Senin, 18 Juli 2022

Teman Hijrah

 Teman Hijrah

Kedatangan pertama oleh Ibu Tri bersama mbk Jessica. Ku sapa beliau yang ramah, bersama seorang gadis yang terlihat masih mikir panjang dan serasa tidak ringan memulai jalani. Namun ibu Tri dengan semangat menjelaskan motivasinya. Beliau menjelaskan kalau untuk pindah dari luar kota memasuki kelas 8 di Pasuruan harus mendapat sertifikasi Al Quran. Sungguh Pasuruan itu kota yang perhatian pada Islam. 

Kedatangan berikutnya Naella bersama dengan ayah ibu dan kakek neneknya yang ikut menangis juga walaupun sudah memondokkan ibu Nella dan 5 saudaranya. Disusul Cantika yang ceria dan berpisah tanpa air mata. Cantika mandiri dan berniat hijrah untuk kebaikan...masyaallooh anak seusia abg sudah ingin berhijrah. 

                                                            Membacakan Jadwal Esok Hari 
                                                            Selesai membaca Al Mulk
Disusul oleh Dea yang tegar di lapangan Bulu Tangkis dan mandiri ke luar kota naik pesawat, nyatanya terharu berpisah dengan ayah yang tegas namun lembut hatinya sehingga akhir perjumpaan dengan pelukan sang ayah dengan derai air mata keduanya. Setelah keempatnya memasuki asrama menyusul Ahla dari Kuningan bersama Ibunya. Ahla pendiam yang ternyata sudah mondok sejak kelas 1 SD, sehingga kini sudah hafal 11 Juz....masyaalloh. Fira yang jago LKTI tentang mengukur tingkat tua nya kelapa datang langsung ibu dan ayahnya menuju ke MHP. 

Pengecekan barang bawaan dan dokumen penting dilakukan oleh Ustdh Aulia, U Putri dan U Nunik. Alhamdulillah para ortu menuruti peraturan yang ada sehingga tidak terlalu banyak barang bawaan yang dikembalikan karena kelebihan. Siswi dan ibunya langsung menuju asrama untuk melihat situasi dan kelengkapan Asrama bahkan bisa berfoto di dalam Asrama. Kami solat dhuhur berjamaah dan selanjutnya prosesi dan pengambilan gambar saat pelepasan yang mengharukan maklumlah 5 siswa kami baru pertama kali mondok. Ahla saja yang sudah mondok sejak kelas 1 SD. 

Mendengarkan keinginan dan cita-cita ortu, anak terjaga dari pergaulan di medsos, film korea dan memperdalam agama yang akan menjaga dunia akhirot anaknnya. Harta banyak akan habis jika tidak berilmu. Ilmu akan menjaga pemiliknya. 

Saat ortu mendengarkan sosialisasi dan parenting dari pimpinan SMA anak-anak bersama ustdh-ustdh untuk perkenalan dilanjutkan dengan solat dhuhur berjamaah.

Haru melihat pelepasan anak kelas 10 putra dan putri. Siswa putra Setelah memberikan Kue dan minuman untuk ayah ibunya, mereka berpelukan dan mencium takzim ortunya....meleleh air mataku teringat Hasna. Anak kelima yang baru setahun merasa jadi anak ragil, harus mondok paling kecil diantara 4 saudaranya. Ortunya melepaskan sampai tak terlihat bayangan anaknya, barulah sosialisasi dimulai jam 10.00 sampai jam 11.50.

Lanjut dengan perkenalanku bersama mereka ber 6....terharu aku karena mereka ternyata sudah masuk dalam mimpi saya sebelum SK turun. Kuceritakan identitas diri dan keluargaku sehingga mereka mengenalku dengan sedikit karakterku mungkin yang tidak banyak bicara dan cerita, tidak suka banyak aturan. Hanya Ting...setelah teringat sesuatu langsung cus bicara.  

Lanjut dengan solat asar dan membaca dzikir selesai solat seperti di smp Al Hikmah yang sudah menancap dalam ingatanku setelah 19 tahun selalu kuucapkan. Kuajari 14x ya Wahab yang fadilahnya membuat kita kaya. Kaya dalam arti luas, kaya hati, kaya ekonomi, kaya ide, kaya kesehatan dan banyak hal kaya yang lainnya. Mereka aku gilir untuk menjadi imam solat. Dhuhur bersama Ahla, Asar bersama Dea dan magrib bersama Cantika. Alhamdulillah mereka berani walaupun ada kurang sempurna dalam membaca surat pendek. Aku menyadari pasti ada beban dalam pikiran mereka kalau jadi imam akupun seusia mereka juga mengalami hal yang sama, mereka mengiyakan. Namun aku kuatkan untuk tetap berani, alhamdulillah mereka nurut, walau ada salah tapi percaya diri. 

Setelah solat Isya kami evaluasi dan pengecekan kesiapan tidur dengan mengingatkan minum vitamin, peninggi badan, gosok gigi dan membaca al Mulk. Namun namanya ABG tidurnya biasanya malam lebih dari jam 22. Walau lampu sudah dimatikan masih aja banyak drama ceria mereka lakukan. Wah malah aku yang gak bisa tidur sampai jam 23.30 dengan berbagai cara aku berusaha tidur gak bisa hingga akhirnya memutar yutube solawat hingga jam 03.30 bangun untuk membangunkan murid. 

Alhamdulillah bangunnya lumayan mudah dengan kusentuh tangan dinginku mereka bangun. Kami solat tahajud awal kita ringankan dengan 2x salam dan 3 rokaat witir. 


Minggu, 17 Juli 2022

Suamiku Jadul 30 (setia pada janji)


 Suamiku_Jadul...

Part 30.

👇Sebagai anak yang lahir dan besar di desa, hidupku tak jauh dari lumpur, rumput dan lembu. Kebetulan desa kami adalah desa peternak lembu dan kerbau. Sejak umur sepuluh tahun aku sudah biasa menggembala ternak. Waktu itu menggembala ternak milik orang. Gajinya waktu itu seratus rupiah per sapi perhari. Sepulang sekolah langsung keluarkan sapi dari kandang, membawanya ke padang rumput yang luas di daerah kami. 

Kehidupan kami berubah setelah ada puskesmas di desa, dokternya dari kota, kebetulan pula bangun rumah tepat di depan rumah kami. Anak Pak dokter ini ada yang sebayaku, Rara namanya. Dia baik, sering kasih aku makanan dari kota. 

Selepas tamat SD, aku dimasukkan ke pesantren yang jauh dari desa, pulang hanya dua Minggu sekali. Sehingga jarang bertemu Rara. Jika pulang, kami akan bertemu, beramai-ramai nonton VCD di rumah Rara, di desa kami hanya Rara yang punya VCD. Rara suka sekali film India, apalagi yang pemerannya Sanjay Dut. Jika kami bermain, sering Rara menyuruh aku berperan sebagai Sanjay Dut. 

Lima tahun di pesantren, prahara melanda keluargaku, ibu tercinta sakit keras sampai akhirnya meninggal dunia. Ayah seperti kehilangan semangat, bahkan pernah sampai lupa mengirim belanjaku di pesantren. Aku terpaksa putus sekolah, padahal dua tahun lagi tamat. Pesantren Mustafawiah Purba Baru memang tujuh tahun baru tamat. 

Setelah putus sekolah, aku seperti kehilangan semangat, Ibu sudah tak ada, sekolah pun putus, dua abangku pergi merantau, tinggal aku dan Pardamean-adik bungsuku.

Suatu hari Pak Dokter mengajakku ikut dengannya, katanya cari lahan untuk ditanami sawit, karena waktu itu memang di daerah kami lagi musim membuka kebun sawit. Tentu saja aku mau dan senang sekali, karena Rara juga ikut, kami melakukan perjalanan dari Padang Lawas utara menuju Mandailing Natal, perjalanan darat yang cukup jauh, memakan waktu delapan jam naik mobil. 

Singgah sebentar di kota Padang Sidempuan baru melanjutkan perjalanan menuju Mandailing. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mobil Rocky Pak dokter mogok, sementara berada jauh dari desa terdekat, kiri kanan jalan masih hutan belantara. 

"Parlin, bisa kau dipercaya, jaga dulu Rara di sini, aku mau ke desa cari mortir," kata Pak Dokter. 

"Bisa, Pak, bisa," kataku kemudian. 

Berdua dalam mobil bersama gadis cantik di tengah hutan. Ah, dokter ini terlalu percaya padaku, aku harus menjaga amanah ini. Aku hanya diam saja, sementara Rara asik mendengar lagu India. 

"Ngerti kau rupanya bahasa India, Rara," tanyaku memecah keheningan. 

"Gak," jawabnya singkat, dia keraskan volume musik dari TV recorder yang dia bawa. 

Tiba-tiba dua motor RX King berhenti di belakang mobil. Rara mematikan musik, jalanan sepi. Empat orang turun dari motor tersebut, salah satu di antara mereka ketok kaca mobil. Kubuka, dan ... 

"Ada apa, Bang?" tanyaku pakai bahasa Batak Angkola. 

Orang tersebut malah mengeluarkan parang panjang, dan menempelkan ke leherku, tentu saja aku tak bisa berkutik. Kemudian satu orang lagi membuka pintu, dua orang stan by di atas motor. 

"Serahkan semua uang kalian," kata pria tersebut. 

"Gak ada uangku, Bang," jawabku. Memang di kantongku tak ada uang. 

"Hei, jangan banyak bacot kau, katanya seraya meraba-raba kantongku, sementara Rara sudah pucat pasi di jok belakang. 

Karena memang tak ada uang, mereka lalu beralih ke Rara, kalung emas di leher Rara mereka rampas, Rara menjerit. 

"Bang Pain, tolong aku, itu kalung ibuku," kata Rara. 

Entah kekuatan dari mana, segera kucari senjata, salah satu di antara mereka yang pegang parang lagi sibuk memmeriksa tas kami, ini kesempatanku, aku dapat kunci Inggris di bawah jok, langsung kuhantamkan ke kepala orang yang pegang parang, dia sempoyongan. Temannya yang di motor datang, aku langsung berlari menuju motor mereka, kutendang motor tersebut sampai masuk jurang. Seseorang menyerangku dengan pisau, sebetan pisau tersebut mengenai tanganku, darah pun mengucur deras. Untunglah bersamaan dengan itu datang Pak dokter bersama dua orang mortir. Para penjahat itu lari, motor dan seorang dari mereka tinggal. 

Pak dokter lalu mengobati tanganku yang luka, seorang mortir tersebut memanggil polisi. 

Sejak saat itu, aku dipercaya dokter sebagai penjaga Rara, aku juga senang, bersama Rara rasanya asyik, biarpun seharian putar musik India. 

Ketika lahan itu dapat, aku dipercaya dokter untuk menjaganya dan mengurusnya, katanya sistim bapak angkat. Setelah panen dibagi dua. 

Hubunganku dengan Rara makin akrab saja, sampai akhirnya ibu Rara menemukan buku diari Rara, isunya seputar hubungan kami berdua. Ibu Rara marah besar. Beliau tak sudi anaknya berhubungan dengan pemuda putus sekolah sepertiku. 

"Bang Pain, Ayah pindah tugas, kami akan pindah ke Bandung," kata Rara di suatu sore. 

"Lalu bagaimana denganku, Rara?"

"Buktikan pada Ibuku kalau Bang Pain bisa jadi orang, kami akan datang lagi nanti, setelah sawit itu panen," kata Rara. 

"Rara,"

"Tunggu aku, Bang Pain, kami memang harus pindah, aku mau kuliah di ITB,"

"Jangan tinggalkan aku, Rara,"

"Aku akan datang lagi, Bang Pain, itu pedet tolong urus, si Mona juga," kata Rara. Pedet adalah anak sapi jenis baru, sedangkan Mona adalah kucingnya yang berbulu lebat. 

"Rara, tak bisakah kau kuliah di sini saja," 

"Di mana? di sini gak ada kampus, udah, Bang, tunggu saja, satu permintaanku, jadilah Sanjay Dutku," kata Rara seraya memegang belakang rambutku yang sudah mulai panjang. 

Pak Dokter juga berpesan padaku. 

"Parlin, dari semua pemuda di desa ini, aku paling suka kau, kau pemberani, urus sawit itu, dua tahun lagi akan panen, tinggal di sana kau, ini untuk biaya dan sebagainya, jika panen nanti kami datang," kata Pak Dokter seraya memberikan sejumlah besar uang. 

Akhirnya mereka pergi, aku tak bisa melepas kepergiannya, ibunya Rara tak suka padaku. Kuintip dari celah dinding, Rara menatap rumah kami sebelum dia pergi. Anak sapi sudah terikat di depan rumah, kucing berbulu lebat sudah ada di kandang. Rambut gobel juga sudah mulai tumbuh. 

"Akan kutunggu kau, Rara, akan kujaga amanahmu," batinku seraya menitikkan air mata. 

Berbekal uang pemberian Pak Dokter, kusewa truk membawa sapi dan kucing, aku akan tinggal di kebun, menunggu Rara datang. Kuurus sapi tersebut dengan baik, kucing juga kupelihara, ketika melihat sapi itu, bayangan Rara selalu terbayang. Kupelihara rambut gobel, aku akan jadi Sanjay Dut untuk Rara.

Semenjak saat itu, jaman seperti berhenti untukmu, ketika rambut orang mengikuti model, aku tetap setia dengan rambut gobel, berharap suatu hari kelak bertemu Rara lagi. 

Satu tahun kemudian, Pak dokter datang langsung ke kebun, akan tetapi aku sedih, Rara tidak ikut. Sampai akhirnya sawit panen, Rara tidak juga datang, yang datang selalu Pak dokter. 

"Parlin, kami sudah jual semua rumah di desa, kami akan menetap di Jawa," kata Pak dokter di suatu hari, saat itu beliau datang lagi. 

"Terus sawit ini, Pak,"

"Ini semua untukmu saja,"

"Tapi, Pak,"

"Kau sudah bertaruh nyawa menyelamatkan Rara, ini belum sebanding, akan tetapi bila kau hendak membayar juga, kasihkan pada orang yang betul-betul membutuhkan, anggap saja zakat, harta bersih, orang terbantu," kata Pak Dokter lagi. 

"Bagaimana kabar Rara, Pak?" kuberanikan bertanya juga. 

"Dia baik saja, Rara titip salam untukmu," kata Pak dokter. 

Ya, Allah, dapat titip salam saja aku sudah merasa bahagia sekali, kupegang rambut gobel ku, akan kujaga ini sampai bertemu dengannya. 

Sawit mulai panen, karyawan pun mulai ditambah. Karena memang terbiasa hidup dengan sapi, ketika panen sawit, kubelikan sapi, akhirnya itulah kegiatanku di kebun ini bertani sawit dan beternak sapi. 

Lima tahun berlalu, Rara belum juga datang, mau menghubungi aku tak tahu bagaimana caranya, katanya dulu setelah lima tahun dia akan datang, karena kuliahnya akan selesai. Sementara itu sapi pemberiannya sudah besar, kururus dia dengan hati. Kuberikan makanan terbaik.

Aku sedih sekali ketika Mona--kucing berbulu lebat itu mati. Aku harus memberitahu Rara. Ketika selesai menjual sapi, aku ke kota terdekat. Panyabungan nama kota itu kulihat orang sudah mulai berubah. Sudah ada beberapa yang punya telepon genggam. Tiba-tiba timbul niatku beli juga, siapa tahu bisa menghubungi Rara. 

"Mana yang paling bagus di sini?" tanyaku pada penjual HP di Pasar Panyabungan. 

"Oh, ini, Pak, Nokia 1100, bisa poliponik," jawabnya. 

"Bisa gak menelepon sampai ke Jawa?"

"Bisa, bisa," 

"Berapa?".

"Tujuh ratus lima puluh ribu," 

"Oh, bungkus," kataku dengan yakin, uang satu kresek ada di tangan. Apalah kalau cuma tujuh ratus lima puluh ribu. 

"Sekalian kartunya, Pak?" 

"Iya, sekalianlah?"

"Kartu apa, Pak?"

"Yang paling baguslah, yang bisa menelepon sampai ke pulau jawa,"

"Oh, baik, tinggal di mana, Pak, karena operator seluler belum sampai sinyalnya ke beberapa tempat."

"Maksudnya?"

"Begini, Pak, lain daerah lain sinyal yang dapat, di sini misalnya Indosat, di sana tidak dapat Indo""t, musti Telk""sel," 

"Oh, daerah Singkuang masuk ke dalam lagi, perkebunan sawit itu,"

"Oh, maaf, Pak, daerah itu belum ada sinyal,"

"Ya, udah, sekalian buatkan sinyalnya ke sana, berapa?"

Wanita di depanku tampak melongo, kemudian dia tertawa ngakak. Apakah karena penampilanku, atau dia tak yakin aku bisa bayar. Kuambil tas kresek kutunjukkan padanya isi tas tersebut. 

Sambil tertawa dia berusaha menjelaskan padaku, susah payah aku mencerna penjelasannya, akan tetapi aku tak mengerti juga. Akhirnya aku pulang, HP jadi dibeli, akan tetapi tak jadi dipakai.

"Rara, datanglah, Si Mona mati, si Pedet sudah tak pedet lagi, dia sekarang si Nunung. rambutku sudah mirip Sanjay Dut," batinku seraya memegang kepala bagian belakang.


#Bersambung ke 31...

Jumat, 08 Juli 2022

New situation

Bersungguh sungguh


Terlalu banyak yg harus kita hadapi di hari² mendatang. Ekonomi yg kian sulit, lapangan kerja yg sempit, pertarungan politik yg runyam, rasa aman yg hilang, tapi di tengah semua kegaulauan itu kita tak bisa diam dan jangan diam.

Semangat menempa diri itu harus terus ada, membekali diri dan menyiapkan diri menghadapi hari² yang berat harus ditingkatkan. Kesuksesan hanya mencatat kisah mereka yang mengejarnya dengan sepenuh hati, sungguh² dan tekun membekali diri dengan berharap ridho dan barokahNya Alloh Ta'ala.

Sebagaimana pesan sayyidina Abu Bakar r.a, dalam tarikh Thabari "Setiap kalian akan memasuki pagi dan petang dlm takaran usia yg tersembunyi dr pengetahuan kalian. Bila engkau bisa, tidak melewatkan setiap jenak usia itu dg amal kebaikan, maka lakukanlah!

Tetapi kalian tidak bisa melakukannya tanpa pertolongan Alloh Ta'ala.

Maka bergegaslah, menyusuri rentang rentang kesempatan yg diberikan jatah usia itu, sebelum ia datang memupus segala pekerjaan."

Suatu pesan yang sangat pas saat keberngkatan pertamaku di tugas ini. Keluar rumah dengan meluruskan niat karena Alloh, menurut para ulil amri diantara kita dengan berharap selalu pertolongan dan kemudahan dari Alloh. Keberangkatan ini seperti saat kita meninggal nanti, kondisikan rumah yang kita tinggali dalam keadaan bersih semaksimal yang kita bisa. Masih untung ini bukan sebuah perjalanan akhir sehingga ada serangsel leptop dan perlengkapannya masih bisa putar balik untuk mengambil lagi. Hikmahnya, persiapkan benar-benar dengan sungguh-sungguh sehingga tidak ada yang tertinggal dengan bekal yang cukup juga yaitu amalan kita. 

Sampai di tempat tujuan langsung ciuunn dan berakrab ria dengan warga dan peran baru. Sebagai satu-satu wanita di sini, harus mengorangkan sesepuh, tamu dan teman. Menyambut, menyapa dan mendampingi semuanya. seakan tak percaya aku sendirian dengan peran ini, menjadi dewasa, menjadi sesepuh, menjadi pemula, mendahului untuk berinisiatif, menjemput bola....masyaalloh semoga Alloh membimbingku....aamiin.

Bapak Syakib memberikan nasehat, Fokus di tempat ini, jangan membandingkan antara pimpinan yang satu dengan lainnya karena setiap orang punya gaya yang berbeda. Anggaplah santri sebagai anak sendiri yang datang pada ibunya sehingga memiliki ikatan emosional yang kuat dengan santri. 

Bismillah aku berangkat dari rumah, 

bismillah aku sepanjang jalan, 

bismillah aku memasuki lingkungan baru, 

bismillah aku melakukan aktivitas baru

bismillah aku mendirikan solat dhuha sebelum beraktivitas,

bismillah aku menemuiMu terlebih dahulu

hanya satu harapanku RIDHO-MU, jika sudah demikian Alloh pasti akan menolongku.

Aku hanya akan membersamai 5 anakku yang sudah merelakan masa mudanya dengan Al Quran.

Tiada dalam pikiranku tentang dunia, gaji, fasilitas....hanya ingin lebih dekat denganMu

mengabdi lebih banyak untuk hidup yang manfaat....itulah tangisku malam itu

tangisku ketika jam 8 harus menjawab dan menentukan sebuah pilihan

setelah mendapat ijin suami aku mengetik jawaban dengan atas koreksi suami

Aku abaikan komentar orang yang negatif

Aku pura-pura tidak mendengar apa kata orang yang mengedownkan aku

Bahkan aku tak ingin bertanya apa komentar mereka. 

Ibarat kata sudah keluar, maka tidak bisa ditarik lagi

Kaki sudah melangkah maju akan tidak pantas jika harus kembali mundur

jangan-jangan malah berbahaya jika kita mundur.

Mas Ipul selalu menyemangati dan memberiku jalan keluar jika aku sudah suntuk untuk memahami hal baru, tugas baru yang harus aku lakukan. Saat seperti inilah aku merasa "ntar kalo aku di sana siapa tempatku minta bantuan Yank?"....Ntar kalo aku gabtek kliatan bodoh...sapa yang akan membantu dengan cepat Yank?

                                                                


 

 

Suamiku_Jadul... Part 24 (tegas jika orang salah)

 Suamiku_Jadul...

Part 24.

👇"Abang bohong lagi?" kataku di sela tawa. 

"Bohong di bagian mananya, Dek?"

"Ngapain Abang bilang kerja nyupiri istri juragan sawit?"

"Memang betul, Kok, untuk saat ini pekerjaan Abang memang hanya bawa-bawa istri juragan sawit, Abang kan gak bohong,"

"Abang memang bohong?"

"Ada juga memang bohong Abang tadi,"

"Yang mana, Bang,"

"Abang bilang bawa istri juragan cantik, padahal ... "

"Padahal apa, Bang?" 

"Padahal bukan cuma cantik, tapi cantikkk sekali,"

Kami sama-sama tertawa, kuelus perut yang sudah masuk delapan bulan, sebulan lagi aku akan melahirkan. Deg-degan juga menunggu, karena kata orang hamil di atas umur tiga puluh tahun itu sangat beresiko. Saat ini umurku sudah tiga puluh tiga. Aku lalu teringat perlengkapan bayi yang belum dibeli. 

"Bang supir, antar dulu nyonya beli perlengkapan bayi," kataku pada suami. 

"Siaaap, Bos," jawab suami seraya bergaya menghormat. 

Suami lalu membukakan pintu mobil, mempersilahkan aku naik dengan cara menjulurkan tangannya sebelah. 

"Hati-hati jalannya, Bang Supir," candaku lagi. 

"Baik, Nyonya," jawab suami. 

Sesampainya di toko penjualan perlengkapan bayi, Bang Parlin tetap melanjutkan candaannya, dia bergaya bak supir pribadi, membuka pintu mobil untukku, bahkan pintu kaca toko tersebut pun dia buka. 

Seseorang lalu menghampiriku dan bertanya mau cari apa. Akupun memilih apa yang ingin kubeli. Ketika aku memilih-milih, suami masuk ke toko. Dia masih melanjutkan candaan, keterlaluan memang. 

'Yang ini barangkali cocok, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk ayunan elektrik. 

"Gak mau yang begitu, Bang supir, aku mau yang biasa saja,"

"Mungkin ini juga cocok, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk botol minum susu bayi. 

"Bayiku nanti minum susu ibu, bukan susu formula," kataku lagi. 

Tiba-tiba pegawai toko itu mengusir Bang Parlin. 

"Bang Supir, sebaiknya tunggu di luar saja, tahu apa pula supir urusan bayi," kata pegawai toko itu. 

Aku tertawa, akan tetapi Bang Parlin tak tertawa, dia justru melanjutkan candaan sandiwaranya. 

"Aku memang supir, tapi tahu betul urusan bayi, apalagi itu bayiku," kata Bang Parlin. 

Pegawai itu menatap heran, mungkin di pikirannya kami ini pasangan sopir dan majikan yang selingkuh. Mengingat penampilan suami yang memang mirip sopir, ditambah lagi aku memanggil Bang Parlin dengan panggilan "Bang Sopir"

"Udah, Bang, tunggu di luar aja," kataku akhirnya. Bang Parlin menurut, dia akhirnya keluar dan kulanjutkan aktivitasku memilih perlengkapan bayi. 

"Sopir kok gitu, ya, urusan majikan pun mau dia urus," kata pegawai toko tersebut. Hanya kubalas dengan senyuman, malas juga untuk menerangkan. 

Ketika semua sudah selesai, kupanggil suami untuk bantu angkat, suami malah masih melanjutkan candaan, dia memang seperti itu, dianggap orang sopir, dia akan berperan sebagai sopir. 

"Ini saja, Nyonya," kata Bang Parlin seraya menunjuk barang belanjaannya. 

"Iya, Bang," 

"Kau punya kelambu ini," kata Bang Parlin seraya mengelus perutku yang sudah besar. 

Kulihat pegawai toko itu, dia bisik-bisik dengan temannya. Kami keluar, ketika aku melihat ke belakang, dua pegawai masih menatap kami. Mungkin kami akan jadi bahan gosip mereka.

Ketika kami sampai di rumah, ada Ria, adikku yang perempuan. 

"Datang gak bilang-bilang, Ria," kataku seraya menerima uluran salamnya. 

"Aku gak ada pulsa untuk menelepon, Kak," kata Ria. 

"Jangan pura-pura miskin, tar benaran miskin," candaku kemudian. 

"Silakan masuk," kata Bang Parlin seraya mengangkat barang belanjaan kami. 

Ria duduk di sofa, aku segera ke dapur ambil minum. 

"Ada apa Ria, wajahmu kok sedih kali nampak," 

Akhirnya tangis Ria pecah, dia belum bilang apa yang terjadi, tapi tangisnya sudah duluan menggambarkan kesedihannya. 

"Ada apa, Ria, cerita dong?"

"Ayahnya Rio, kak, dia dipecat, huhuhuhuhu," kata Ria, Rio adalah anak semata wayang mereka. 

"Baru dipecat kok seperti itu?" suami ikut bicara. 

"Sudah dua bulan dia dipecat, Bang Parlin, bagian kami warisan itu mau dia pakai buka usaha, kan udah kubelikan pertapakan perumahan,dia suruh jual, tapi usaha apa? Aku takut, kata orang, uang warisan dibuat modal akan habis," kata Ria. 

Kulihat Bang Parlin, minta dia yang bicara, karena kutahu Bang Parlin selalu punya solusi. Ria adalah saudaraku yang paling dekat denganku, ketika dia dulu menikah melangkahi aku, dia sampai nangis seharian, katanya gak tega dia duluan menikah. 

"Dia mau usaha apa?" tanya Bang Parlin. 

"Itulah yang gak kutahu, bayar kontrakan rumah pun sudah nunggak dua bulan, aku bingung mau bagaimana lagi," kata Ria. 

Bang Parlin lalu memanggilku ke dapur untuk bicara berdua. 

"Dek, kita bayar zakat untuk Ria saja," kata Bang Parlin. 

"Tapi belum waktunya bayar zakat, Bang, masih tiga bulan lagi." kataku. 

"Iya, bayar zakat lebih dulu kan gak apa-apa," kata suami. 

"Apa mereka sudah pantas menerima zakat, Bang?" tanyaku lagi. 

"Sudah, itu sudah termasuk miskin, orang miskin berhak menerima zakat,"

"Nanti saudaraku yang lain iri, Bang, mereka semua nanti minta juga, bagaimana?"

"Ya, gak usah bilang-bilang," 

Kami kembali ke ruang tengah, Ria masih duduk menunggu, matanya masih basah. 

"Begini saja, nanti malam ajak suamimu ke mari, kita bicara di sini," kata Bang Parlin. 

Ria pulang, sebelum pulang, Bang Parlin memberikan uang pada Rio anak adikku tersebut. Ria tampak senang sekali, senyumnya merekah melihat uang Merah tersebut.

Malam harinya, suami Ria datang bersama Ria dan anak mereka Rio yang masih empat tahun. Selama ini suami Ria bekerja di perusahaan retail, di bagian gudang. 

"Mau usaha apa rupanya?" tanya Bang Parlin. 

"Belum tau, Bang," 

"Cari modal, tapi gak tau usaha apa?"

"Aku juga bingung, Bang, sudah sembilan tahun aku kerja di situ, tiba-tiba disuruh mengundurkan diri, alasannya peremajaan," kata suami Ria. 

Oh, aku baru paham, ternyata ini alasannya kenapa pekerja di indo dan Alfa tak ada yang tua. 

"Jaga kebun sawit, mau?"

"Mau, Bang, tapi kan modalnya besar,"

"Begini, kami ada lahan baru, pernah kami buat peternakan lembu di situ, tapi yang jaga justru melarikan diri setelah menjual lembu tersebut. Jadi, kalau kalian mau, kalian di situ saja, kami gaji sesuai UMR, terus dikasih ternak lembu untuk kalian urus," kata suami. 

"Mau, Bang, mau," kata suami Ria. 

Bang Parlin lalu menulis surat, lalu memberikan ke suami Ria, pergilah ke desa, temui Ayahku, ini alamatnya, berikan surat ini, nanti beliau akan mengurus semuanya. 

"Iya, Bang, kami akan pergi besok, karena kontrakan kami kebetulan sudah habis." kata suami Ria. 

Suami lalu memberikan uang tiga puluh juta. Ria tampak heran. 

"Saya serahkan zakat harta saya, untuk kalian, semoga bisa dimanfaatkan," kata Bang Parlin seraya mennylami suami Ria. 

Ria kembali menangis, aku yakin kali ini bukan tangis sedih lagi, akan tetapi tangis bahagia. Mereka pulang setelah lebih dulu berkali-kali berterima kasih. 

"Mana tau suatu hari nanti kalian sukses, bayar juga zakat kalian seperti ini, cari orang yang benar-benar butuh," kataku kemudian, aku takut suami lupa berpesan tentang kebaikan berantai itu. 

"Bang, kalau mereka larikan uang kita lagi, aku gak tanggungjawab ya," kataku pada suami. 

"Iyaa, Dek, lagian mana pernah abang minta adek tanggung jawab," 

Dua hari kemudian, dua adik laki-lakiku datang, mereka datang sambil bawa oleh-oleh gorengan. 

"Bang Parlin memang baik, sama saudara tidak pernah perhitungan," kata adikku yang bungsu. 

"Bang, kami juga minta modal lah, kek sama Ria itu," sambung adikku yang nomor dua dari bawah. Duh, aku sungguh lupa berpesan pada Ria supaya tak bilang ke orang lain. 

"Untuk apa?" kata Bang Parlin. 

"Aku mau beli mobil, Bang,"

"Aku mau beli motor KLX, Bang," kata adikku yang lain. 

"Apa kalian merasa sudah jadi orang yang berhak menerima zakat?" tanya Bang Parlin. 

"Bisa, Bang,"

"Bisa apanya?"

"Kami bisa pura-pura jadi orang yang berhak menerima zakat," 

"Hei, kita itu sesuai keinginan kita, kalau mental kalian seperti itu, ya, begitu selamanya, selamanya jadi penjilat," kata suami. 

Muka adikku tampak merah. "Kok abang gitu, bilang kami penjilat?" katanya. 

"Ini untuk apa gorengan?" 

"Ya, untuk abang,"

"Tumben bawa gorengan?"

"Karena... "

"Karena kalian mau minta uang, inilah yang namanya menjilat, semoga kalian bisa sadar," kata suami. 

Mereka akhirnya pulang, jelas terlihat kekecewaan di wajah mereka. Aku merasa tak enak juga melihat saudaraku itu. Bang Parlin bisa sangat dermawan, akan tetapi bisa juga sangat perhitungan. 

"Padahal mereka lumayan, dua-duanya kerja, tapi mental penjilat," kata Bang Parlin setelah kedua saudaraku pergi. 

Ada juga rasa sakit hatiku, ketika Bang Parlin memperlakukan saudaraku seperti itu, akan tetapi benar juga, mungkin dengan begini mereka bisa sadar. 

Tiba bulannya aku melahirkan, suami benar-benar jadi suami siaga. Perlengkapan ke rumah sakit disediakan di mobil. Subuh itu kami jalan-jalan di seputaran komplek, karena kata dokter jalan di pagi hari bisa memudahkan persalinan. 

"Dek, Abang deg-degan mau ke rumah sakit ini," kata suami. 

"Lo, yang mau lahiran itu aku, Bang, kok Abang yang deg-degan. 

"Abang belum pernah ke rumah sakit,".

"Mana mungkin?"

"Iya, betul, Dek, seumur hidup belum pernah ke rumah sakit,"

"Wah, emang Abang gak pernah sakit atau antar saudara sakit?"

"Belum, Dek, ada tiga hal yang kuhindari berurusan dengannya,"

"Apa saja,"

"Rumah sakit, kantor polisi dan rumah dukun,"

"Hahaha," aku tertawa ngakak, ternyata suamiku ini memang benar-benar unik. 

Tiba-tiba perutku rasanya sakit, entah karena terlalu ngakak yang tertawa itu aku tak tahu. Kurasa ini, sudah waktunya. 

"Bang, sudah saatnya, Bang," kataku seraya memegang perut. 

Suami gerak cepat, dia justru berlari meninggalkanku, beberapa detik kemudian kembali lagi, lalu berteriak memanggil beca yang kebetulan lewat. 

"Kita kan punya mobil, Bang," kataku setelah naik ke becak. 

"Duh, Abang lupa, bentar kuambil," kata suami seraya menyuruh becak berhenti, baru turun berlari, lalu kembali lagi. Aku tersenyum melihat suami yang tampak panik. 

"Udah, kita naik becak saja," katanya. Padahal bisa saja dia suruh becak memutar pulang. 

"Ketika sampai di rumah sakit, langsung ke ruangan bersalin,"

Baru kali ini kulihat suami sepanik ini. Suami ngotot tak mau keluar dari ruangan ketika perawat menyuruh menunggu di luar.


#Bersambung ke-25 ...

                                                    

                               Saat Emak sering sakit aku sering naik sepur, mas Ipul jaga anak2

Kamis, 07 Juli 2022

Suamiku_Jadul... Part 28. (mendirikan sekolah gratis)

 Suamiku_Jadul...

Part 28.

👇Selama di desa, aku benar-benar jadi beban, kini kakiku sudah terkilir, sakit dibawa jalan. Akan tetapi Bang Parlin tetap setia mengurus bayi kami. Di sini aku diperlakukan bagaikan ratu, tak boleh masak. Terakhir aku baru tahu, aku tak boleh masak karena masakanku tak pernah cocok di lidah mereka. 

Ayah mertua ternyata jauh lebih jadul dari Bang Parlin. Mungkin jadul ini adalah keturunan. Aku sangat terkejut melihat Ayah mertua gosok gigi pakai pasir. Saat itu kami lagi makan bersama di pinggir sungai. Pasir dan air dimasukkan ke mulut, baru digosok pakai jari telunjuk. Gigi memang putih, akan tetapi tak berbahayakah itu? Bagaimana kalau pasir tertelan? 

"Ini sikat gigi, Mang Boru," kataku kemudian. 

"Ayah gak pernah pakai sikat gigi," kata Bang Parlin. 

"Haaa?"

"Iya, ayahku orang jadul level akut, Ayah bahkan tak pernah pakai sabun jika mandi." kata Bang Parlin lagi. 

"Jadi pakai apa?" 

"Pakai batu,"

Ya, Allah, di jaman serba canggih begini masih ada orang yang tak pernah pakai sabun? Akan tetapi Ayah mertua terlihat bersih, tak juga berbau, hanya bau tembakau. 

Makan di pinggir sungai ternyata sangat nikmat, lebih nikmat dari pada makan di restoran mewah. Lauk semua dicari sendiri, untuk ikan, suami dan beberapa orang pergi menjala, untuk sayur, ibu-ibu ambil sendiri. Di sini berkebun sayur susah, musti dipagar tinggi, karena banyak lembu berkeliaran. 

Selama tiga bulan di desa, aku benar-benar bisa terlepas dari HP, biasanya satu jam saja tak lihat alat komunilasi itu, serasa ada yang kurang, kini sudah tiga bulan. 

Sekolah SD itu sudah selesai dibangun, mulai menerima murid, semuanya gratis. Bang Nyatan dan Bang Parta serta kami mensubsidi sekolah tersebut. Lagi-lagi aku yang dipercaya sebagai bendahara. Bang Parta dan Bang Nyatan rutin mengirim ke rekeningku tiap bulan.

"Udah puas kau, Dek," tanya suami di suatu pagi. 

"Puas apanya, Bang?"

"Puas di kebun ini, kapan kita pulang?"

"Entahlah, Bang, di sini adem," 

"Adek kini ada kegiatan, jadi menteri keuangan yayasan, tahun depan, sekolah TK akan dibangun, di daerah ini belum ada TK," kata suami. 

'Iya, Bang," 

"Ayah suruh kita pulang, katanya kasihan parumaen," kata Bang Parlin lagi.

"Siapa parumaen?"

"Ya, Adeklah,"

"Tapi biasa dipanggilnya Ayah, maen,"

"Ya, sama saja,"

Bang Parlin memberikan kebebasan untukku mau tinggal di mana, mau di Medan, mau di desa, atau di kebun, semua terserah aku, Bang Parlin katanya nurut saja. Kadang aku merasa terlalu mengatur suami. Aku mau berlama-lama di sini karena takut suami makin tergantung HP, egoisnya aku, padahal Bang Parlin mau tinggal di kota untuk menikmati hidup. 

Akhirnya kami pulang ke Medan, jabatanku sebagai bendahara mungkin bisa kukerjakan dari kota. Tugasku hanya menerima dan menyalurkan dana, menggaji guru yang baru tiga orang. 

Sesampainya di Medan, kami dikejutkan dengan keadaan rumah yang acak-acakan, kasur terbalik, isi lemari keluar semua. Rumah kami ternyata kemalingan. Barang-barang berharga banyak yang hilang. 

Yang aneh tak ada pintu rusak, jendela juga masih utuh. 

"Kita lapor polisi, Bang," kataku kemudian. 

"Gak usah, Dek," jawab suami. 

Aku baru inget, kantor polisi salah satu tempat yang dihindari Bang Parlin. Akan tetapi apakah kami harus pasrah saja rumah kami kemalingan. 

"Ulos si Ucok hilang, Dek," kata suami. 

Dari sekian banyak barang hilang, dia justru sedih Ulos Batak itu hilang. 

"Dek, ulos itu sudah berumur enam puluh tahun lebih, Abang sedih, Dek," kata suami. 

"Makanya kita lapor polisi?" kataku kemudian. 

"Duh, bagaimana ya, Dek?"

