Kamis, 07 Juli 2022

Suamiku_Jadul... Part 28. (mendirikan sekolah gratis)

 Suamiku_Jadul...

Part 28.

👇Selama di desa, aku benar-benar jadi beban, kini kakiku sudah terkilir, sakit dibawa jalan. Akan tetapi Bang Parlin tetap setia mengurus bayi kami. Di sini aku diperlakukan bagaikan ratu, tak boleh masak. Terakhir aku baru tahu, aku tak boleh masak karena masakanku tak pernah cocok di lidah mereka. 

Ayah mertua ternyata jauh lebih jadul dari Bang Parlin. Mungkin jadul ini adalah keturunan. Aku sangat terkejut melihat Ayah mertua gosok gigi pakai pasir. Saat itu kami lagi makan bersama di pinggir sungai. Pasir dan air dimasukkan ke mulut, baru digosok pakai jari telunjuk. Gigi memang putih, akan tetapi tak berbahayakah itu? Bagaimana kalau pasir tertelan? 

"Ini sikat gigi, Mang Boru," kataku kemudian. 

"Ayah gak pernah pakai sikat gigi," kata Bang Parlin. 

"Haaa?"

"Iya, ayahku orang jadul level akut, Ayah bahkan tak pernah pakai sabun jika mandi." kata Bang Parlin lagi. 

"Jadi pakai apa?" 

"Pakai batu,"

Ya, Allah, di jaman serba canggih begini masih ada orang yang tak pernah pakai sabun? Akan tetapi Ayah mertua terlihat bersih, tak juga berbau, hanya bau tembakau. 

Makan di pinggir sungai ternyata sangat nikmat, lebih nikmat dari pada makan di restoran mewah. Lauk semua dicari sendiri, untuk ikan, suami dan beberapa orang pergi menjala, untuk sayur, ibu-ibu ambil sendiri. Di sini berkebun sayur susah, musti dipagar tinggi, karena banyak lembu berkeliaran. 

Selama tiga bulan di desa, aku benar-benar bisa terlepas dari HP, biasanya satu jam saja tak lihat alat komunilasi itu, serasa ada yang kurang, kini sudah tiga bulan. 

Sekolah SD itu sudah selesai dibangun, mulai menerima murid, semuanya gratis. Bang Nyatan dan Bang Parta serta kami mensubsidi sekolah tersebut. Lagi-lagi aku yang dipercaya sebagai bendahara. Bang Parta dan Bang Nyatan rutin mengirim ke rekeningku tiap bulan.

"Udah puas kau, Dek," tanya suami di suatu pagi. 

"Puas apanya, Bang?"

"Puas di kebun ini, kapan kita pulang?"

"Entahlah, Bang, di sini adem," 

"Adek kini ada kegiatan, jadi menteri keuangan yayasan, tahun depan, sekolah TK akan dibangun, di daerah ini belum ada TK," kata suami. 

'Iya, Bang," 

"Ayah suruh kita pulang, katanya kasihan parumaen," kata Bang Parlin lagi.

"Siapa parumaen?"

"Ya, Adeklah,"

"Tapi biasa dipanggilnya Ayah, maen,"

"Ya, sama saja,"

Bang Parlin memberikan kebebasan untukku mau tinggal di mana, mau di Medan, mau di desa, atau di kebun, semua terserah aku, Bang Parlin katanya nurut saja. Kadang aku merasa terlalu mengatur suami. Aku mau berlama-lama di sini karena takut suami makin tergantung HP, egoisnya aku, padahal Bang Parlin mau tinggal di kota untuk menikmati hidup. 

Akhirnya kami pulang ke Medan, jabatanku sebagai bendahara mungkin bisa kukerjakan dari kota. Tugasku hanya menerima dan menyalurkan dana, menggaji guru yang baru tiga orang. 

Sesampainya di Medan, kami dikejutkan dengan keadaan rumah yang acak-acakan, kasur terbalik, isi lemari keluar semua. Rumah kami ternyata kemalingan. Barang-barang berharga banyak yang hilang. 

Yang aneh tak ada pintu rusak, jendela juga masih utuh. 

"Kita lapor polisi, Bang," kataku kemudian. 

"Gak usah, Dek," jawab suami. 

Aku baru inget, kantor polisi salah satu tempat yang dihindari Bang Parlin. Akan tetapi apakah kami harus pasrah saja rumah kami kemalingan. 

"Ulos si Ucok hilang, Dek," kata suami. 

Dari sekian banyak barang hilang, dia justru sedih Ulos Batak itu hilang. 

"Dek, ulos itu sudah berumur enam puluh tahun lebih, Abang sedih, Dek," kata suami. 

"Makanya kita lapor polisi?" kataku kemudian. 

"Duh, bagaimana ya, Dek?"

"Ayo, Bang, kita lapor polisi," 

"Udah, Dek, gak usah, kita pakai cara tradisional saja, ini sudah darurat kan?"

Ah, suamiku ini bicara aneh, cara tradisional apaan? Darurat apaan? Di saat seperti ini dia masih bisa tenang. Bang Parlin memang seperti itu, kehilangan uang tiga ratus juta pun dia tetap tenang. Akan tetapi yang membuat aku makin cinta, dia bisa panik bila sesuatu terjadi padaku.

"Cara tradisional bagaimana, Bang? Terus darurat apaan?" tanyaku seraya memberikan si Ucok padanya dan mulai berberes rumah. 

"Begini, Dek, dulu waktu Abang di pesantren pernah diajari seorang kyai cara mengembalikan barang hilang, tapi harus darurat dulu, tak boleh dipakai untuk cari uang." suami menjelaskan. 

"Ya, cocok itu, Bang," kataku seraya menyusun baju yang berserak. 

"Tapi Dek, pencurinya akan sakit,"

"Peduli amat sama pencuri,"

"Baik, Dek,"

Entah bagaimana cara Bang Parlin melakukannya, bagaimana bisa barang yang hilang bisa kembali? Sebenarnya aku kurang percaya, akan tetapi kuiyakann saja, siapa juga yang tidak mau barangnya kembali.

Seharian aku beberes rumah, istirahat hanya untuk memberikan ASI untuk anakku. Bang Parlin justru seharian jaga anak, dia menggendong seraya menyanyi, nyanyiannya selalu aneh terdengar olehku, Ya, memang suami jadul, sama selera musiknya juga jadul. 

Malam harinya, aku istirahat, badan rasanya mau remuk yang seharian berberes rumah yang berantakan. 

"Bang, nyanyikanlah ungut-ungut, Bang," pintaku pada suami. Ya, selama di desa lagu ini seperti pengantar tidur untukku, selain Bang Parlin, Ayah mertua juga suka menyanyikannya. 

"Sini kuurut, Dek, mungkin adek capek," kata Bang Parlin seraya memegangi tengkukku. 

Seraya bernyanyi kecil, suami urut punggungku, nikmat rasanya. Si Ucok pun sudah tertidur, kunikmati tidur seraya diurut, dinyanyikan lagu ungut-ungut. Alangkah nikmat nya hidup ini. 

Akan tetapi, apa ini? urutan suaminya justru makin ke bawah, entah mana yang pegal mana yang diurut, sejurus kemudian, dasterku sudah tersingkap, lah nasib, alamat badan tambah pegal ini. 

Ponselku bunyi, terpaksa aktivitas urut yang membuat aku terpaksa menurut ini terhenti, kulihat layar HP, ternyata adik bungsuku yang menelepon. 

"Halo, Kak, ini aku Mira, Abang sakit," katanya dari seberang. Mira adalah istri dari adik bungsuku. 

"Sakit apa, Mira?"

"Perutnya tiba-tiba sakit, badannya demam, dia ngigau sebut nama kakak," katanya lagi. 

Duh, ada apa dengan adikku itu, seketika hilang gairah yang sedari tadi sudah di ubun-ubun, kumatikan sambungan telepon dan segera kuberitahu pada suami. 

"Innalillah," kata suami. 

"Abang bagaimana, sih? kok innalillahi, adikku sakit, bukan meninggal,"

"Dia yang maling di rumah kita, Dek,"

"Kok Abang tahu?"


"Ya, begitu, yang mencuri akan berusaha menghubungi kita dan mengembalikan apa yang disebut curi," kata suami. 

"Jangan gitu, Bang, adikku memang bandel, tapi bukan pencuri, apalagi rumah kakaknya sendiri," kataku. Padahal dalam hati aku membenarkan perkataan suami. Kunci rumah ini memang ada duplikatnya sama adikku, karena dulu di sini dia tinggal, ini dulu rumah orang tua kami. Akan tetapi  coba kutepis, aku tak bisa terima adikku mencuri punya kakaknya sendiri. 

"Dek, Abang juga tak menyangka, tapi memang begitu, sudah tiga kali Abang praktikkan ini," kata suami lagi. 

Duh, adikku, mungkin dia sakit hati pada kami, akan tetapi hukuman begitu serasa tak pantas untuk adikku. Biar bagaimana pun dia adik kandungku. 

"Jadi bagaimana ini, Bang?"

"Iya, begitulah, dia harus kembalikan barang yang dia curi,"

Kuambil lagi HP, kutelepon adikku, "kembalikan yang kalian curi, sekarang juga," kataku kemudian. 

"Curi apa, Kak?" Mira kedengeran bingung, mungkinkah dia belum tahu perbuatan suaminya.


#Bersambung ke-29


                                                                

Acara mantennya Noval ketemu Bimo kakaknya Dinda Zoraya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar