Suamiku_Jadul...
Part 30.
👇Sebagai anak yang lahir dan besar di desa, hidupku tak jauh dari lumpur, rumput dan lembu. Kebetulan desa kami adalah desa peternak lembu dan kerbau. Sejak umur sepuluh tahun aku sudah biasa menggembala ternak. Waktu itu menggembala ternak milik orang. Gajinya waktu itu seratus rupiah per sapi perhari. Sepulang sekolah langsung keluarkan sapi dari kandang, membawanya ke padang rumput yang luas di daerah kami.
Kehidupan kami berubah setelah ada puskesmas di desa, dokternya dari kota, kebetulan pula bangun rumah tepat di depan rumah kami. Anak Pak dokter ini ada yang sebayaku, Rara namanya. Dia baik, sering kasih aku makanan dari kota.
Selepas tamat SD, aku dimasukkan ke pesantren yang jauh dari desa, pulang hanya dua Minggu sekali. Sehingga jarang bertemu Rara. Jika pulang, kami akan bertemu, beramai-ramai nonton VCD di rumah Rara, di desa kami hanya Rara yang punya VCD. Rara suka sekali film India, apalagi yang pemerannya Sanjay Dut. Jika kami bermain, sering Rara menyuruh aku berperan sebagai Sanjay Dut.
Lima tahun di pesantren, prahara melanda keluargaku, ibu tercinta sakit keras sampai akhirnya meninggal dunia. Ayah seperti kehilangan semangat, bahkan pernah sampai lupa mengirim belanjaku di pesantren. Aku terpaksa putus sekolah, padahal dua tahun lagi tamat. Pesantren Mustafawiah Purba Baru memang tujuh tahun baru tamat.
Setelah putus sekolah, aku seperti kehilangan semangat, Ibu sudah tak ada, sekolah pun putus, dua abangku pergi merantau, tinggal aku dan Pardamean-adik bungsuku.
Suatu hari Pak Dokter mengajakku ikut dengannya, katanya cari lahan untuk ditanami sawit, karena waktu itu memang di daerah kami lagi musim membuka kebun sawit. Tentu saja aku mau dan senang sekali, karena Rara juga ikut, kami melakukan perjalanan dari Padang Lawas utara menuju Mandailing Natal, perjalanan darat yang cukup jauh, memakan waktu delapan jam naik mobil.
Singgah sebentar di kota Padang Sidempuan baru melanjutkan perjalanan menuju Mandailing. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mobil Rocky Pak dokter mogok, sementara berada jauh dari desa terdekat, kiri kanan jalan masih hutan belantara.
"Parlin, bisa kau dipercaya, jaga dulu Rara di sini, aku mau ke desa cari mortir," kata Pak Dokter.
"Bisa, Pak, bisa," kataku kemudian.
Berdua dalam mobil bersama gadis cantik di tengah hutan. Ah, dokter ini terlalu percaya padaku, aku harus menjaga amanah ini. Aku hanya diam saja, sementara Rara asik mendengar lagu India.
"Ngerti kau rupanya bahasa India, Rara," tanyaku memecah keheningan.
"Gak," jawabnya singkat, dia keraskan volume musik dari TV recorder yang dia bawa.
Tiba-tiba dua motor RX King berhenti di belakang mobil. Rara mematikan musik, jalanan sepi. Empat orang turun dari motor tersebut, salah satu di antara mereka ketok kaca mobil. Kubuka, dan ...
"Ada apa, Bang?" tanyaku pakai bahasa Batak Angkola.
Orang tersebut malah mengeluarkan parang panjang, dan menempelkan ke leherku, tentu saja aku tak bisa berkutik. Kemudian satu orang lagi membuka pintu, dua orang stan by di atas motor.
"Serahkan semua uang kalian," kata pria tersebut.
"Gak ada uangku, Bang," jawabku. Memang di kantongku tak ada uang.
"Hei, jangan banyak bacot kau, katanya seraya meraba-raba kantongku, sementara Rara sudah pucat pasi di jok belakang.
