Aduh, Bang, kenapa sih abang sepolos itu?"

"Polos bagaimana sih, Dek, Abang hanya kasihan melihat adek, adek sampai tertidur ketika si Ucok kugendong. Lalu kufoto, kata adek apa yang Anda pikirkan katanya di Facebook, ya, yang kupikir hanya itu, adek lelah."

Duh, suamiku ini, aku selalu berburuk sangka padanya. Apakah Bang Parlin tidak tahu dumay itu penuh dengan modus, jarang dapat yang tulus. 

Andorid baru Bang Parlin selalu punya cerita baru, seperti siang itu dia beli pulsa ke warung tetangga, pulsa seratus ribu. Saat itu aku heran melihat dia yang pulang sambil senyum-senyum. 

"Dari mana, Bang, kok senyum begitu?"

"Ini senyum bahagia, Dek, bahagia karena bisa membantu orang," kata Bang Parlin. 

"Bahagia bagaimana, Bang?"

"Ini, ada orang minta pulsa, dia minta sepuluh ribu saja, katanya bila kuberikan dia mau berikan

videonya lagi mandir" kata Bang Parlin. 

"Apaaaa ....?"

"Ya, begitulah, Dek, katanya butuh untuk menelepon orangtuanya di kampung, kasihan Abang, Dek, karena Abang orang kampung itu,"

"Ya, Allah, mana nengok HP-mu, Bang," kataku seraya mengambil HP dari tangannya langsung ke messenger. 

Benar saja, ada seseakun wanita minta pulsa, sepuluh ribu. Akun tak jelas, aku baru mengerti kenapa akun tak jelas banyak bergentayangan, ternyata orang seperti Bang Parlin inilah korbannya. Kucek inbox mereka. 

(Tolong, Pak, saya mahasiswi di Jakarta, butuh pulsa menelepon orang tua di kampung, tolong isikan sepuluh ribu saja)  begitu inbox pertama. 

(Kasihan) begitu balasan suami. 

(Tolong, Pak, aku kirim videoku lagi mandi bila Bapak kirim pulsa sepuluh ribu saja) 

(Kasihannya kau, Nak, sini nomormu biar kuisi seratus ribu, gak usah kirim video segala, jangan minta lagi ke orang ya, memalukan orang kampung saja, kau,)  begitu balasan suami. 

Oalah, Bang Parlin, Bang Parlin. 

"Selamat datang di dunia maya, Bang,"...

#Bersambung ke-27  ...

                                        

                                            Selasa, 28 Juni 22 Bersama BK U Arifah di GHT

Sabtu, 25 Juni 2022

Suamiku Jadul (25 : rendah hati, pandai memuji istri)

 Suamiku_Jadul...

Part 24 (rendah hati, pandai memuji istri)

👇"Abang bohong lagi?" kataku di sela tawa. 

"Bohong di bagian mananya, Dek?"

"Ngapain Abang bilang kerja nyupiri istri juragan sawit?"

"Memang betul, Kok, untuk saat ini pekerjaan Abang memang hanya bawa-bawa istri juragan sawit, Abang kan gak bohong,"

"Abang memang bohong?"

"Ada juga memang bohong Abang tadi,"


"Yang mana, Bang,"

"Abang bilang bawa istri juragan cantik, padahal ... "

"Padahal apa, Bang?" 

"Padahal bukan cuma cantik, tapi cantikkk sekali,"

Kami sama-sama tertawa, kuelus perut yang sudah masuk delapan bulan, sebulan lagi aku akan melahirkan. Deg-degan juga menunggu, karena kata orang hamil di atas umur tiga puluh tahun itu sangat beresiko. Saat ini umurku sudah tiga puluh tiga. Aku lalu teringat perlengkapan bayi yang belum dibeli. 

"Bang supir, antar dulu nyonya beli perlengkapan bayi," kataku pada suami. 

"Siaaap, Bos," jawab suami seraya bergaya menghormat. 

Suami lalu membukakan pintu mobil, mempersilahkan aku naik dengan cara menjulurkan tangannya sebelah. 

"Hati-hati jalannya, Bang Supir," candaku lagi. 

"Baik, Nyonya," jawab suami. 

Sesampainya di toko penjualan perlengkapan bayi, Bang Parlin tetap melanjutkan candaannya, dia bergaya bak supir pribadi, membuka pintu mobil untukku, bahkan pintu kaca toko tersebut pun dia buka. 

Seseorang lalu menghampiriku dan bertanya mau cari apa. Akupun memilih apa yang ingin kubeli. Ketika aku memilih-milih, suami masuk ke toko. Dia masih melanjutkan candaan, keterlaluan memang. 

'Yang ini barangkali cocok, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk ayunan elektrik. 

"Gak mau yang begitu, Bang supir, aku mau yang biasa saja,"

"Mungkin ini juga cocok, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk botol minum susu bayi. 

"Bayiku nanti minum susu ibu, bukan susu formula," kataku lagi. 

Tiba-tiba pegawai toko itu mengusir Bang Parlin. 

"Bang Supir, sebaiknya tunggu di luar saja, tahu apa pula supir urusan bayi," kata pegawai toko itu. 

Aku tertawa, akan tetapi Bang Parlin tak tertawa, dia justru melanjutkan candaan sandiwaranya. 

"Aku memang supir, tapi tahu betul urusan bayi, apalagi itu bayiku," kata Bang Parlin. 

Pegawai itu menatap heran, mungkin di pikirannya kami ini pasangan sopir dan majikan yang selingkuh. Mengingat penampilan suami yang memang mirip sopir, ditambah lagi aku memanggil Bang Parlin dengan panggilan "Bang Sopir"

"Udah, Bang, tunggu di luar aja," kataku akhirnya. Bang Parlin menurut, dia akhirnya keluar dan kulanjutkan aktivitasku memilih perlengkapan bayi. 

"Sopir kok gitu, ya, urusan majikan pun mau dia urus," kata pegawai toko tersebut. Hanya kubalas dengan senyuman, malas juga untuk menerangkan. 

Ketika semua sudah selesai, kupanggil suami untuk bantu angkat, suami malah masih melanjutkan candaan, dia memang seperti itu, dianggap orang sopir, dia akan berperan sebagai sopir. 

"Ini saja, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk barang belanjaannya. 

"Iya, Bang," 

"Kau punya kelambu ini," kata Bang Parlin seraya mengelus perutku yang sudah besar. 

Kulihat pegawai toko itu, dia bisik-bisik dengan temannya. Kami keluar, ketika aku melihat ke belakang, dua pegawai masih menatap kami. Mungkin kami akan jadi bahan gosip mereka.

Ketika kami sampai di rumah, ada Ria, adikku yang perempuan. 

"Datang gak bilang-bilang, Ria," kataku seraya menerima uluran salamnya. 

"Aku gak ada pulsa untuk menelepon, Kak," kata Ria. 

"Jangan pura-pura miskin, tar benaran miskin," candaku kemudian. 

"Silakan masuk," kata Bang Parlin seraya mengangkat barang belanjaan kami. 

Ria duduk di sofa, aku segera ke dapur ambil minum. 

"Ada apa Ria, wajahmu kok sedih kali nampak," 

Akhirnya tangis Ria pecah, dia belum bilang apa yang terjadi, tapi tangisnya sudah duluan menggambarkan kesedihannya. 

"Ada apa, Ria, cerita dong?"

"Ayahnya Rio, kak, dia dipecat, huhuhuhuhu," kata Ria, Rio adalah anak semata wayang mereka. 

"Baru dipecat kok seperti itu?" suami ikut bicara. 

"Sudah dua bulan dia dipecat, Bang Parlin, bagian kami warisan itu mau dia pakai buka usaha, kan udah kubelikan pertapakan perumahan,dia suruh jual, tapi usaha apa? Aku takut, kata orang, uang warisan dibuat modal akan habis," kata Ria. 

Kulihat Bang Parlin, minta dia yang bicara, karena kutahu Bang Parlin selalu punya solusi. Ria adalah saudaraku yang paling dekat denganku, ketika dia dulu menikah melangkahi aku, dia sampai nangis seharian, katanya gak tega dia duluan menikah. 

"Dia mau usaha apa?" tanya Bang Parlin. 

"Itulah yang gak kutahu, bayar kontrakan rumah pun sudah nunggak dua bulan, aku bingung mau bagaimana lagi," kata Ria. 

Bang Parlin lalu memanggilku ke dapur untuk bicara berdua. 

"Dek, kita bayar zakat untuk Ria saja," kata Bang Parlin. 

"Tapi belum waktunya bayar zakat, Bang, masih tiga bulan lagi." kataku. 

"Iya, bayar zakat lebih dulu kan gak apa-apa," kata suami. 

"Apa mereka sudah pantas menerima zakat, Bang?" tanyaku lagi. 

"Sudah, itu sudah termasuk miskin, orang miskin berhak menerima zakat,"

"Nanti saudaraku yang lain iri, Bang, mereka semua nanti minta juga, bagaimana?"

"Ya, gak usah bilang-bilang," 

Kami kembali ke ruang tengah, Ria masih duduk menunggu, matanya masih basah. 

"Begini saja, nanti malam ajak suamimu ke mari, kita bicara di sini," kata Bang Parlin. 

Ria pulang, sebelum pulang, Bang Parlin memberikan uang pada Rio anak adikku tersebut. Ria tampak senang sekali, senyumnya merekah melihat uang Merah tersebut.

Malam harinya, suami Ria datang bersama Ria dan anak mereka Rio yang masih empat tahun. Selama ini suami Ria bekerja di perusahaan retail, di bagian gudang. 

"Mau usaha apa rupanya?" tanya Bang Parlin. 

"Belum tau, Bang," 

"Cari modal, tapi gak tau usaha apa?"

"Aku juga bingung, Bang, sudah sembilan tahun aku kerja di situ, tiba-tiba disuruh mengundurkan diri, alasannya peremajaan," kata suami Ria. 

Oh, aku baru paham, ternyata ini alasannya kenapa pekerja di indo dan Alfa tak ada yang tua. 

"Jaga kebun sawit, mau?"

"Mau, Bang, tapi kan modalnya besar,"

"Begini, kami ada lahan baru, pernah kami buat peternakan lembu di situ, tapi yang jaga justru melarikan diri setelah menjual lembu tersebut. Jadi, kalau kalian mau, kalian di situ saja, kami gaji sesuai UMR, terus dikasih ternak lembu untuk kalian urus," kata suami. 

"Mau, Bang, mau," kata suami Ria. 

Bang Parlin lalu menulis surat, lalu memberikan ke suami Ria, pergilah ke desa, temui Ayahku, ini alamatnya, berikan surat ini, nanti beliau akan mengurus semuanya. 

"Iya, Bang, kami akan pergi besok, karena kontrakan kami kebetulan sudah habis." kata suami Ria. 

Suami lalu memberikan uang tiga puluh juta. Ria tampak heran. 

"Saya serahkan zakat harta saya, untuk kalian, semoga bisa dimanfaatkan," kata Bang Parlin seraya menyalami suami Ria. 

Ria kembali menangis, aku yakin kali ini bukan tangis sedih lagi, akan tetapi tangis bahagia. Mereka pulang setelah lebih dulu berkali-kali berterima kasih. 

"Mana tau suatu hari nanti kalian sukses, bayar juga zakat kalian seperti ini, cari orang yang benar-benar butuh," kataku kemudian, aku takut suami lupa berpesan tentang kebaikan berantai itu. 

"Bang, kalau mereka larikan uang kita lagi, aku gak tanggungjawab ya," kataku pada suami. 

"Iyaa, Dek, lagian mana pernah abang minta adek tanggung jawab," 

Dua hari kemudian, dua adik laki-lakiku datang, mereka datang sambil bawa oleh-oleh gorengan. 

"Bang Parlin memang baik, sama saudara tidak pernah perhitungan," kata adikku yang bungsu. 

"Bang, kami juga minta modal lah, kek sama Ria itu," sambung adikku yang nomor dua dari bawah. Duh, aku sungguh lupa berpesan pada Ria supaya tak bilang ke orang lain. 

"Untuk apa?" kata Bang Parlin. 

"Aku mau beli mobil, Bang,"

"Aku mau beli motor KLX, Bang," kata adikku yang lain. 

"Apa kalian merasa sudah jadi orang yang berhak menerima zakat?" tanya Bang Parlin. 

"Bisa, Bang,"

"Bisa apanya?"

"Kami bisa pura-pura jadi orang yang berhak menerima zakat," 

"Hei, kita itu sesuai keinginan kita, kalau mental kalian seperti itu, ya, begitu selamanya, selamanya jadi penjilat," kata suami. 

Muka adikku tampak merah. "Kok abang gitu, bilang kami penjilat?" katanya. 

"Ini untuk apa gorengan?" 

"Ya, untuk abang,"

"Tumben bawa gorengan?"

"Karena... "

"Karena kalian mau minta uang, inilah yang namanya menjilat, semoga kalian bisa sadar," kata suami. 

Mereka akhirnya pulang, jelas terlihat kekecewaan di wajah mereka. Aku merasa tak enak juga melihat saudaraku itu. Bang Parlin bisa sangat dermawan, akan tetapi bisa juga sangat perhitungan. 

"Padahal mereka lumayan, dua-duanya kerja, tapi mental penjilat," kata Bang Parlin setelah kedua saudaraku pergi. 

Ada juga rasa sakit hatiku, ketika Bang Parlin memperlakukan saudaraku seperti itu, akan tetapi benar juga, mungkin dengan begini mereka bisa sadar. 

Tiba bulannya aku melahirkan, suami benar-benar jadi suami siaga. Perlengkapan ke rumah sakit disediakan di mobil. Subuh itu kami jalan-jalan di seputaran komplek, karena kata dokter jalan di pagi hari bisa memudahkan persalinan. 

"Dek, Abang deg-degan mau ke rumah sakit ini," kata suami. 

"Lo, yang mau lahiran itu aku, Bang, kok Abang yang deg-degan. 

"Abang belum pernah ke rumah sakit,".

"Mana mungkin?"

"Iya, betul, Dek, seumur hidup belum pernah ke rumah sakit,"

"Wah, emang Abang gak pernah sakit atau antar saudara sakit?"

"Belum, Dek, ada tiga hal yang kuhindari berurusan dengannya,"

"Apa saja,"

"Rumah sakit, kantor polisi dan rumah dukun,"

"Hahaha," aku tertawa ngakak, ternyata suamiku ini memang benar-benar unik. 

Tiba-tiba perutku rasanya sakit, entah karena terlalu ngakak yang tertawa itu aku tak tahu. Kurasa ini, sudah waktunya. 

"Bang, sudah saatnya, Bang," kataku seraya memegang perut. 

Suami gerak cepat, dia justru berlari meninggalkanku, beberapa detik kemudian kembali lagi, lalu berteriak memanggil beca yang kebetulan lewat. 

"Kita kan punya mobil, Bang," kataku setelah naik ke becak. 

"Duh, Abang lupa, bentar kuambil," kata suami seraya menyuruh becak berhenti, baru turun berlari, lalu kembali lagi. Aku tersenyum melihat suami yang tampak panik. 

"Udah, kita naik becak saja," katanya. Padahal bisa saja dia suruh becak memutar pulang. 

"Ketika sampai di rumah sakit, langsung ke ruangan bersalin,"

Baru kali ini kulihat suami sepanik ini. Suami ngotot tak mau keluar dari ruangan ketika perawat menyuruh menunggu di luar.

#Bersambung ke-25 ...

                                                            

Selasa, 21 Juni 2022

100 Nilaimu 100 Akhlaqmu

 100 Nilaimu 100 Akhlaqmu

Byanca Almira, siswi 8H yang aku ajar di tahun 2021-2022, gadis yang rajin mengerjakan tugas dan nurut dengan semua hal yang ada di sekolah. Aktif dalam menjawab pertanyaan guru, bahkan mengacungkan tangan saat ada pertanyaan dan dimintai pendapat. Saking senangnya mendapat nilai PAT IPA 100 dia mengajakkku berfoto. Semoga hal baik yang aku ajarkan menjadi inspirasi buat muridku seperti aku selalu terinspirasi dengan kebaikan guru-guruku. Semoga terinspirasi juga dengan IPA yang aku ajarkan dengan memberikan makna dalam materi sehingga membuat muridku makin taqwa "Belajar IPA makin Taqwa"  

Saking bahagianya hasil penelitiannya yang mempunyai tema membuat pupuk organik dari air cucian beras dan air bekas rebusan bayam. Gadis pendiam yang memahami materi presentasi dengan baik, hanya sedikit lagi gaya yang heboh diikkiit aja akan membuatmu terlihat percaya diri. Penelitianmu bersama Nikesha bagus lengkap, ada kandungan air cucian beras dan rebusan bayam yang relevan dengan kebutuhan nutrisi untuk tanaman. perbaikan sedikit pada variabel perlakuan yang harusnya salahsatu saja yang di ubah. Pembahasan dilengkapi dengan grafik makin keren dan ilmiah. 

Seusia SMP sudah meneliti dan menulis, itu adalah suatu kehebatan. Aku mulai menulis saja saat kuliah semester 1 bersama temanku Annisa Rahmawati yang kini enjoy dengan lingkungan hidup. Saat itu aku merasa hanya mengekor Annisa, namun aku berusaha memahami materi penelitian hingga menadapat juara I se UNIBRAW Malang. Dan berlanjut saat aku menjadi guru, menang Juara I Lomba Karya Ilmiah Guru yang diselenggarakan oleh LIPI Jakarta tahun 2014...Alhamdulillah semua dari Alloh. Kemenangan memang membuatku ketagihan, hingga aku ikut ajang berikutnya Indonesia Toray Sciens Foundation yang diadakan oleh perusahaan Jepang Toray, Alhamdulillah dapat hadiah 25 juta bisa untuk mendaparkan porsi haji.  Semoga Byanca makin mencintai penelitian dan menemukan pashionnya di bidang penelitian. Pasti ortumu bahagia punya gadis kayak kamu mbk...sukses dan baik selalu ya mbk...lop u much








 

Rabu, 15 Juni 2022

Tanda Amalan Ramadhan Diterima

                                                        Kembar ujian Diniyah, Juni 2022
 [Tanda Amalan Ramadhan Diterima]


Bulan Ramadhan yang penuh berkah, kaum muslimin berlomba-lomba melakukan berbagai macam amal kebaikan. Berpuasa sebulan penuh, membaca Al-Quran, shalat malam dan berinfak lebih di bulan Ramadhan dengan berharap amalan tersebut diterima oleh Allah dan balasan pahala yang sangat besar. Perlu diketahui bahwa seorang muslim tidak boleh terlalu percaya diri dan yakin bahwa amal ibadahnya pasti diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Ada satu amalan yang bisa dilakukan pasca Ramadhan yakni:

"Membiasakan puasa setelah puasa Ramadhan merupakan tanda diterimanya amal puasa di Bulan Ramadhan. Sesungguhnya jika Allah menerima suatu amal hamba, maka Allah beri ia Taufik untuk melakukan amal shaleh setelahnya."

