Rabu, 11 Agustus 2021

 

Aku yang Ditunggu

Bayi yang ditunggu-tunggu selama 7 tahun pernikahan bapak dan emakku. Bapakku seorang duda yang belum memiliki anak karena hanya beberapa bulan bersama dengan istrinya yang janda. Bapakku ganteng hidungnya mancung sehingga janda yang bernama bu Sariati menggaetnya dengan sering mengantarkan makanan ke rumah embahku. Kata embahku itu adalah peletnya. Setelah peletnya luntur maka bapakku pulang ke rumah embahku. Ketemulah dengan emakku yang perawan dengan rambut Panjang pulang dari SKP(Sekolah Kepandaian Putri). Entah bagaimana prosesnya aku lupa bertanya.

Bapakku orangnya sungkanan sehingga saat belum punya rumah, bapakku sering keluar rumahnya embahku untuk bekerja dengan berbagai pekerjaan. Pergi pagi pulang malam bahkan tengah malam. Bapakku membantu pekerjaan emboknya untuk mengolah kacang kedelai dan kacang hijau menjadi kecambah. Saat pulang tengah malam bapakku mengaji di rumahnya mbah Toyib atmawijaya. Mungkin karena hal itulah maka emakku sulit hamil hingga 7 tahun baru hamil aku. Saat hamil sangat mudah dengan tanpa keluhan karena emakku memang orang yang rajin bekerja bahkan workaholic.

Aku lahir dengan sangat cepat di emper belakang rumahnya embahku. Dukun bayi bernama mbah Tukiyam yang rumahnya kulon kali masih dijemput oleh pak De Hasyim karena bapakku lagi mengaji hingga tengah malam. Aku lahir sekitar jam 9 malam. “tahan sek, ojok ngeden mbah dukun urung teko” begitu kata embahku yang takut karena tidak biasa menemani melahirkan bayi. Akhirnya sesaat kemudian dukun bayi datang dan aku lahir. 40 hari aku membuat emakku tidak tidur malam karena aku rewel. “Maafkan aku mak”. Saat seperti itu emakku malah dimarahi oleh embahku sehingga emakku tiap hari menangis karena dikira emakku hamil lagi.

Kondisi psikologis emak yang sedih membuat air susunya tidak lancar keluar sehingga aku kurang puas. Mungkin itu juga yang membuatku rewel. Akhirnya saat umur 8 bulan aku diminumi susu dan makan roti tawar yang saat itu hanya ada di toko Fajar, satu-satunya toko roti  yang ada di kota Blitar. Sungguh makananku mahal saat itu dengan kondisi ekonomi orang desa. Itulah pengorbanan emak dan bapak yang membelikan roti dan susu walau harganya mahal demi anak bayinya bisa makan walau jauh dan mahal ya dibelikan….lop u emak dan bapak.

Aku Dekat Aku Akrab

Aku sejak kecil dekat dengan pak De Hasyim suaminya bu de Suprihatin karena saat itu yang sering momong aku beliau. Bapakku jarang pulang saat aku terbangun sehingga aku kurang dekat dengan bapak. Aku dekat jug dengan masnya emak, Pak de Yadji dan emak Tukiyatun. Aku anak yang mudah akrab dengan keluarga lainnya. Saat aku TK pernah diajak ke candi Borobudur tanpa emak. Aku dibelikan mainan patung burung yang terbuat dari kaca tipis sehingga harus hati-hati membawanya, takut pecah.

Aku sering juga menginap di rumah mbah Sitas, mbah putri dari bapak. Mbah Kakung aku sudah tidak ketemu, meninggal sejak lama. Pertama aku tidur dengan mbah Sitas, lama kelamaan aku berani tidur sendiri di ranjang yang berbeda, sebelahan dengan ranjangnya mbah. Sodaraku lainnya tidak ada yang pernah menginap di rumah Mbah, hanya aku sehingga mbah ku sayang aku dan bukti sayangnya aku dibelikan kalung emas. Cucu yang lainnya gak ada yang dibelikan kalung. Aku rajin, kalo bangun pagi pasti membantu menyapu halaman, menyapu seluruh rumah bahkan mencuci piring dan menggosok tempat cuci piring yang saat itu tergolong kotor dan kadang ditumbuhi jamur. Tanpa rasa jijik aku membersihkan tempat itu.

Sering juga main dan masak-masakan di rumah pak Puh Sardji. Paling aku ingat masak bersama mba Anis, masak dadar gulung. Makanan yang paling mudah dilakukan buat anak seusia SD. Tepung beras dicairkan dan di dadar kemudian membuat isinya enten-enten. Bahannya kelapa parut dimasak dengan gula kepala. Aku, mas Agus  dan mbak anis yang masak dimakan bersama mas ashofan, mas Gun yang sudah usia SMA.

Setiap minggu aku ngampung menyetrika baju di rumah mbak Anis. Karena aku tidak punya setrika. Beli areng bersama di tumpahin sedikit minyak tanah dan dikasih api lalu dikipasi hingga menganga dan digosokkan ke baju seragam. Bisa juga dengan menggunakan batok kelapa kemudian dibakar hingga menganga dan dimasukkan ke dalam setrika. Jika kepanasan maka diletakkan diatas daun pisang, berbunyi Cheesss dan mengeluarkan aroma khas. Bergantian aku , mbak Anis dan mas Agus menyetrika baju seragam. Sebelumnya menyetrika diawali dengan melihat TV. Hanya pak Puh di daerah itu yang punya TV sehingga banyak anak yang menontot bersama “nobar” si Unyil setiap jam 8.30.

Rumah Baru

Entah kenapa embahku seakan kurang sayang sama emakku, padahal emaku itu anak ragil dari 4 bersaudara. Anak ragil biasanya lebih disayang, mungkin karena bapakku yang sering pulang malam dan gak jelas pekerjaannya dan mungkin juga gak jelas penghasilannya. Sebagai istri emak juga tidak tega membiarkan bapak disindir dengan lemparan kayu kancingan pintu, namun sebagai anak emak juga tidak mau melawan embohknya. Karena sering di marahi itulah maka emakku minta rumah pada bapakku dengan sangat keras. Beliau berdua bekerja hingga bisa membeli tanah dan membangunnya saat aku berusia 8 tahun. Rumah itu berdiri atas saran dan dukungan materi dari perkumpulan Taawun yang dipimpin oleh KH Toyib Atma Wijaya.

Emak dan bapak  sangat bersyukur dan selalu menyebut jasa sang guru yang telah membimbing secara spiritual bahkan material. Saat itu kami pindah ke rumah baru yang kondisinya masih belum punya daun pintu dan jendela yang masih tertutup oleh gedek/dinding bamboo. Kamar mandi permanen belum ada, hanya bilik segi 4 yang ditutupi dengan gedek diujung kebon milik kami. Bapak dan emak mengaambilkan air dari sumur dengan menimba menggunkan  kerekan bulat untuk mengisi gentong dari tanah, lantainya lemah yang dibubuhi dengan kerikil. Aku belum boleh menimba, begitulah sayangnya emak bapakku. WC belum punya sehingga nunut di WC mbah Jariyah tetanggaku yang cukup kaya.  Zula masih umur 1,5 tahun belajar jalan dan menginjak plesteran yang basah, seperti stempel kaki.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar