Kamis, 07 Juli 2022

Suamiku_Jadul... Part 27(Beli utk bantu)

 Suamiku_Jadul...

Part 27.


👇Menyesal juga aku mengajari Bang Parlin main medsos, setiap hari ada-ada saja yang baru ulahnya. Ulah orang yang memanfaatkan kelemahannya. Mulai dari pengumpulan donasi, zakat, sampai pedagang online. Hari ini aku terkejut dengan kedatangan paket. 

"Ini rumah Parlindungan Siregar?" tanya orang yang mengantar paket. 

"Iya, benar, ada paket apa ya?" 

"Ini, Bu, COD ya, Bu, empat ratus lima puluh ribu." Segera kupanggil suami yang sedang berada di belakang rumah. 

"Apa ini, Bang?" tanyaku seraya membayar paket tersebut. 

"Buka saja, Dek, itu hadiah untuk adek," kata suami. 

Kucoba baca tulisan di kemasan, ternyata isinya paket skincare. Duh... 

"Untuk apa Abang beli yang gini, aku sudah punya, itu banyak," kataku sedikit kesal. 

"Lo, bukannya berterima kasih," 

"Kuambil HP Bang Parlin, kulihat isi percakapan dia dengan pedagang online tersebut. Aku terharu, ternyata orang itu butuh bantuan, yang ini aku yakin sekali real, bukan modus, dia menolak ketika Bang Parlin menawarkan bantuan uang, dia justru hanya mau jualannya dibeli, akhirnya Bang Parlin membelinya. 

Ketika kuperiksa HP suami, ternyata dia banyak memesan, salah satunya alat pangkas satu set, bahkan ada mobil-mobilan truk untuk anakku. Padahal anakku masih belum empat puluh hari. 

"Bang, sepertinya Abang mulai melenceng dari prinsip hidup Abang sendiri, beli yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan ini untuk apa mobilan?" kataku protes. 

"Kita memang belum butuh, Dek, tapi penjualnya sangat butuh, lihat saja status Facebook-nya, sedih terus." kata suami. 

Ya, Allah, apakah suamiku akan berubah, bagaimana caraku supaya dia tak seperti orang kebanyakan yang ketergantungan HP, mengingat dia banyak waktu luang, sehingga HP akan jadi sasaran.

Ketika umur anakku sudah empat puluh hari, saatnya kami pulang kampung, akan ada acara mengayunkan anakku. Sekaligus penambalan nama gelar untuk anakku. 

"Bang, kita pulang sekalian pindah saja, Bang," kataku pada suami. Setelah kupikirkan, mungkin ini caranya biar Bang Parlindungan seperti dulu lagi, di kebun tak ada sinyal, biar saja berkutat dengan sapi dan sawit, dari pada suami lama-lama digondol pelakor. 

"Yakin, Dek?"

"Iya, Bang, yakin,"

"Alasannya?"

"Aku takut Abang makin terjerumus, Abang terlalu polos, Bang, Abang memang ahli soal kehidupan, tapi tidak di dunia maya," kataku. 

"Hmmm, Adek lebay,"

"Lebay?" Sungguh aku terkejut mendengar Bang Parlin bilang kata lebay, itu kamusku, dia tak pernah bilang seperti itu. Ini mungkin salah satu pengaruh medsos itu.

"Percayalah sama Abang, Dek, Abang pasti bisa menahan godaan, adek benar, medsos itu banyak godaannya, tapi di dunia nyata juga banyak godaannya, bukan cuma di medsos, sedangkan kita berkutat di kebun saja ada yang menggoda, tapi Abang kuat," kata suami.

Kami pulang, mobil kami bawa, supir pun disewa. Acara berjalan lancar, anakku dinamai Sutan Pinayungan Siregar. Saat acara berlangsung, aku lebih banyak diam, karena memang aku tak tahu mau bicara apa, hampir semua orang berbahasa Batak Angkola. 

Selepas acara, aku minta ikut ke kebun Bang Parlindungan, biar pun dia berusaha mencegah, akan tetapi aku ngotot ikut. Bang Parlin khawatir karena anak kami baru empat puluh lima hari akan tetapi entah kenapa aku tak ingin berpisah dengan Bang Parlin, dia ke kebun katanya mau jual sapi, karena sudah mendekati hari raya kurban. 

Akhirnya aku ikut juga, kenekatanku justru menyiksa suami, sepanjang perjalanan dia jadi yang mengurus bayi kami. 

Mendengar kami datang, kakak dan adikku Ria datang ke rumah, rumah terbuat dari kayu itu ada di tengah kebun sawit. Entah kenapa aku merasa damai di sini. Lepas dari HP, ada juga teman bercerita, kakak dan adikku setia menemaniku di sini. 

"Bagaimana di sini, Kak?" tanya Bang Parlin pada kakakku. Saat itu kami lagi duduk-duduk seraya menyaksikan sapi kami diangkut satu persatu. 

"Alhamdulillah, tenang, tapi, gitulah, maaf, Parlin, aku merasa tak berguna di sini," kata kakakku. 