(Ibnu Rajab Al Hambali)

Suami'ku Jadoel Part 21

 Suami'ku Jadoel

Part 21 (senang dicemburui istri)


Perjalanan dari Rokan Hilir menuju Jambi lama juga, akan tetapi lebih santai karena jalan yang cukup bagus.

Tujuan kami adalah kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Di sinilah Bang Nyatan berkebun sawit & beternak sapi.

Setelah lima belas jam perjalanan darat, kami akhirnya sampai juga.

Perkebunan Bang Nyatan mirip punya Bang Parlin, kebun sawit & ternak sapi.

Bang Nyatan sudah punya anak tiga, istrinya orang dari kampung juga yang dibawanya ke Jambi.

Disini kami benar² dijamu bak raja & ratu.

Kambing Bang Nyatan disembelih, kami makan kambing guling di bawah pokok sawit.


Tak disangka kalian mau juga datang kemari ? kata Bang Nyatan.


Ini yang punya ide, Bang, kataku seraya menunjuk Bang Parlin.


Iya, dia memang selalu jadi panutan, aku yang abangnya merasa seperti adik, pada dia aku banyak belajar tentang kehidupan, kata Bang Nyatan.


Kami hanya dua hari di tempat itu, kembali melakukan perjalanan darat pulang ke tanah kelahiran suami.

Rina & Dame justru terus ikut, padahal rencananya mereka hanya mengantar kami sampai Jambi.

Dari Jambi ke kampung halaman suami memakan waktu sampai satu hari satu malam, karena banyak istirahat.


Kebetulan Bapak, ayahnya Bang Parlin ada di rumah, beliau tak di kebun seperti biasa.

Desa yang terletak jauh dari jalan lintas Sumatra.

Disini juga banyak ternak sapi & kerbau.

Sehat, Pak ? kataku seraya salim pada Ayah mertua.

Kalau disini jangan panggil Bapak, Maen, ditertawai orang nanti, panggil saja, Amang Boru ! kata Ayah mertua.

Oh, iya, Pak, eh, Amang Boru, jawabku.

Dua hari di kampung, kami lanjutkan perjalanan lagi menuju kebun Bang Parlin, Ayah mertua juga ikut serta.

Sampai disana lanjut panen sawit, kembali ke Medan bawa hasil panen, sedangkan Dame kembali ke Rokan Hilir.

Di desa kami juga sempat berkunjung ke tempat kakakku, mereka benar² jadi petani.

Sapi mereka ada tiga puluh ekor, untuk biaya sehari-hari Abang iparku bekerja sebagai penjaga kebun sawit.

Terima kasih, Parlin, sungguh kami merasa tenang di sini, kata Abang ipar.

Akan tetapi kakakku tampak tak suka, dia lebih banyak diam.

Entah apa hebatnya sapi ini, Nia ?! Tiap hari kotoran sapi lah yang kuurus, kata kakakku ketika aku menemaninya membersihkan kandang sapi.

Udah besar nanti baru terlihat hasilnya, Kak, jawabku.

Entahlah, Nia ?! Lihat wajahku jadi terbakar matahari seperti ini, lihat tanganku jadi kasar !

Dulu kuejek si Parlin cabut rumput, akhirnya itu pekerjaanku, kata kakakku.

Bersukurlah, Kak. Bersyukur apanya ?! Gara-gara si Parlin kami jadi begini, lihat ini, aku muak, kata kakakku.

Setidaknya kakak gak punya hutang lagi, kataku menghibur kakak kandungku tsb.

Iya juga sih, tapi ginilah ha ! kata kakaku seraya menunjukkan tangannya yang kotor.

Ketika aku hendak mengambil fotonya, kakak melarang keras.

Jangan, Nia, aku malu ! kata kakakku.

Lebih malu lagi berfoto hasil hutang, Kak, tiba² Bang Parlin sudah datang.

Iyalah, kau mudah saja bilang begitu, karena kau kaya, kata kakakku. 

Aku dulu seperti ini juga, Kak, bahkan jauh lebih parah, pernah setahun aku tak melihat jalan besar, berkutat dengan sapi terus, tapi alhamdulillah bila sabar ada hasilnya. kata Bang Parlin.

Bagi dulu kami hasil panennya sedikit ! kata kakakku lagi. 

Bang Parlin mengeluarkan dompetnya, memberi uang merah sepuluh lembar. Agkh Mudah kali rasa Bang Parlin memberikan uang tsb. Kami sampai di Medan setelah berkeliling tiga pulau besar, pulangnya bawa duit hasil panen. Sebelum ke Medan kami singgah di pesantren Mustafawiah Purba Baru. Pondok kecil tempat tinggal santri laki² jadi ciri khasnya.

Mau ngapain kita ke sini, Bang ? tanyaku.

Nostalgia, Dek, sekalian mau lihat anakku, kata Bang Parlin.

Anak ?!

Iya, Abang punya anak angkat di sini, semenjak kita kawin, belum pernah bertemu, kata Bang Parlin.

Aku semakin takjub dengan suamiku ini. Ternyata di pesantren ini, ada tujuh anak yang dia biayai sekolahnya. Ayah mertua rutin mengirim belanja ketujuh orang tsb. Begitu kami bertemu anak² remaja tsb, mereka langsung salim penuh hormat pada suami.

Abang dulu putus sekolah karena ketiadaan biaya, Abang tak ingin itu terjadi pada anak² ini, kata Bang Parlin. 

Yang ini dulu kudapat karena mencuri sawit di kebun kita, ternyata dia mencuri karena butuh biaya mondok, ya, sekalian Abang biayai sekolahnya. kata Bang Parlin seraya menunjuk anak yang paling besar.

Yaa Allah mencuri demi biaya menuntut ilmu agama ?

Kurasa kita akan punya anak, Bang ? kataku ketika kami dalam perjalanan menuju Medan.

Bang Parlin menatapku (saat itu kami di dalam bus ALS)

Maksudnya ?!

Aku terlambat, Bang,

Alhamdulillah, akhirnya aku akan jadi Ayah juga, kata Bang Parlin seraya mengecup keningku.

Tapi belum periksa, Bang, belum pasti, Kataku lagi.

Iya, Dek, Adek hamil, aku akan jadi ayah pantas saja aku bermimpil semalam.

Mimpi apa, Bang ?

Abang mimpi gendong anak, ternyata istriku hamil.

Hey, semua penumpang bus ini, aku traktir makan semuanya nanti di rumah makan, kata Bang Parlin.

Aku memang bulan lalu tak datang bulan, aku tak katakan pada suami karena belum pasti, akan tetapi bulan ini tak jua tamu bulanan datang, aku sudah yakin sekali hamil. Suami tak main², dia traktir satu bus tsb makan ketika bus singgah di rumah makan. Begitu kami sampai di Medan, aku langsung dibawa suami periksa ke dokter kandungan, takut kenapa² karena melakukan perjalanan jauh ketika hamil. Entah kebetulan atau apa, nama dokter yang memeriksaku sama dengan suami, hanya beda marga saja. Kata suami, dokter tsb teman sekampungnya.

Boleh aku panggil Bang Parlin ? tanyaku pada dokter tsb, aku merasa risih dengan dokter laki².

Oh, gak usah, Bu, panggil dokter saja ! kata dokter tsb.

Oalaaah dia salah paham. Padahal maksudku bertanya bolehkah kupanggil suami ke ruangan tsb.

Karena dari tadi suami berada di luar. Kubiarkan saja kesalah pahamam tsb, akan tetapi dokter tsb sadar dengan kesalahpahaman tsb.

Hahaha, saya baru ingat nama suami Ibu juga si Parlindungan, silakan panggil, Bu, boleh !

Ketika Bang Parlin kupanggil mereka justru bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Entah kenapa dengan orang Batak ini, kalau bertemu selalu memakai bahasa mereka padahal ada orang yang ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

Aku akan jadi Ayah, kata Bang Parlin ketika kami sudah di rumah.

Iya, Bang, kata dokter sudah tiga bulan,

Adek ini gak bilang², untung juga Parlin junior kuat, dibawa keliling Indonesia dia tetap bertahan,

Kita kasih siapa namanya nanti, Bang ?! kataku seraya mengelus perut yang masih rata.

Kalau laki-laki kita kasih nama Pardomuan Siregar ! jawab suami. 

Itu kan nama Bapak, Bang ?

Iya, Dek, orang batak itu ambil nama anak pertama dari kakeknya.

Ah, gak setuju, Bang, cukup Abang yang jadul, anak kita gak usah ! jawabku sewot.

Kalau perempuan kita kasih nama Rani Ramilah, disingkat Rara !

Gak sudi, gak mau ! tiba² aku kesal sekali, menghentakkan kaki, masuk kamar, kebanting pintu kamar & menguncinya. Aku benar² cemburu, dia mau kasih nama anaknya dengan nama mantan.

Dek, buka pintu lah, Dek ! kata suami seraya mengetuk pintu kamar.

Gak mau ! jawabku.

Dek, bukalah, Abang minta maaf, Dek,kata suami lagi.

Tak kujawab lagi, aku benar² kesal, bisa²nya dia masih terus ingat Rara.

Begini, Dek, kata orang bila kita ingin melupakan seseorang itu, harus dicari gantinya !

Mana tau nanti anak kita bernama Rara Abang bisa lupa sampe si Rara ? kata suami lagi.

Kuintip dari lubang kunci dia masih berdiri di pintu kamar. Akan tetapi aku tetap diam. Hening suasana Suami tak lagi memanggil, coba kuintip apa yang dia lakukan di luar, akan tetapi dia tak terlihat.

Mana suamiku ?

Lalu kudengar getaran HP, aku baru inget HP-ku terletak di atas TV.

Dek, HP-mu bunyi, ada telepon dari Rara, abang terima ya !? kata suami.

Seketika aku buka pintu berlari seraya berteriak, Jangan, Bang !

Kuraih HP itu dari tangannya, aku tak ingin dia bicara dengan Rara.

Segera kugeser layar HP, dan .. Kak Rara, tolong, Kak, bukan maksud mau putuskan silaturahmi, tapi tolong jangan hubungi kami ! kataku setelah telepon ketempelkan di telinga.

Aku bukan Kak Rara, aku Rina, gimana sih ?!

Spontan kulihat layar HP, ternyata nama Rina yang ada.

Yaa Tuhan malunya.

Kulihat suami, dia tertawa cekikikan.

Cemburu bisa membutakan mata, Rina pun jadi Rara, kata suami seraya tertawa.


                                                            Di Utama Raya Probolinggo


Minggu, 12 Juni 2022

Mimpi


 QS 12 : 44

MIMPI


Setiap orang pasti pernah mengalami mimpi di saat tidur. Dari setiap mimpi, banyak orang yang percaya bahwa mimpi yang dialaminya memiliki arti dan berkaitan dengan kehidupan nyata. Ada juga yang menganggap mimpi hanyalah sebagai bunga tidur, karena tidak bisa mentakwil mimpi sebagaimana di QS 12 : 44 saat raja bermimpi tidak seorangpun mampu mentakwil mimpinya, maka mereka berkata bahwa itu mimpi yang kosong.

Mimpi terkadang langsung hilang saat bangun tidur, ada yang jelas terasa alur ceritanya sehingga dalam waktu lama masih teringat. Mimpi yang jelas alurnya itulah dan kadang membuatku penasaran artinya, maksudanya. Mimpi yang ingat terus,  alurnya jelas itu terkadang membuat penasaran artinya. Maka wajar sekali kalau di google banyak menemukan judul berbagai takwil mimpi. Takwil mimpi di google terdapat berbagai versi ada yang mengartikan positif dan ada yang mengartikan negatif pada kata kunci yang kita berikan. 

Membaca berbagai versi takwil mimpi itu maka, mimpi itu bagiku adalah suatu yang harus disikapi. Misalnya saat mimpi itu berarti negatif maka harus waspada dan berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku dalam keseharian. Tidak terlalu takut dengan arti yang ada namun banyak berdoa dan yakin bahwa Alloh saja yang berkuasa sehingga tidak takut terhadap kejadian yang akan datang. Yakin hanya Alloh yang melindungi dan tidak ada kekuatan apapun yang bisa menghancurkan hamba jika Alloh melindung. Bila mimpi itu berarti positif maka banyak bersyukur dan itu merupakan energi positif yang akan menarik hal baik dalam kehidupan kita. 

Dalam al Qur'an bisa saja memiliki arti sebagaimana nabi Yusuf di QS 12 : 4 risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bintang dan bulan semuanya bersujud kepada Nabi Yusuf. Dan di ayat QS 37 : 102 Nabi Ibrahim yang diberi perintah oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail melalui mimpi.

Pada zaman kenabian kebanyakan mimpi memiliki arti yang berupa perintah, wahyu atau petunjuk yang diberikan oleh Allah SWT kepada beberapa nabi di dalam tidurnya.

Dari Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad SAW berkata :

"Mimpi itu ada tiga macam : bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah." (HR. Bukhari)

Tiga macam mimpi itu adalah : 

1. Kabar gembira dari Allah SWT. (Zaman kenabian) 

Dari Abi Sa’id, Rasulullah bersabda:

"Mimpi yang baik adalah bagian dari 46 bagian kenabian." (HR. Bukhari)

2. Bisikan hati. Maksudnya, mimpi yang timbul akibat angan-angan sendiri atau memikirkan seseorang terlalu lama. Mimpi ini bisa terjadi yang disebabkan oleh dua hal tersebut. Ini pula yang banyak diyakini orang sebagai bunga tidur semata. Entah mimpiku golongan yang mana, yang kurasakan saat mimpi itu nyata terbayang, menjadi sering terjadi. Misalnya saat bermimpi tentang tetanggaku yang menitipkan 2 kunci rumah karena beliau hendak umroh. Aku mengantar beliau dengan rasa terharu, kucium tangannya walau bukan muhrim aku sadar dalam mimpi itu

3. Mimpi yang berasal dari setan

Ini merupakan mimpi buruk. Sudah tugasnya sebagai setan untuk menggoda manusia. Bahkan di dalam tidur pun, setan masih bisa menggoda manusia sehingga sering terjadi mimpi buruk.

Namun, mimpi buruk tak perlu diceritakan apalagi ditakwilkan. Rasulullah SAW pun bersabda, "Apabila setan mempermainkan salah seorang dari kalian di dalam tidurnya, maka janganlah dia menceritakannya kepada orang lain." (HR Muslim)

Kesimpulannya mimpi boleh diceritakan hanya yang baik sesuai hadist : "Siapa yang beriman  kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau diam. (HR. Bukhari dan Muslim)

Tapi tidak boleh diyakini karena tidak bermakna kecuali yang terjadi pada zaman kenabian.

Selasa, 07 Juni 2022

Ndeso

 Kami Ndeso


Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)

Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu semampunya tetapi berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan hidangan yang terbaik, merupakan usaha kita menjadi manusia yang baik dan bermanfaat.

Dalam QS 11 : 69 Allah mengisahkan Abu Dhifan (bapak para tamu) yaitu nabi Ibrahim as. Ayat ini menganjurkan memberi salam ketika berkunjung dan wajib menjawabnya serta menjamu tamu. Perilaku nabi Ibrahim dalam menghormati tamu dikisahkan di QS 15 : 51 - 55 dan QS 51 : 24 - 28, merupakan teladan terbaik untuk kita contoh dalam memuliakan tamu. Dan di QS 4 : 86 mengajurkan membalas penghormatan yang lebih baik atau minimal sepadan❤️

Namun hendaknya dalam menjamu tamu diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.

Diantara adab menghormati dan menjamu tamu yaitu,

- Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.

- Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari) 

Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

- Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.

- Mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan. 

- Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya. 

- Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.

- Menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.

- Mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

Subhannallah Islam merupakan agama yang mulia setiap ajarannya bukan hanya mengajarkan beribadah melainkan juga bagaimana kita menjalani hidup bersosialisasi.

Pernah main ke rumahmu, yang suasananya sama dengan rumahku.....Ndeso.....akrab dengan ayam, sapi dan kambing. Sebagaimana aku yang ndeso, sangat wellcome kalau ada tamu....tiada kata menolak walau dengan kondisi seadanya. Semua anggota keluarga menyambut dengan senyum ceria. Itu juga yang diajarkan orang tuaku, rumah tak semegah ghara famili, namun hati seluas samodra.  Tidak ada rasa malu dan gengsi untuk menunjukkan diri yang sebenarnya. Memberikan suguhan yang maksimal yang mampu untuk memuliakan tamu dan memberikan oleh-oleh apa yang ada di rumah.  

Setiap kali silaturohim di rumah orang diusahakan membawa buah tangan dan orang yang kudatangi juga memberiku buah tangan. Demikian juga dengan mu, mungkin karena sesama Ndeso jadi punya pikiran yang sama. 

Pertama berpatner dengan mu, mungkin kau merasa  masih unyu-unyu dan sebaliknya aku. Mungkin kau belum terlalu kenal pribadiku yang berhati selembut kapas dan serapuh gelas kristal. Kau bilang "Ngene ae ra iso?". Wah rasanya seperti terpampar wajahku. Sedih, merasa begitu bodohnya aku di hadapannya. Namun sedihku hanya beberapa saat setelah aku curhat dan temanku bilang " Ra sah dipikir nemen-nemen asal bukan bojomu yang bilang seperti itu".  

Hal itu tidak berlangsung lama, karena aku tidak tahan kalau memendam rasa. Aku datangi dan aku terus terang. Langsung dia menjelaskan dan mengevaluasi diri karena selama ini dia menerapkan patokan dirinya ke orang lain. Setelah hal itu clear maka kami sudah salih bantu dan saling menghargai. Ternyata aku juga bukan orang yang amat jadul sehingga sulit diajari. Diingatkan sedikit saja juga langsung bisa mengikuti langkah kerja untuk berlari. Aku juga tidak segan untuk bertanya dan selalu mengikuti irama yang ada.


Minggu, 05 Juni 2022

Suamiku Jadul ......Part 18 (Nggak Bucin)

 Suamiku Jadul

Karya; Bintang Kejora

Part 18 (Nggak Bucin)

"Hubungi dulu Bang Parta, Dek?"  perintah suami. 

Bang Parta adalah panggilan Bang Partaonan, yang tinggal di Kalimantan, juragan sawit juga. Segera kuambil HP jadul Bang Parlin, memeriksa nomor serta mengetik nomor tersebut di HP-ku. 

"Assalamu'alaikum, Bang, ini Nia, istrinya Bang Parlin," salam dan sapaku ketika hubungan tersambung. 

"Waalaikumsalam, apa kabar?"

"Baik saja, Bang, kami mau datang ke sana kalau boleh,"

"Kalian mau datang ke Kalimantan?" 

"Iya, Bang, ada nomor WA, Bang," 

"Ada, kakakmu ada WA-nya, mau naik apa kalian biar kami pesan tiket,"

"Naik pesawatlah, Bang, kami di Bandung,"

"Apa?  Di Bandung, memang yang jajok lah si Parlin ini."

"Bukan jajok, Bang, mau keliling Indonesia katanya, sekalian silaturahmi," 

"Ya, iya, jajok lah itu, mana dia?" 

"Ini, Bang," kataku seraya menyerahkan HP ke Bang Parlin. 

"Pakai bahasa Indonesia, Adek mau denger," bisikku pada Bang Parlin. 

Akan tetapi mereka tetap pakai bahasa Batak juga, sebel!  Akhirnya aku hanya menonton, dan menunggu bagaimana putusannya. 

Setelah sekitar lima belas menit bicara baru HP kembali padaku lagi. 

"Nia, pesan tiket dari Bandung ke Pontianak, baru kabari kami sehari sebelum berangkat, biar dijemput kalian." kata Bang Partaonan. 

"Kenapa harus sehari sebelum berangkat, Bang? 

"Dari Pontianak ke tempat kita masih jauh,"

Ya, Tuhan ini akan jadi perjalanan yang panjang. 

Segera kucek HP, menelusuri tentang tiket Bandung ke Pontianak, dapat tapi berangkatnya masih hari sabtu. Segera kupesan lewat online. 

"Harga tiketnya hampir dua juta, Bang," laporkan pada suami. 

"Ya, udah, itu hanya seribu kilo sawit," 

"Tapi Bang Parta mau bayar," 

"Gak usah, Dek, kita saja yang bayar,"

Ada waktu sehari lagi di Bandung, mau jalan-jalan juga, akan tetapi kami tak tahu tentang Bandung sama sekali. Sementara perut sudah lapar, urusan makanan Bang Parlin sangat ribet, dia hanya mau masakan Tapanuli Selatan, mau di mana dicari di Bandung ini. 

Ketika aku buka HP hendak bertanya sama Google ternyata pesan WA masuk. Ketika kubuka ternyata dari Rara, pesan beruntun yang sangat banyak. 

(Di mana kalian) 

(Kok pergi gak bilang-bilang sih) 

(Ditinggal sebentar sudah pergi) 

(Udah masak ini, pulanglah) 

(Di mana kalian, biar dijemput suamiku) 

Begitu pesan dari Rara, kutunjukkan pada Bang Parlin, Bang Parlin justru bilang "acuhkan saja" Ternyata bisa juga ngambek ini suami.

(Kalian bagaimana, Sih, pesan dibaca tapi gak dibalas, maksud kalian apa?) pesan WA dari Rara lagi. Ah, ini harus dijelaskan, berarti suaminya belum cerita. Dari pada dia berprasangka buruk pada kami. 

(Kak Rara, kami pergi karena dimarahi suaminya, Bang Parlin sakit hati, tolong biarkan saja, baru kali ini kulihat Bang Parlin sakit hati begitu) balasku akhirnya. 

(Suamiku bilang apa) 

(Udah, gak usah dibahas lagi, yang jelas suami kakak tidak suka kami datang,) 

(Baik, Nia, maaf, ya, suamiku memang begitu, karena itu juga kami tak pernah pulang ke kampung) 

Tak kubalas lagi, kulanjutkan tujuanku cari makanan enak di Bandung. Belum sempat aku cari, suami sudah berkata. 

"Dek, kudengar di sini ada gedung sate, kita ke sana yuk, pasti banyak jual sate," kata suami. 

"Siap, Bos!" jawabku seraya memesan taksi online menuju gedung sate. Kami pun berangkat. Akan tetapi aku dan Bang Parlin bengong ketika sampai, ternyata gedung sate itu bukan jual sate, tapi gedung yang cukup besar. 

"Mana satenya?" kata Bang Parlin. 

"Mana kutahu, yang ajak kemari Abang, kok,"

"Ah, gak beres ini orang Bandung, katanya gedung sate, dikira banyak jual sate,"

Aku lalu bertanya ke orang yang lewat, di mana kira-kira jual sate. 

"Numpang tanya, Bu, jual sate di mana, ya?" tanyaku kemudian. 

"Oh, di sana, Teh, di belakang," jawab wanita itu seraya menunjuk ke, arah belakang gedung. 

"Kami cari sate, bukan cari teh?" suami yang menjawab. 

Orang tersebut tampak bingung, kulihat Bang Parlin juga terlihat bingung. 

"Orang Bandung aneh, ditanya sate, yang ditunjuk teh," kata Bang Parlin lagi. Aku sampai memegang perut menahan tawa.

Kami akhirnya makan sate juga, terjadi lagi salah paham yang cukup lucu, aku juga ikut salah paham. 

"Ini cengeknya," kata pelayan warung sate itu seraya menunjukkan cabe hijau. 

"Mana jengeknya, aku suka jengek," kata Bang Parlin. 

"Ini," jawab pelayan tersebut sembari menunjuk cabe. 

"Ah, macammana sih, Dek, masa cabe dibilang jengek,"

"Entahlah, Bang," kataku ikut bingung, karena setahu aku jengek itu kerupuk, enak kalau teman makan sate. 

"Ini sate apa, Dek?" tanya suami pada pelayan. 

"Sate Jando, Pak," 

"Astagfirullah, sate jando? Yang masak janda gitu?" 

"Bukan, Pak, itu payudara sapi,"

"Astagfirullah!" kembali Bang Parlin istighfar. 

Kami kembali ke hotel, tak puas rasanya yang makan sate tersebut. Suami malah tak menghabiskan satenya, karena pelayannya bilang sate payudara sapi. Entah karena dia peternak sapi atau apa aku tidak tahu. 

"Abang mau keliling Indonesia, tapi selera Abang tak Indonesia," kataku pada suami. 

"Iya, Dek, susah kali lidah kampung ini," kata suami.

"Kita pesan gofood saja, Bang," 

"Makanan apa pula goput ini, gak ah, namanya saja sudah aneh," jawab suami. 

Akhirnya kutunjukkan HP pada suami, dasar memang suami jadul. Kubiarkan suami memilih-milih, akhirnya ketemu juga, biarpun di Bandung ternyata ada juga rumah makan khas Mandailing di tanah Pasundan ini. 

Ketika kami makan Rara menelepon, kuberikan pada Bang Parlin, akan tetapi Bang Parlin tak mau terima. Tak kusangka orang seperti Bang Parlin bisa merajuk juga. 

(Tolong angkat) pesan dari Rara. 

Lagi-lagi kutunjukkan sama Bang Parlin, "ya, udah, angkat," jawab Bang Parlin. 

Panggilan Video call itu akhirnya kuangkat juga, ternyata ada Bapak, ayahnya Rara. Ada juga Lindung anaknya Rara. 

"Bang Pain, maaf ya, Bang Pain," kata Rara. 

"Iya, Rara, Abang juga minta maaf," 

"Tetap semangat, Parlin, kau anak kebanggaanku, aku selalu memantau perkembanganmu," kata Bapak Rara. 

"Iya, Pak, saya sedih, Pak, belasan tahun kutunggu bertemu Bapak, jadi begini," kata Bang Parlin, ada butir bening di sudut matanya. 

"Apapun ceritanya, kau tetap kebanggaan Bapak, anggap Rara sebagai adikmu sendiri," kata Bapak itu lagi. 

"Iya, Pak, dari dulu kuanggap begitu," kata Bang Parlin, aku tahu dia bohong, dia justru lama menikah karena menunggu Rara. 

"Ini suamiku, Bang, dia mau ngomong," kata Rara. 

Lalu terlihat di layar pria berperawakan tinggi besar tersebut. 

"Maaf, ya, jujur aku cemburu padamu, Bapak dan Rara selalu menceritakan tentang kau, bertanya ke kampung hanya ingin tahu berita tentang kau, jadi aku sampai hapal kau punya ternak banyak, bantu saudaramu semua, berangkatkan ayahmu ke Mekkah, menikah dengan orang kota, aku tahu semua, aku cemburu, akan tetapi aku baru tahu ternyata kau anggap Rara sebagai adikmu, bodoh sekali aku cemburu pada kakak istriku," kata lelaki kekar tersebut. 

Duh, mulai lagi, Bang Parlin menangis, aku tak suka ini, aku tak suka melihat Bang Parlin sedih. 

Keesokan harinya kami akhirnya berangkat, Rara mengantar kami ke bandara Husein Sastra Negara, tujuan kami adalah bandara Supadio Pontianak.

Ketika kami sampai di bandara Supadio, Bang Parta dan istrinya sudah menunggu di situ, kami lalu naik mobil menuju kebun sawit Bang Parta. 

"Berapa lama perjalanan ini, Bang?" tanyaku pada Bang Parta. 

"Kita ke Ketapang, sekitar tiga belas jam naik mobil." jawab Bang Parta. 

Ya, Allah, perutku akan diguncang lagi.




Suamiku Jadul Part 19 (bangga dikiitt...manusiawilah)

 Suamiku Jadul

Karya; Bintang Kejora

Part 19 (bangga dikiitt...manusiawilah)

Perjalanan yang benar-benar melelahkan sekaligus mengasikkan. Pemandangan indah melewati hutan dan perkebunan sawit. Selama tiga belas jam perjalanan Bang Parlin dan

Bang Parta terus berbincang-bincang.  Pembicaraan mereka membosankan, kubilang membosankan karena aku tak mengerti sama sekali yang mereka ceritakan. Bahasa yang mereka pakai adalah bahasa Batak Angkola/Mandailing.

“Hargai kami napa? Pakai bahasa persatuan,” celutuk istri Bang Parta.

“Iya, setuju, jangan pakai bahasa planet,” sambungku. “Udahlah, kalian kaum hawa jadi pendengar saja sekali ini, sekali setahun belum tentu aku bisa berbahasa kami,”kata Bang Parta.

Aku akhirnya tertidur, kemudian terbangun karena guncangan yang cukup keras, kulihat keluar jalan yang sangat jelek, ternyata perjalanan ke sini lebih sulit dari pada perjalanan ke kebun Bang Parlin. Kulihat istri Bang Parta sudah tertidur lelap. Kutatap ke depan dan ke belakang tak ada kenderaan lain. Kiri kanan perkebunan kelapa sawit. Tiba-tiba aku merasakan mobil berhenti mendadak.

“Ada ular!” kata Bang Parta sebelum sempat aku bertanya. Aku melihat ke depan, ya, Tuhan, ular besar ada di jalan, ular tersebut seperti menghalangi jalan. Badan ular tersebut seperti bengkak di bagian tengah.

“Dia baru makan, makanya sulit bergerak,” kata Banget Parta lagi. Sementara itu istri Bang Parta seperti tak terganggu, dia terus tidur di sampingku.

Bang Parlin dan Bang Parta turun dari mobil, mereka justru menangkap ular besar tersebut, Bang Parta seperti sudah ahli sekali, tanpa kendala berarti dia menyeret ular tersebut dan minta karung padaku.

“Ambil dulu karung di bagasi,” perintahnya. Sementara dia dan Bang Parlindungan memegangi ular tersebut.

Aku segera turun dan buka bagasi, mengambil karung dan melempar ke arah mereka. Ternyata mereka mau bawa ular tersebut, tak lupa kuabadikan dengan kamera HP.

“Untuk apa dibawa?” tanyaku.

“Untuk dikasih ke karyawan, mereka akan senang ini,” kata Bang Parta.

“Tidak, gak mau aku semobil dengan ular,” teriakku kemudian.

“Gak apa-apa itu,”

“Pokoknya tidak,” kataku lagi.

Akhirnya Bang Parlindungan melepaskan ular tersebut. Dia berbicara dengan Bang Parta seraya tertawa. Ah, sebel juga ini orang jadul, mereka justru menertawakan aku.

Kami sampai juga akhirnya, akan tetapi bukan kebun, tapi desa atau tepatnya seperti kota kecil. Kami turun dari mobil, langsung disambut seorang bocah anak Bang Parta.

“Mana kebunnya?” tanyaku.

“Kita gak tinggal di kebun, hanya penjaga kebun yang tinggal di sana,” jawab istri Bang Parta.

Ternyata kebun Bang Parta sangat luas, jauh lebih luas dari punya Bang Parlin. Sudah jadi semacam perusahaan perkebunan, bukan lagi kebun rakyat. Kota kecil itu hampir semuanya adalah karyawan perkebunan. Luar biasa.

Aku foto-foto di daerah itu, berfoto bersama Bang Parlin, bersama orang utan, lalu kuunggah di Facebook. Baru saja dua menit, si Rapi langsung komentar.

(Kasihan kau Niyet, orang liburan ke Singapura, Bali, kau. Malah ke hutan)

Langsung disambut, Romli—mantanku yang pernah mau permalukan Bang Parlin di Pesta.

(Kasian, kasian, berteman orang utan,)Dia komentar seperti itu karena aku ada memposting foto bersama orang utan, foto ular juga ku-posting. Akhirnya aku di-bully teman satu geng.

(Gak percuma julukanmu Niyet, akhirnya ketemu sodaramu monyet).Komentar seorang teman lagi. Aku jadi panas, akan tetapi komentar tersebut justru kuperlihatkan pada suami, ingin kutahu bagaimana reaksinya. Sudah kuduga, bila aku yang dihina, dia akan marah sekali. “Habis dari sini kita ke Bali,” kata suami. Aku jadisenyummasemmendengar perkataan suamiku ini. Akan tetapi aku berpikir, tujuan kami hanya silaturahmi, bukan mau pamer kemewahan. “Gak usah, Bang, kita ke tempat Dame saja,” kataku kemudian. Bersama istri Bang Parta kami pergi ke pasar, rencananya hari ini kami akan masak besar. Lagi-lagi aku terkejut dengan harga di sini, satu ikat sayur daun singkong harganya enam ribu. Padahal di Medan ini hanya dua ribu, kota lagi. Kupikir karena pelosok harga sayur akan murah. Lebih terkejut lagi harga gas tiga puluh ribu.

“Lagi mahal di sini ya, Kak?” tanyaku pada istri Bang Parta.

“Biasa aja, kok,” jawab wanita tersebut.

Wah, dia bilang biasa, apakah orang di sini lebih banyak gajinya? Atau memang harga lebih mahal di sini?

Aku baru tahu, istri Bang Parta ikut kerja, dia sebagai direktur di CV milik mereka. Perkebunan mereka bukan kaleng-kaleng, karyawannya mencapai ratusan orang. Kalah jauh Bang Parlin yang punya kebun hanya sepuluh hektar, karyawan hanya dua puluh lima orang. Akan tetapi ternyata mereka tak pelihara sapi, alasannya sungai besar sering meluap bisa menenggelamkan sapi. Bang Parta ternyata bos besar di sini. Truknya puluhan, kebun sawitnya ada juga yang belum panen.

“Abangku jago, betul-betul jago, dia hanya tamat SD, tapi karyawannya sarjana,” begitu kata Bang Parlin ketika kami berkunjung ke kantor perkebunan tersebut.

“Bukan aku yang jago, tapi si Parlin ini yang jago, dia yang kasih modal pertama samaku sebelas tahun lalu,” kata Bang Parta balik memuji adiknya.

Wah, luar biasa keluarga ini, dalam sebelas tahun sudah bisa mendirikan CV. O

Sementara di luaran sana banyak orang yang sekolah sampai tujuh belas tahun hanya bisa jadi karyawan.

“Aku hanya petani, dia yang urus CV,” kata Bang Parta seraya menunjuk istrinya.

Tiga hari di Ketapang, saatnya kami pulang, Bang Parta memberikan ongkos pulang untuk kami.

“Ini ambil, Nia, kalau kukasih si Parlin dia akan menolak,” kata Bang Parta. Tentu saja kuterima, siapa juga yang bisa menolak rezeki.

Kami diantar ke bandara, kali ini kami naik pesawat langsung dari Ketapang, bandara Rahadi Usman namanya, dari Ketapang ke Pontianak, baru dari Pontianak ke Padang, dari Padang rencananya kami akan naik mobil ke Rokan Hilir, tempat Dame dan temanku Rina.

Ketika transitif di Pontianak aku buka Facebook, sudah lama tak kubuka Facebook, semenjak di-bully teman satu geng, akue tak bukan lagi.

Aku terkejut banyak notif, dan lebih terkejut lagi ada tiga status terbaru, wah, apakah Facebook-ku dibajak?

Ternyata banyak fotoku diunggah, fotoku yang kusimpan di galeri banyak diunggah entah siapa. Yang membuat aku geli adalah captionnya.

(Biar di hutan, yang penting sultan) begitu caption salah satu status tersebut fotonya diriku lagi naik mobil Pajero milik Bang Parta.

(Biar suami jadul, yang penting duit ngumpul) begitu status lain disertai fotoku lagi memakai seluruh perhiasanku.

Ada lagie status lain yang meng-upload fotoku lagi berdiri di tengah kebun sawit captionnya lagi lagi membuat aku geleng-geleng kepala.

(Biar suami petani sawit, yang penting gak pelit)

Kulirik suami yang duduk di sampingku, dia senyum- senyum. Tak mungkin dia, memang dia ada pinjam HP-ku kemarin, akan tetapi tidak mungkin, buka SMS saja dia gak pandai, lalu siapa?

Kulihat layar HP, lalu kulihat lagi suami, dia justru makin senyum seraya melirik layar HP-ku.

“Buat satu lagi, Dek, tulis gini, biar orang kampung, yang penting bisa pengganti Nunung,” kata suami.

“Apanya Abang ini?” kataku seraya mencubit perutnya.

Dia tertawa ngakak, “Abang gak bisa terima adek dihina,” kata suami di sela tawanya.

Dugaanku Bang Parlin menyuruh istri Bang Parta membuat status itu, karena waktu Bang Parlin pinjam HP-ku, mereka lagi duduk di teras bersama Bang Parta dan istrinya.

                                    


Suamiku Jadul (17)

 Suamiku Jadul

Karya; Bintang Kejora

Part 17 (Sabaar dan dermawan)

Tiba waktunya pesta, segera kuberitahu semua saudaraku, bahwa kami akan pesta besar sekali lagi. Pas kubilang kakak ipar langsung bilang tidak bisa. 

"Kami tidak bisa ikut, jauh kali ke sana," Begitu kata kakak ipar. 

"Kok langsung bilang gak bisa sih, Ma?" Abangku langsung meyela. 