"Ayo, Bang, kita lapor polisi," 

"Udah, Dek, gak usah, kita pakai cara tradisional saja, ini sudah darurat kan?"

Ah, suamiku ini bicara aneh, cara tradisional apaan? Darurat apaan? Di saat seperti ini dia masih bisa tenang. Bang Parlin memang seperti itu, kehilangan uang tiga ratus juta pun dia tetap tenang. Akan tetapi yang membuat aku makin cinta, dia bisa panik bila sesuatu terjadi padaku.

"Cara tradisional bagaimana, Bang? Terus darurat apaan?" tanyaku seraya memberikan si Ucok padanya dan mulai berberes rumah. 

"Begini, Dek, dulu waktu Abang di pesantren pernah diajari seorang kyai cara mengembalikan barang hilang, tapi harus darurat dulu, tak boleh dipakai untuk cari uang." suami menjelaskan. 

"Ya, cocok itu, Bang," kataku seraya menyusun baju yang berserak. 

"Tapi Dek, pencurinya akan sakit,"

"Peduli amat sama pencuri,"

"Baik, Dek,"

Entah bagaimana cara Bang Parlin melakukannya, bagaimana bisa barang yang hilang bisa kembali? Sebenarnya aku kurang percaya, akan tetapi kuiyakann saja, siapa juga yang tidak mau barangnya kembali.

Seharian aku beberes rumah, istirahat hanya untuk memberikan ASI untuk anakku. Bang Parlin justru seharian jaga anak, dia menggendong seraya menyanyi, nyanyiannya selalu aneh terdengar olehku, Ya, memang suami jadul, sama selera musiknya juga jadul. 

Malam harinya, aku istirahat, badan rasanya mau remuk yang seharian berberes rumah yang berantakan. 

"Bang, nyanyikanlah ungut-ungut, Bang," pintaku pada suami. Ya, selama di desa lagu ini seperti pengantar tidur untukku, selain Bang Parlin, Ayah mertua juga suka menyanyikannya. 

"Sini kuurut, Dek, mungkin adek capek," kata Bang Parlin seraya memegangi tengkukku. 

Seraya bernyanyi kecil, suami urut punggungku, nikmat rasanya. Si Ucok pun sudah tertidur, kunikmati tidur seraya diurut, dinyanyikan lagu ungut-ungut. Alangkah nikmat nya hidup ini. 

Akan tetapi, apa ini? urutan suaminya justru makin ke bawah, entah mana yang pegal mana yang diurut, sejurus kemudian, dasterku sudah tersingkap, lah nasib, alamat badan tambah pegal ini. 

Ponselku bunyi, terpaksa aktivitas urut yang membuat aku terpaksa menurut ini terhenti, kulihat layar HP, ternyata adik bungsuku yang menelepon. 

"Halo, Kak, ini aku Mira, Abang sakit," katanya dari seberang. Mira adalah istri dari adik bungsuku. 

"Sakit apa, Mira?"

"Perutnya tiba-tiba sakit, badannya demam, dia ngigau sebut nama kakak," katanya lagi. 

Duh, ada apa dengan adikku itu, seketika hilang gairah yang sedari tadi sudah di ubun-ubun, kumatikan sambungan telepon dan segera kuberitahu pada suami. 

"Innalillah," kata suami. 

"Abang bagaimana, sih? kok innalillahi, adikku sakit, bukan meninggal,"

"Dia yang maling di rumah kita, Dek,"

"Kok Abang tahu?"


"Ya, begitu, yang mencuri akan berusaha menghubungi kita dan mengembalikan apa yang disebut curi," kata suami. 

"Jangan gitu, Bang, adikku memang bandel, tapi bukan pencuri, apalagi rumah kakaknya sendiri," kataku. Padahal dalam hati aku membenarkan perkataan suami. Kunci rumah ini memang ada duplikatnya sama adikku, karena dulu di sini dia tinggal, ini dulu rumah orang tua kami. Akan tetapi  coba kutepis, aku tak bisa terima adikku mencuri punya kakaknya sendiri. 

"Dek, Abang juga tak menyangka, tapi memang begitu, sudah tiga kali Abang praktikkan ini," kata suami lagi. 

Duh, adikku, mungkin dia sakit hati pada kami, akan tetapi hukuman begitu serasa tak pantas untuk adikku. Biar bagaimana pun dia adik kandungku. 

"Jadi bagaimana ini, Bang?"

"Iya, begitulah, dia harus kembalikan barang yang dia curi,"

Kuambil lagi HP, kutelepon adikku, "kembalikan yang kalian curi, sekarang juga," kataku kemudian. 

"Curi apa, Kak?" Mira kedengeran bingung, mungkinkah dia belum tahu perbuatan suaminya.


#Bersambung ke-29


                                                                

Acara mantennya Noval ketemu Bimo kakaknya Dinda Zoraya

Suamiku_Jadul... Part 27(Beli utk bantu)

 Suamiku_Jadul...

Part 27.


👇Menyesal juga aku mengajari Bang Parlin main medsos, setiap hari ada-ada saja yang baru ulahnya. Ulah orang yang memanfaatkan kelemahannya. Mulai dari pengumpulan donasi, zakat, sampai pedagang online. Hari ini aku terkejut dengan kedatangan paket. 

"Ini rumah Parlindungan Siregar?" tanya orang yang mengantar paket. 

"Iya, benar, ada paket apa ya?" 

"Ini, Bu, COD ya, Bu, empat ratus lima puluh ribu." Segera kupanggil suami yang sedang berada di belakang rumah. 

"Apa ini, Bang?" tanyaku seraya membayar paket tersebut. 

"Buka saja, Dek, itu hadiah untuk adek," kata suami. 

Kucoba baca tulisan di kemasan, ternyata isinya paket skincare. Duh... 

"Untuk apa Abang beli yang gini, aku sudah punya, itu banyak," kataku sedikit kesal. 

"Lo, bukannya berterima kasih," 

"Kuambil HP Bang Parlin, kulihat isi percakapan dia dengan pedagang online tersebut. Aku terharu, ternyata orang itu butuh bantuan, yang ini aku yakin sekali real, bukan modus, dia menolak ketika Bang Parlin menawarkan bantuan uang, dia justru hanya mau jualannya dibeli, akhirnya Bang Parlin membelinya. 

Ketika kuperiksa HP suami, ternyata dia banyak memesan, salah satunya alat pangkas satu set, bahkan ada mobil-mobilan truk untuk anakku. Padahal anakku masih belum empat puluh hari. 

"Bang, sepertinya Abang mulai melenceng dari prinsip hidup Abang sendiri, beli yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan ini untuk apa mobilan?" kataku protes. 

"Kita memang belum butuh, Dek, tapi penjualnya sangat butuh, lihat saja status Facebook-nya, sedih terus." kata suami. 

Ya, Allah, apakah suamiku akan berubah, bagaimana caraku supaya dia tak seperti orang kebanyakan yang ketergantungan HP, mengingat dia banyak waktu luang, sehingga HP akan jadi sasaran.

Ketika umur anakku sudah empat puluh hari, saatnya kami pulang kampung, akan ada acara mengayunkan anakku. Sekaligus penambalan nama gelar untuk anakku. 

"Bang, kita pulang sekalian pindah saja, Bang," kataku pada suami. Setelah kupikirkan, mungkin ini caranya biar Bang Parlindungan seperti dulu lagi, di kebun tak ada sinyal, biar saja berkutat dengan sapi dan sawit, dari pada suami lama-lama digondol pelakor. 

"Yakin, Dek?"

"Iya, Bang, yakin,"

"Alasannya?"

"Aku takut Abang makin terjerumus, Abang terlalu polos, Bang, Abang memang ahli soal kehidupan, tapi tidak di dunia maya," kataku. 

"Hmmm, Adek lebay,"

"Lebay?" Sungguh aku terkejut mendengar Bang Parlin bilang kata lebay, itu kamusku, dia tak pernah bilang seperti itu. Ini mungkin salah satu pengaruh medsos itu.

"Percayalah sama Abang, Dek, Abang pasti bisa menahan godaan, adek benar, medsos itu banyak godaannya, tapi di dunia nyata juga banyak godaannya, bukan cuma di medsos, sedangkan kita berkutat di kebun saja ada yang menggoda, tapi Abang kuat," kata suami.

Kami pulang, mobil kami bawa, supir pun disewa. Acara berjalan lancar, anakku dinamai Sutan Pinayungan Siregar. Saat acara berlangsung, aku lebih banyak diam, karena memang aku tak tahu mau bicara apa, hampir semua orang berbahasa Batak Angkola. 

Selepas acara, aku minta ikut ke kebun Bang Parlindungan, biar pun dia berusaha mencegah, akan tetapi aku ngotot ikut. Bang Parlin khawatir karena anak kami baru empat puluh lima hari akan tetapi entah kenapa aku tak ingin berpisah dengan Bang Parlin, dia ke kebun katanya mau jual sapi, karena sudah mendekati hari raya kurban. 

Akhirnya aku ikut juga, kenekatanku justru menyiksa suami, sepanjang perjalanan dia jadi yang mengurus bayi kami. 

Mendengar kami datang, kakak dan adikku Ria datang ke rumah, rumah terbuat dari kayu itu ada di tengah kebun sawit. Entah kenapa aku merasa damai di sini. Lepas dari HP, ada juga teman bercerita, kakak dan adikku setia menemaniku di sini. 

"Bagaimana di sini, Kak?" tanya Bang Parlin pada kakakku. Saat itu kami lagi duduk-duduk seraya menyaksikan sapi kami diangkut satu persatu. 

"Alhamdulillah, tenang, tapi, gitulah, maaf, Parlin, aku merasa tak berguna di sini," kata kakakku. 

Aku tahu maksudnya, kakakku adalah seorang sarjana pendidikan, mungkin ilmunya terasa percuma jika harus berkutat dengan kotoran sapi. 

"Gak berguna bagaimana, Kak?"

"Aku ingin kembali mengajar, tapi abangmu tak mau, dia seperti sudah kerasan tinggal di sini," kata kakakku lagi. 

"Ikut kata suami, Kak," kataku kemudian. 

"Iya, sih," 

"Aku ada ide, bagaimana kalau kita bangun sekolah di sini," kata Bang Parlin. 

"Cocok, kasihan anak karyawan, mau sekolah jauhnya minta ampun," tiba-tiba Ayah mertua ikut bicara. 

Ah, suamiku ini memang selalu punya solusi untuk setiap permasalahan, dia mau bangun sekolah di perkebunan. Memang kulihat anak-anak karyawan kebun jauh kali untuk sekolah. Tapi, bangun sekolah tentu tidak mudah, butuh biaya banyak dan tenaga besar. 

Bang Parta dihubungi, Bang Nyatan juga, mereka bersedia membantu dana. Suami Ria dipercaya untuk urus bangunan, rekeningku dipercaya menampung dana dari saudara lain. Kakakku dipercayai jadi ketua yayasan. Sedangkan abang ipar dipercaya mengurus perijinan. Kami semua punya proyek mendirikan sekolah SD swasta di perkebunan. Nama sekolahnya sudah disepakati diambil dari nama Ayah mertua akan dipakai. 

SD swasta Pardomuan, nama yang akan dipakai untuk sekolah itu. Aku salut dengan keluarga ini. Dana yang terkumpul sangat banyak, melebihi dari dana yang diperlukan. Rekeningku jadi gendut. Aku benar-benar jadi menteri keuangan. Jabatanku naik, kini aku jadi menteri keuangan untuk keluarga besar Pardomuan Siregar. 

"Bang, nyanyikan lagu kek waktu di pesta itu Bang," kataku pada suami. Saat itu kami berada di sebuah pondok, si Ucok lagi tidur di ayunan. Sementara sapi banyak berkeliaran, Bang Parlin menggembala sapi dan kerbau. Setelah sapi dijual saat idul adha, kini kami punya tiga ekor kerbau. Pedet langka, jadi kami pelihara kerbau. 

Bang Parlin lalu mengambil seruling dari ranselnya, mulai memainkan seruling tersebut. Damai rasanya. 

"Bang, kulihat di TV sapi dipakai orang untuk membajak sawah, narik pedati lagi, di sini kok inggak?" tanyaku pada suami ketika dia sudah selesai memainkan serulingnya. 

"Kasihan, Dek, di sini hanya untuk diambil dagingnya saja,".

"Bang, itu di TV ada anak gembala main seruling sambil nunggangi sapi," kataku lagi. 

"Gak ada itu, Dek, sapi akan lari bila ditunggangi, kecuali kerbau," 

"Ohh, itu ada kerbau kita, coba naik ke sana," kataku lagi. 

Eh, suami malah menurut saja, dia naik ke punggung kerbau, segera kuambil HP, dan mengabadikan momennya tersebut. Dia main seruling di atas kerbau tersebut. 

"Aku mau naik juga, Bang," kataku kemudian. 

"Jangan, Dek, bajumu merah itu, dia nanti marah," kata suami. 

"Mana pula binatang tau warna," kataku tak percaya. 

"Iya, betul, Dek, kerbau gak suka warna merah,"

"Ah, aku gak percaya, kataku seraya turun dari pondok, mendekati kerbau tersebut, dan melompat ke, atasnya. 

Akan tetapi benar kata Bang Parlin, kerbau itu ngamuk, dia meronta, sehingga aku terpental dan jatuh ke bumi. Sakit sekali, pinggangku sakit. Bersamaan dengan itu, bayiku yang sudah tiga bulan setengah juga nangis, aku juga meringis. 

Alhasil, Bang Parlin menggendong aku di belakang dan si Ucok di depan, sambil mengiring puluhan sapi, kami pulang. 

"Makanya, suami ngomong itu didengerin," Omel suami di sepanjang perjalanan. Aku hanya bisa meringis, pinggangku sungguh sakit. Merasa bersalah juga, akan tetapi digendong suami rasanya enak. 

"Aku hanya pura-pura, Bang, enak digendong Abang," kataku akhirnya. 

"Pura-pura, pura-pura, hei, Dek, di Dumay boleh Adek tau semua, tapi di sini, Abang ahlinya, jadi nurut aja napa?" kata suami. 

"Iya, Bang, iya, tapi di dumay Abang nurut adek ya, soalnya di dumay adek ahlinya," kataku seraya mengencangkan pegangan pada leher suami. 

Ya, begitulah memang, manusia itu punya keahlian masing-masing, mari kita bertanya dan menurut  ke ahlinya.


#Bersambung ke-28...


                                                                                


Selasa, 05 Juli 2022

IKHLAS

 IKHLAS


Siti Hajar protes, mengapa suaminya meninggalkan dia dan Ismail anaknya yang masih kecil di padang pasir yang tak bertuan. 

Seperti jamaknya dia hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberinya keturunan. 

Hajar mengejar Ibrahim, suaminya, dan berteriak ;

 "Mengapa engkau tega meninggalkan kami disini, bagaimana kami bisa bertahan hidup ?" 

Ibrahim terus melangkah meninggalkan keduanya, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh.  

Remuk redam perasaannya terjepit antara pengabdian dan pembiaran. 

Hajar masih terus mengejar sambil terus menggendong Ismail, 

Kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit, 

"Apakah ini Perintah Tuhanmu ?"

Kali ini Ibrahim, sang Khalilullah, berhenti melangkah............; 

Dunia seolah berhenti berputar, Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim.

Butir pasir seolah terpaku kaku, angin seolah berhenti mendesah, pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan Hajar membuat semuanya terkesiap.

Ibrahim membalik tegas, dan berkata "Iya!"..........; 

Hajar berhenti...... mengejar, dan dia terdiam, lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan semua Malaikat, butir pasir dan angin.

"Jikalau ini perintah Tuhanmu, pergilah, tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir. Allah akan menjaga kami."

Ibrahim pun beranjak pergi. dilema itu punah sudah.....

Ini sebuah Pengabdian, atas nama Perintah Allah, bukan pembiaran.

Peristiwa Hajar dan Ibrahim adalah Romantisme Keberkahan.

Itulah Ikhlas...

Ikhlas adalah wujud sebuah Keyakinan Mutlak, pada Sang Maha Mutlak.

Ikhlas adalah kepasrahan, bukan mengalah, apalagi menyerah kalah. 

"Ikhlas itu adalah ketika engkau sanggup berlari melawan dan mengejar, namun engkau memilih patuh dan tunduk".

Ikhlas adalah sebuah kekuatan menundukkan diri sendiri, dan semua yang engkau cintai.

Ikhlas adalah memilih jalan-Nya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain.

Ikhlas bukan lari dari kenyataan. Ikhlas bukan karena terpaksa. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan mengkalkulasi hasil akhir.

Ikhlas tak pernah berhitung,tak pernah pula menepuk dada.

Ikhlas itu tangga menuju-Nya, mendengar perintah-Nya, mentaati-Nya. Ikhlas adalah Ikhlas.

"Belum cukupkah engkau memahami apa itu ikhlas dari perginya Ibrahim dan diamnya Hajar?" 

Dan aku, kamu, serta kita... saatnya tertunduk pasrah dengan Ikhlas menuju ridha Allah agar mencapai surga sebagai tujuan.

"Semoga kita menjadi lebih baik dan bermanfaat, penuh keikhlasan hanya berharap ridha dan rahmat Allah"

Robbana Taqobbal Minna

Ya Allah terimalah dari kami (amalan kami), aamiin

بَارَكَ اللّٰه فِيْكُمْ

Masyaalloh sungguh membaca tulisan ini membuat aku menangis, walaupun berkali kali aku baca. 

Sangat melekat dalam benakku, saat kehamilan Hasna yang beneran aku shock berat, karena kembar masih kecil "apa kata orang melihat kondisiku ini". Bahkan ada yang berkomentar salah satu teman guruku "oooo begitu ya anak banyak itu selalu membuat tega, bar-bar dalam mengelola anak", saat melihat aku membonceng kembar di belakang dengan menalinya menggunakan selendang, hal itu karena perutku sudah ada isinya Hasna.

Nangislah aku selama 4 bulan pertama kehamilanku dan sampailah pada titik penemuan kesadaran dengan cerita di atas. Ya Alloh aku yakini Engkau Maha segalanya, Kau pasti akan menolong kami. Alhamdulillah 10 hari sebelum melahirkan Hasna kami sudah membeli mobil baru Xenia Li yang waktu itu diberi uang emakku 10 Juta untuk membayar uang muka. Emakku sungguh merasa kasihan sama anak wanitanya ini, "sudah saatnya kau punya mobil As" kata Emak....al Fatihah buat Emakku.

Kelahiran Hasna sudah menunjukkan tanda bercak merah namun selama 2 hari belum ada pembukaan sehingga aku pulang ke rumah. Menunggu mobil dikirim ke rumah. Alhamdulillah setelah mobil datang aku sempat mengajaknya silaturohim ke Ustdh Lilik yang melahirkan Thufail dan ke rumah ustdh Villia yang melahirkan Nanda.

Sungguh berkali-kali aku mengalami suatu ujian keyakinan pada Alloh. Alloh hanya butuh kita yakin. Saat mendapatkan hadiah LKIG, saat mendapatkan hadiah ke turky, saat mendapatkan hadiah umroh bersama emakku, kini menunggu pertolongan Alloh dalam tugas baruku di Batu.....Bismillah aku pindah dari zona nyaman, menuju zona belajar. 


                                                                      

                                                                          



Senin, 04 Juli 2022

5 Anak Kok Dibuang Semua

5 Anak Kok Dibuang Semua

Uuuuhhhhh sungguh suatu komentar yang mengiris hati. Pernyataan itu banyak dilontarkan oleh orang yang tidak setuju dengan mondok. Aku dulu juga pernah berpikir seperti itu saat ada temanku yang anaknya 10, "terang aja dia mampu punya anak 10, lha saat sudah masuk SD langsung dipondokkan". Astagfirullooh maafkan aku teman yang dulu belum mengerti arti pentingnya pendidikan agama dan kecakapan hidup serta kemandirian. 

Nasehat Bapakku seh memang agama harus nilai 100 namun belum sampai kepikiran untuk memondokkan anak. Pikiran itu timbul karena dorongan suamiku yang yakin bahwa dengan mempelajari Quran maka hidup akan dijamin oleh Alloh. Sementara pikiranku masih 50% "iyo ye? kok aku belum yakin". Sama halnya dengan beberapa temanku yang berpikir bahwa setelah mondok mau kerjo apa? Bagaimana masa depannya? Hingga pernah ada yang mau keluar dari Sulaimaniyah ketika menghitung usia putrinya setelah 6 tahun lulus Sulaimaniyah masih harus mengabdi 3 tahun "Lha kapan anak wedokku nikah?" 

Seiring dengan diskusiku sama suami yang selalu menjawab kekhawatiranku dengan selalu meyakinkan aku, maka akupun makin yakin juga. Seiring dengan melihat fenomena dunia kerja yang makin dikejar makin tidak menentu. Banyak yang kena perampingan tenaga kerja, maka yakin bahwa ilmu Al Quran akan bermanfaat di mana saja kita berada. Daannn kajian di bahw ini yang juga menguatkan niatku untuk memondokkan Hasna walaupun dia yang paling awal mondok saat kelas 6 SD. 

QS 18 : 46

Al Baqiyatus Sholihat

Al baqiyatus sholihat adalah amal kebajikan yang terus menerus dalam QS 18 : 46 Allah menjelaskan bahwa yang patut dibanggakan hanyalah amal kebajikan yang buahnya dirasakan sepanjang zaman sampe akhirat. Jika kita perhatikan urutan ayat ini harta didahulukan dari anak kemudian amal kebajikan yang terus menerus, kenapa harta lebih dulu padahal anak lebih dekat ke hati manusia? Karena harta sebagai perhiasan lebih sempurna daripada anak dan apabila di manage sesuai syariat akan lebih sempurna atau suma cumlade (dunia akhirat).

Nah itulah landasan berpikirku, ibaratnya anak-anakku aku serahkan pada Alloh dengan belajar agama

Dengan harta kita dapat melakukan kebajikan yang terus menerus sesuai harapan Allah. Harta bisa menolong orangtua dan anak setiap waktu dan harta pula kelangsungan hidup keturunan dapat terjamin. Aku relakan semua yang aku punya untuk menyekolahkan 5 anakku.

Dalam QS 29 : 45 shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar, jadi shalat  bisa menjadi perisai bagi kita. Dan di QS 4 : 114 tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan kecuali pembicaraan menyuruh berbuat baik dan sedekah.  Hadist : Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan." (H.R. al-Bukhari).

Dalam hal ini bapakku yang nomor 1 dalam hidupku selalu menyuruh untuk solat dan solat walaupun aku sudah dewasa. Kalau didalami makna solat ternyata tidak hanya sekedar kuantitasnya 5 waktu, namun harus ditambah dengan solat sunnah lainnya. Tidak berhenti pada kuantitas, namun harus ditingkatkan dengan kualitas, yaitu kehusyukan dalam menjalankan solat hingga solat benar-benar mencegah perbuatan mungkar.

Dan zikir merupakan cara kita mendekat kepada Allah dan di QS 2 : 186 semua permohonan kita akan di kabulkan Allah jika kita sudah dekat kepada Allah. Kemudian dengan menguatkan niat karena Allah (Lillahita'ala) dan cita-cita membesarkan anak agar menjadi anak yang sholih dan sholihah sangat bagus biar lebih bersemangat melaksanakan ayat QS 4 : 9 agar kita tidak meninggal anak-anak yang lemah.

MaasyaAllah ternyata al baqiyatus sholihat diatas harta dan anak tapi saling berhubungan ke tiga nya 


Violetta yang mengalahkan egonya untuk disiplin

Juara 1 bikin Vlog di High score 2022