Aku tahu maksudnya, kakakku adalah seorang sarjana pendidikan, mungkin ilmunya terasa percuma jika harus berkutat dengan kotoran sapi. 

"Gak berguna bagaimana, Kak?"

"Aku ingin kembali mengajar, tapi abangmu tak mau, dia seperti sudah kerasan tinggal di sini," kata kakakku lagi. 

"Ikut kata suami, Kak," kataku kemudian. 

"Iya, sih," 

"Aku ada ide, bagaimana kalau kita bangun sekolah di sini," kata Bang Parlin. 

"Cocok, kasihan anak karyawan, mau sekolah jauhnya minta ampun," tiba-tiba Ayah mertua ikut bicara. 

Ah, suamiku ini memang selalu punya solusi untuk setiap permasalahan, dia mau bangun sekolah di perkebunan. Memang kulihat anak-anak karyawan kebun jauh kali untuk sekolah. Tapi, bangun sekolah tentu tidak mudah, butuh biaya banyak dan tenaga besar. 

Bang Parta dihubungi, Bang Nyatan juga, mereka bersedia membantu dana. Suami Ria dipercaya untuk urus bangunan, rekeningku dipercaya menampung dana dari saudara lain. Kakakku dipercayai jadi ketua yayasan. Sedangkan abang ipar dipercaya mengurus perijinan. Kami semua punya proyek mendirikan sekolah SD swasta di perkebunan. Nama sekolahnya sudah disepakati diambil dari nama Ayah mertua akan dipakai. 

SD swasta Pardomuan, nama yang akan dipakai untuk sekolah itu. Aku salut dengan keluarga ini. Dana yang terkumpul sangat banyak, melebihi dari dana yang diperlukan. Rekeningku jadi gendut. Aku benar-benar jadi menteri keuangan. Jabatanku naik, kini aku jadi menteri keuangan untuk keluarga besar Pardomuan Siregar. 

"Bang, nyanyikan lagu kek waktu di pesta itu Bang," kataku pada suami. Saat itu kami berada di sebuah pondok, si Ucok lagi tidur di ayunan. Sementara sapi banyak berkeliaran, Bang Parlin menggembala sapi dan kerbau. Setelah sapi dijual saat idul adha, kini kami punya tiga ekor kerbau. Pedet langka, jadi kami pelihara kerbau. 

Bang Parlin lalu mengambil seruling dari ranselnya, mulai memainkan seruling tersebut. Damai rasanya. 

"Bang, kulihat di TV sapi dipakai orang untuk membajak sawah, narik pedati lagi, di sini kok inggak?" tanyaku pada suami ketika dia sudah selesai memainkan serulingnya. 

"Kasihan, Dek, di sini hanya untuk diambil dagingnya saja,".

"Bang, itu di TV ada anak gembala main seruling sambil nunggangi sapi," kataku lagi. 

"Gak ada itu, Dek, sapi akan lari bila ditunggangi, kecuali kerbau," 

"Ohh, itu ada kerbau kita, coba naik ke sana," kataku lagi. 

Eh, suami malah menurut saja, dia naik ke punggung kerbau, segera kuambil HP, dan mengabadikan momennya tersebut. Dia main seruling di atas kerbau tersebut. 

"Aku mau naik juga, Bang," kataku kemudian. 

"Jangan, Dek, bajumu merah itu, dia nanti marah," kata suami. 

"Mana pula binatang tau warna," kataku tak percaya. 

"Iya, betul, Dek, kerbau gak suka warna merah,"

"Ah, aku gak percaya, kataku seraya turun dari pondok, mendekati kerbau tersebut, dan melompat ke, atasnya. 

Akan tetapi benar kata Bang Parlin, kerbau itu ngamuk, dia meronta, sehingga aku terpental dan jatuh ke bumi. Sakit sekali, pinggangku sakit. Bersamaan dengan itu, bayiku yang sudah tiga bulan setengah juga nangis, aku juga meringis. 

Alhasil, Bang Parlin menggendong aku di belakang dan si Ucok di depan, sambil mengiring puluhan sapi, kami pulang. 

"Makanya, suami ngomong itu didengerin," Omel suami di sepanjang perjalanan. Aku hanya bisa meringis, pinggangku sungguh sakit. Merasa bersalah juga, akan tetapi digendong suami rasanya enak. 

"Aku hanya pura-pura, Bang, enak digendong Abang," kataku akhirnya. 

"Pura-pura, pura-pura, hei, Dek, di Dumay boleh Adek tau semua, tapi di sini, Abang ahlinya, jadi nurut aja napa?" kata suami. 

"Iya, Bang, iya, tapi di dumay Abang nurut adek ya, soalnya di dumay adek ahlinya," kataku seraya mengencangkan pegangan pada leher suami. 

Ya, begitulah memang, manusia itu punya keahlian masing-masing, mari kita bertanya dan menurut  ke ahlinya.


#Bersambung ke-28...


                                                                                


Tidak ada komentar:

Posting Komentar