Karena memang tak ada uang, mereka lalu beralih ke Rara, kalung emas di leher Rara mereka rampas, Rara menjerit.
"Bang Pain, tolong aku, itu kalung ibuku," kata Rara.
Entah kekuatan dari mana, segera kucari senjata, salah satu di antara mereka yang pegang parang lagi sibuk memmeriksa tas kami, ini kesempatanku, aku dapat kunci Inggris di bawah jok, langsung kuhantamkan ke kepala orang yang pegang parang, dia sempoyongan. Temannya yang di motor datang, aku langsung berlari menuju motor mereka, kutendang motor tersebut sampai masuk jurang. Seseorang menyerangku dengan pisau, sebetan pisau tersebut mengenai tanganku, darah pun mengucur deras. Untunglah bersamaan dengan itu datang Pak dokter bersama dua orang mortir. Para penjahat itu lari, motor dan seorang dari mereka tinggal.
Pak dokter lalu mengobati tanganku yang luka, seorang mortir tersebut memanggil polisi.
Sejak saat itu, aku dipercaya dokter sebagai penjaga Rara, aku juga senang, bersama Rara rasanya asyik, biarpun seharian putar musik India.
Ketika lahan itu dapat, aku dipercaya dokter untuk menjaganya dan mengurusnya, katanya sistim bapak angkat. Setelah panen dibagi dua.
Hubunganku dengan Rara makin akrab saja, sampai akhirnya ibu Rara menemukan buku diari Rara, isunya seputar hubungan kami berdua. Ibu Rara marah besar. Beliau tak sudi anaknya berhubungan dengan pemuda putus sekolah sepertiku.
"Bang Pain, Ayah pindah tugas, kami akan pindah ke Bandung," kata Rara di suatu sore.
"Lalu bagaimana denganku, Rara?"
"Buktikan pada Ibuku kalau Bang Pain bisa jadi orang, kami akan datang lagi nanti, setelah sawit itu panen," kata Rara.
"Rara,"
"Tunggu aku, Bang Pain, kami memang harus pindah, aku mau kuliah di ITB,"
"Jangan tinggalkan aku, Rara,"
"Aku akan datang lagi, Bang Pain, itu pedet tolong urus, si Mona juga," kata Rara. Pedet adalah anak sapi jenis baru, sedangkan Mona adalah kucingnya yang berbulu lebat.
"Rara, tak bisakah kau kuliah di sini saja,"
"Di mana? di sini gak ada kampus, udah, Bang, tunggu saja, satu permintaanku, jadilah Sanjay Dutku," kata Rara seraya memegang belakang rambutku yang sudah mulai panjang.
Pak Dokter juga berpesan padaku.
"Parlin, dari semua pemuda di desa ini, aku paling suka kau, kau pemberani, urus sawit itu, dua tahun lagi akan panen, tinggal di sana kau, ini untuk biaya dan sebagainya, jika panen nanti kami datang," kata Pak Dokter seraya memberikan sejumlah besar uang.
Akhirnya mereka pergi, aku tak bisa melepas kepergiannya, ibunya Rara tak suka padaku. Kuintip dari celah dinding, Rara menatap rumah kami sebelum dia pergi. Anak sapi sudah terikat di depan rumah, kucing berbulu lebat sudah ada di kandang. Rambut gobel juga sudah mulai tumbuh.
"Akan kutunggu kau, Rara, akan kujaga amanahmu," batinku seraya menitikkan air mata.
Berbekal uang pemberian Pak Dokter, kusewa truk membawa sapi dan kucing, aku akan tinggal di kebun, menunggu Rara datang. Kuurus sapi tersebut dengan baik, kucing juga kupelihara, ketika melihat sapi itu, bayangan Rara selalu terbayang. Kupelihara rambut gobel, aku akan jadi Sanjay Dut untuk Rara.
Semenjak saat itu, jaman seperti berhenti untukmu, ketika rambut orang mengikuti model, aku tetap setia dengan rambut gobel, berharap suatu hari kelak bertemu Rara lagi.