"Ya gak bisa, di jalan saja sudah dua belas jam, memang Papa bisa?"

"Bisa tidak bisa aku yang putuskan, Mama itu melangkahi Papa, ini adikku lo yang mau pesta," kata Abangku. 

Aku terkesima dengan perkataan Abang itu, apakah dia sudah sadar kalau selama ini diatur istri? Apa-apa selalu kakak ipar yang memutuskan. Baru kali ini kulihat abang protes. 

"Aku juga sepertinya tidak bisa," kata adik laki-lakiku yang paling bungsu. 

"Aku juga harus kerja," kata adikku satu lagi,

"Aku ikut, Kak," kata Ria--adik perempuanku. 

"Sayang sekali ya, padahal semua biaya kami yang tanggung, sudah disediakan bus besar untuk ke sana." kata Bang Parlin. 

"Kalau begitu aku ikut," adik laki-lakiku langsung tunjuk tangan. 

"Kami juga," kata Abangku. 

Akhirnya semua setuju ikut pulang ke desa Bang Parlin. 

Bus pariwisata besar sudah disiapkan, keluarga Rina dan keluarga kami cukup satu bus. Bang Parlin rela mengeluarkan satu sapi untuk mencarter bus ini beserta sopir dan kernetnya. Saudaraku ikut semua karena gratis. 

Kabupaten padang lawas utara adalah tempat yang kami tuju, di sinilah suamiku dilahirkan dan dibesarkan. Masih ada rumah mereka di situ. Begitu kami sampai sudah disambut warga desa. Musyawarah pun digelar ternyata aku dan Rina harus ditabalkan marga lebih dahulu sebelum acara digelar. 

Semua saudara Bang Parlin datang, luar biasa banyaknya. Yang membuat aku takjub mereka semua menyumbang untuk acara itu. Kata mereka marpege-pege namanya. Acara yang khusus mengumumkan bahwa akan digelar acara pesta besar. Uang yang terkumpul luar biasa banyak. Bahkan melebihi dari dana yang diperlukan. 

Aku akhirnya berkenalan dengan Pardamean ini, dia bertubuh kecil, tidak seperti abangnya yang tinggi besar. Partaonan yang tinggal di Kalimantan sudah menikah dengan gadis Banjar. Mereka juga datang. Panyahatan yang tinggal di jambi juga sudah menikah. Mereka semua punya satu kesamaan, yaitu Jadul. Entah kenapa tak ada dari mereka yang punya akun Facebook. Akan tetapi semua kaya raya. Keluarga yang luar biasa. 

Ketika kami ditabalkan Marga, namaku jadi berubah. Nia Dahlia Harahap namaku sekarang, Rina juga ditabalkan marga Harahap. Acara penambalan marga itu sangat melelahkan. Hampir semua orang berpidato bergilir. Mereka menyebutnya Markobar, yang membuat ini makin melelahkan adalah karena aku tak mengerti apa yang mereka katakan. 

Para saudaraku dijamu di pesta itu mereka tak diperbolehkan ikut membantu, ternyata dalam adat keluarga dari pihakku disebut Mora, datang hanya makan dan berpidato. Untunglah abangku yang tertua pandai Berpidato, biarpun pakai bahasa Indonesia.

Pesta berlangsung tiga hari tiga malam, makanannya sangat mewah, daging kerbau. Tiga kerbau dipotong. Pesta yang luar biasa. Para saudaraku sampai melongo melihat pesta besar tersebut. 

"Nia, usaha apa sih suamimu sampai uangnya gak pernah habis?" tanya kakak ipar. 

"Yang pasti bukan ngepet, Kak," 

"Bilanglah si Parlin kami ikut kerja kek dia,"

"Kakak aja yang bilang," kataku. 

Setelah pesta besar-besaran selesai saatnya kembali ke kediaman masing-masing. Suami memberikan uang lelah untuk semua saudaraku, masing-masing dapat tiga ratus ribu. Adik laki-lakiku sampai nyeletuk. 

"Baru kali ini pergi ke pesta digaji," katanya. 

"Kita bulan madu lagi yok, Dek, kan baru pesta," kata suami di suatu pagi, saat itu kami berdua sedang menyiram tanaman di halaman rumah. 

"Ish, Abang," 

"Ayok lah, Dek, kita ke Jawa," 

"Ngapain?"

"Ketemu Rara,"

"Astagfirullah, Bang, masih saja Abang ingat si Rara,"

"Coba kau hubungi dulu, Dek, tanya kabar Bapak,"

Segara kuambil HP, langsung ke aplikasi WA dan memanggil Rara. Memanggil, berdering, akhirnya terhubung.

"Rara, ini Bang Pain, mau nanya kabar Bapak,"

"Eeh, Bang Pain, Bapak sehat Alhamdulillah,"

"Kami mau jalan-jalan ke sana, kalian di mananya?" kataku akhirnya. 

"Oh kami di Bandung, datanglah, nanti kukirim alamat lengkap," kata Rara, setelah basa-basi yang cukup lama sambungan telepon pun terputus. 

"Kita ke sana, Ya, Dek, sekalian jalan-jalan ke Bali,"

"Ok, Bang, tapi jangan macam-macam sama Rara, ya,"

"Mana berani Abang, Dek, hanya teman kok,"

"Laki-laki dan perempuan mana mungkin hanya teman, pasti ada rasa," kataku, entah kenapa aku selalu cemburu bila Bang Parlin bicara tentang Rara. 

"Berarti Adek sama si Rapet itu ada rasa lah ya," 

Ah, suami ini selalu bisa membalikkan perkataan. Aku dan Rapi memang berteman unik, kami berteman bahkan selalu saling ejek, tapi jujur tak ada rasa, hanya teman. 

Akhirnya kami berangkat honeymoon juga, Bandung jadi tujuan, kami naik pesawat dari medan ke Jakarta, baru naik mobil travel jakarta ke Bandung. Begitu kami sampai pertemuan Bang Parlin dan Rara sangat menyentuh sekali, tak ada salaman, akan tetapi ada tangisan. Bapak dokter itu juga akhirnya kami jumpai. Ternyata beliau sudah ada ada di kursi roda. Pertemuan itu sangat mengharukan, suami menangis dan bersimpuh di kaki bapak itu. 

"Ini yang namanya Pain, Parlindungan?" tanya seorang lelaki yang kutahu suami Rara. 

"Iya, Bang," kata Bang Parlin seraya mau menyalam. Akan tetapi suami Rara ini terlihat dingin. Saat itu kami lagi bertiga duduk di teras rumahnya. 

"Berani juga kau datang kemari?" tanya pria tersebut. 

"Emang kenapa, Bang?"

"Memang kenapa? kau merampas hati istriku, semua ceritanya selalu tentang kau, kau yang pandai ngaji, yang pandai menyanyi, yang sopan, bahkan nama anak kami pun ternyata diambil dari namamu, nanti kuganti itu,"

Aku melongo, Bang Parlin juga terdiam. 

"Bahkan mertuaku pun ikut ngepans sama kau, apa sih kelebihanmu? Tampan tidak, pintar tidak, bahkan udik lagi," 

"Maaf, Bang, kami pergi saja, selamat tinggal," kata Bang Parlin, dia sepertinya tersinggung, tanpa pamit ke Rara lagi yang sedang ke pasar, kami pergi dari rumah itu, dan menginap di hotel.

"Abang liat itu, kan, itu Rara yang abang banggakan itu, semua orang punya masa lalu Bang, masa lalu itu tak perlu diinget, Move on, Bang, move on,"

"Ngomong apa nya kau itu, Dek, baru dua hari dia Bandung bahasamu sudah campur sunda," 

"Itu bahasa Inggris, Bang, bukan sunda, artinya lupakan, lupakan,"

"Ih, Adek, makin marah makin cantik aja,"

"Abang sih, jauh-jauh kemari menyeberangi selat sunda hanya untuk dapat cemoohan, jangan terlalu lugu, Bang, gak semua orang lurus-lurus pikirannya kek Abang,"

"Adek makin mirip si Nunung, suka cemburu," kata Bang Parlin. 

"Udah, Bang, Adek rela jadi Nunung Abang, lupakan Rara, ya," 

"Iya, Dek, iya,'"

"Kita pulang ya, Bang,"

"Belum, Dek, Abang mau keliling Indonesia, kunjungi saudara, ke Kalimantan, ke Jambi, ke Riau, baru ke kebun kita."

Wah, kami akan keliling Jawa Kalimantan sampai Sumatra.

Bersambung...


                                                            

Kampung Coklat 2021

Sabtu, 04 Juni 2022

SUAMIKU JADUL Part 56 (Kaya tapi Nrimo)

                                                 Makannya Sari di Turky saat diundang Ane
 *Cerbung"

SUAMIKU JADUL


Karya : Bintang Kejora

Part  56 (Kaya tapi Nrimo)


Aku sadar rumah tanggaku masih seumur jagung, untuk kedepan nanti pasti makin beragam cobaan yang datang menimpa kami. Sampai hari ini masih bisa kami lalui, aku berdo’a bisa kami hadapi sampai hari yang akan datang sampai maut memisahkan.


Bang Parlin mulai mengurangi aktivitasnya. Dia lebih pokus ke kami anak istrinya. Biarpun sudah punya ART, akan tetapi dia lebih banyak di rumah. Si Ucok memang lagi lasaknya, kini dia sudah empat tahun, si Butet adik nya hampir dua tahun. Tak ada tanda-tanda aku hamil lagi, padahal tak KB.


“Bang, aku kok gak hamil lagi, ya,” tanyaku pada Bang Parlin di suatu siang.

“Iya, mungkin Cuma dua yang dititipkan Tuhan untuk kita,” kata Bang Parlin.

“Tapi Abang maunya tujuh,” kataku lagi.

“Iya, Dek, Abang memang maunya tujuh, tapi kemauan kita tak selamanya akan terwujud, kita percaya aja sama Allah, hanya dua yang kita mampu,” kata Bang Parlin.

“Oh, iya, Bang.”

“Iya, Dek, begitulah hidup ini, tugas kita hanya berusaha, berapa rezeki yang diberikan Tuhan, ya, kita syukuri,” terang Bang Parlin lagi.

“Tapi, Bang, ingin juga punya anak banyak.”


Pembicaraan kami terhenti karena ada tamu datang, seorang pria berpeci hitam, aku kenal dia, kepala lingkungan ini.

Assalamu’alaikum, Pak Parlin,” sapanya ramah.

Waalaikumsalam,” jawab Bang Parlin seraya menyalami pria tersebut. Aku segera ke dapur mengambil minum.

“Pak Parlin, tolong dulu aku, Pak, burung murai batuku hilang, ini sudah ketiga kali,” kata Pak Kepling tersebut, ketika aku meletakkan minum dimeja, aku duduk jadi pendengar yang baik.

“Maaf, Pak, kok ke saya, saya gak ngerti burung, Pak,” jawab Bang Parlin.

“ Tapi Bapak kan punya kesaktian yang bisa kembalikan barang yang dicuri orang, aku tahu itu dari cerita si Bolok,” kata pak Kepling lagi.

“Wah, maaf, Pak, saya gak bisa itu,” jawab Bang Parlin lagi.

“Tolonglah, Pak, murai batu itu mahal, minggu kemarin sudah ada yang tawar tiga juta, gak kukasih, kini hilang, sudah tiga burung muraiku hilang,” kata Pak Kepling lagi. Bapak ini memang hobby pelihara burung. Ada banyak burung dirumahnya.

“Kalau gitu gini aja, Pak Parlin, ajari dulu aku bagaimana caranya?” kata Bapak itu lagi.

“Maaf, Pak, saya gak bisa,” Bang Parlin terus menolak.

Karena Pak Kepling terus mendesak, aku jadi gerah juga. Bang Parlin tak akan mau ngajari, sama istrinya saja dia gak mau.

Pak, apa sekiranya Bapak udah siap? Bagaimana kalau yang nyuri anak Bapak sendiri?” Apakah bapak sudah siap anak Bapak perutnya bengkak?” kataku akhirnya.

“Gak mungkin anakku nyuri punya ayahnya sendiri.”

“Iya, umpamanya.”

“Oh, iya terima kasih, ya, aku pulang dulu,” kata pria itu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba mau pulang, atau aku salah bicara?


Malam harinya ada keributan di rumah Kepling, penasaran kuajak suami untuk melihat. Rumahnya hanya sekitar empat puluh pintu dari rumah kami.

“bang, yuk kita lihat mungkin malingnya sudah dapat,” kataku pada suami.

“Ah, malas, Dek,” jawab suami.

Aku urungkan niat untuk melihat, akan tetapi jiwa kepoku makin meronta, akhirnya aku keluar, dan kebetulan Bu Ratna datang.

“Ada apa di rumah Kepling, Bu?” tanyaku kemudian.

“Pak Kepling ngamuk, istrinya lepaskan burung peliharaan Pak Kepling.”

“Oooo.”

“Abang jadi pingin pelihara burung ini,” kata Bang Parlin ketika aku cerita padanya.

“Untuk apa, Bang?”

“Biar ada bahan ribut,” kata suami seraya tertawa.

“Hmmm, Abang?”

Akan tetapi perkataan Bang Parlin itu serasa mengusikku, apa iya, rumah tangga kami terlalu adem tak ada konflik berarti. Apa iya memang harus ribut dulu biar berwarna? Selama lima tahun lebih berumah tangga, kami belum pernah bertengkaar. Hanya pertengkaran kecil yang cepat mereda karena salah satu di antara kami sudah minta Maaf, biarpun yang minta maaf duluan lebih sering Bang Parlin.


Adik bungsuku datang, dia setor uang kontrakkan untuk kami, dia juga bayar peralatan yang kami beli dulu. Adikku itu benar-benar berubah.

“Aku mau beli motor ini, Bang?” kata Adikku seraya menunjukkan foto motor di HP-nya. Aku ikut melihat, penasaran juga motor seperti apapun yang dia mau.

Ternyata motor jaman dulu, bekas motor becak Siantar.

“Harganya tiga lima, Bang,” kata adikku lagi.

“Tiga setengah juta?”

“Bukan, bang, tiga puluh lima juta.”

“Wah, mahal kali?”

“Iya, Bang, itu motor antik, gak produksi lagi.”

“Apa kelebihannya?”

“Gak ada, Bang, buat gaya saja.”

Suami melihatku, aku tahu dia suruh aku untuk menasehati adikku tersebut, akan tetapi aku angkat bahu, tanda terserah abang.

“Beli sesuatu itu karena fungsi, jangan karena gengsi, belum jera juga kau, ya,” kata Bang parlin.

“Oh, iya, Bang, maaf, tapi gak semua orang sama seperti Abang,” jawab adikku.

“Ya, udah terserah,” kata suami akhirnya

“Aku beli bukan karena gengsi, Bang, buat gaya dan tabungan, barang antic makin lama makin mahal harganya,” kata adikku lagi.

“Ya, udah, belilah, kalau menurutmu itu tabungan.”

“Tapi, Bang, uangnya sudah kukasih ke Abang, kalau boleh kupakai dulu lah, Bang.”

“Baru saja kau kasih sudah kau minta lagi,” kataku protes.

“Iya, kak, sekalian minta ijinnya,” kata adikku seraya menunduk

Ternyata suamiku memberikan juga, uang kontrakkan dan uang yang dia pakai untuk beli peralatan bengkelnya yang baru setengah jam dia kasih diberikan Bang Parlin lagi. Heran juga aku, biasanya suami anti sama orang yang meminta. Ini langsung dikasih.

Setelah adikku pulang, aku interogasi suami.

“Dek, aku sudah jujur kasih utangnya, padahal dulu kita sudah anggap sedekah. Terus Abang merasa tertampar, dia benar, tidak semua orang seperti kita, Abang beli barang sesuai fungsi, tak mungkin kupaksakan begitu juga sama orang lain.” begitu kata suami ketika aku protes.

Benar juga suamiku ini, kita memang tak bisa paksakan prinsip hidup kita pada orang lain. Akan tetapi bagiku prinsip Bang Parlin sangat cocok. Beli sesuai fungsi, bukan gengsi.


Subuh itu aku tebangun, heran juga, biasanya Bang Parlin selalu membangunkan aku. Kini kulihat jam sudah pukul lima lewat tiga puluh menit, kenapa aku tak dibangunkan? Tak kulihat suami. Aku berdiri, kedua anakku masih tidur.


“Bang!” panggilan pelan.

“Abang di sini, Dek,” jawab suami dari dapur, suaranya terdengar lemah.

Aku segera ke dapur, aku terkejut melihat wajah suami pucat pasi. Dia memegang perutnya. Didepannya ada bawang putih.

“Kenapa, Bang?”

“Perut Abang sakit kali, Dek.”

“Sini kuurut, Bang,” kataku seraya membaringkan tubuh Bang Parlin di lantai. Kuambil minyak goreng, bawang putih dan bawang merah kuiris lalu kubalurkan keperutnya suami.

Bang Parlin meringis kesakitan, aku jadi makin khawatir. Wajahnya pucat saja. Segera kutelpon Abang yang tertua. “Angin duduk mungkin, urut saja dulu, aku datang ini,” kata abangku.

Beberapa saat kemudian, Bu Ratna datang, dia memang datang pagi dan pulang sore. Aku segera menyuruh Bu Ratna menjaga anakku.

“Kita kerumah sakit, Bang,” kataku kemudian.

“Gak mau, Dek,” jawab Bang Parlin. Rumah sakit memang salah satu tempat yang dia hindari.

Abangku datang. Abang juga menyarankan dibawa kerumah sakit saja, akan tetapi Bang Parlin tetap menolak. Aku jadi geram.

“Hei, Bang, gak selamanya prinsip hidup itu dipegang, kalau sudah sakit begini, dibiarkan gitu,” kataku dengan suara keras.

“Gak mau, Dek, pakai minyak bawang saja,” kata suami.

Aku jadi marah, kulemparkan piring tempat minyak bawang tersebut. Kuangkat paksa Bang Parlin. Ternyata bisa juga kuangkat sendiri. Ku gendong seperti anak kecil menuju mobil kami. Abangku sudah di belakang kemudi. Kami berangkat menuju rumah sakit. Kedua anakku tinggal Bersama Bu Ratna.

Di rumah sakit, Bang Parlin langsung masuk UGD, tangannya dipasang infus.

“Sudah empat puluh tahun, Dek, baru kali ini Abang disuntik,” kata Bang Parlin ketika perawat mengambil contoh darah Bang Parlin.


“Iya, Bang, iya, selalu ada untuk pertama kali.”

Setelah melakukan serangkaian test, dokter memanggil ku.

“Suami ibu menderita usus buntu, ini sepertinya sudah lama, harus segera di operasi,” kata dokter tersebut.

“ya, Allah.


semoga Parlin gpp