Satu tahun kemudian, Pak dokter datang langsung ke kebun, akan tetapi aku sedih, Rara tidak ikut. Sampai akhirnya sawit panen, Rara tidak juga datang, yang datang selalu Pak dokter.
"Parlin, kami sudah jual semua rumah di desa, kami akan menetap di Jawa," kata Pak dokter di suatu hari, saat itu beliau datang lagi.
"Terus sawit ini, Pak,"
"Ini semua untukmu saja,"
"Tapi, Pak,"
"Kau sudah bertaruh nyawa menyelamatkan Rara, ini belum sebanding, akan tetapi bila kau hendak membayar juga, kasihkan pada orang yang betul-betul membutuhkan, anggap saja zakat, harta bersih, orang terbantu," kata Pak Dokter lagi.
"Bagaimana kabar Rara, Pak?" kuberanikan bertanya juga.
"Dia baik saja, Rara titip salam untukmu," kata Pak dokter.
Ya, Allah, dapat titip salam saja aku sudah merasa bahagia sekali, kupegang rambut gobel ku, akan kujaga ini sampai bertemu dengannya.
Sawit mulai panen, karyawan pun mulai ditambah. Karena memang terbiasa hidup dengan sapi, ketika panen sawit, kubelikan sapi, akhirnya itulah kegiatanku di kebun ini bertani sawit dan beternak sapi.
Lima tahun berlalu, Rara belum juga datang, mau menghubungi aku tak tahu bagaimana caranya, katanya dulu setelah lima tahun dia akan datang, karena kuliahnya akan selesai. Sementara itu sapi pemberiannya sudah besar, kururus dia dengan hati. Kuberikan makanan terbaik.
Aku sedih sekali ketika Mona--kucing berbulu lebat itu mati. Aku harus memberitahu Rara. Ketika selesai menjual sapi, aku ke kota terdekat. Panyabungan nama kota itu kulihat orang sudah mulai berubah. Sudah ada beberapa yang punya telepon genggam. Tiba-tiba timbul niatku beli juga, siapa tahu bisa menghubungi Rara.
"Mana yang paling bagus di sini?" tanyaku pada penjual HP di Pasar Panyabungan.
"Oh, ini, Pak, Nokia 1100, bisa poliponik," jawabnya.
"Bisa gak menelepon sampai ke Jawa?"
"Bisa, bisa,"
"Berapa?".
"Tujuh ratus lima puluh ribu,"
"Oh, bungkus," kataku dengan yakin, uang satu kresek ada di tangan. Apalah kalau cuma tujuh ratus lima puluh ribu.
"Sekalian kartunya, Pak?"
"Iya, sekalianlah?"
"Kartu apa, Pak?"
"Yang paling baguslah, yang bisa menelepon sampai ke pulau jawa,"
"Oh, baik, tinggal di mana, Pak, karena operator seluler belum sampai sinyalnya ke beberapa tempat."
"Maksudnya?"
"Begini, Pak, lain daerah lain sinyal yang dapat, di sini misalnya Indosat, di sana tidak dapat Indo""t, musti Telk""sel,"
"Oh, daerah Singkuang masuk ke dalam lagi, perkebunan sawit itu,"
"Oh, maaf, Pak, daerah itu belum ada sinyal,"
"Ya, udah, sekalian buatkan sinyalnya ke sana, berapa?"
Wanita di depanku tampak melongo, kemudian dia tertawa ngakak. Apakah karena penampilanku, atau dia tak yakin aku bisa bayar. Kuambil tas kresek kutunjukkan padanya isi tas tersebut.
Sambil tertawa dia berusaha menjelaskan padaku, susah payah aku mencerna penjelasannya, akan tetapi aku tak mengerti juga. Akhirnya aku pulang, HP jadi dibeli, akan tetapi tak jadi dipakai.
"Rara, datanglah, Si Mona mati, si Pedet sudah tak pedet lagi, dia sekarang si Nunung. rambutku sudah mirip Sanjay Dut," batinku seraya memegang kepala bagian belakang.
#Bersambung ke 31...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar