Suamiku Jadul
Part 16
Perkataan Rapi selalu terngiang di telinga ini, dia benar-benar meracuni otakku. Aku terus berpikir ke depan. "Suami itu kalau gak diambil Tuhan ya diambil pelakor" perkataannya itu terus membuat aku was-was. Aku memang harus punya harta sendiri, aku ingin punya rumah atas nama sendiri juga.
"Bang aku mau buka usaha, boleh?" kataku di suatu malam, saat itu kami lagi tiduran di kamar setelah selesai ...
"Mau usaha apa, Dek?"
"Apa saja, Bang, adek capek lo di rumah terus,"
"Sebaiknya gak usah, Dek, usaha kita banyak, kok, ada sawit, sapi, apa mau tambah lagi? "
"Tapi, aku capek, Bang, di rumah terus, gak ada kegiatan."
"Sebenarnya Abang gak setuju, Dek, tapi kalau itu maunya Adek ya, silakan saja."
"Gak jadi Bang, kalau Abang gak ridho."
"Kalau Adek bosan di rumah terus, kita jalan-jalan, Dek."
"Jalan-jalan?"
"Iya, Dek, terserah Adek mau ke mana, Abang ngikut aja, asal jangan ke luar negeri."
Wah, jalan-jalan, tapi ke mana, ya, Bali, Jakarta? Hidupku rasanya terlalu indah, terlalu sempurna. Jalan-jalan pun boleh kupilih ke mana, akan tetapi aku justru ingin segera punya anak, sudah lima bulan menikah belum ada tanda-tanda kehamilan. Apakah aku sudah terlalu tua untuk punya anak?
Pagi itu masih jam tujuh, Bang Parlin sedang di halaman depan mengurus tanamannya. Dia memang memanfaatkan lahan yang sedikit itu bertanam sayur, katanya untuk cari keringat, karena berat badannya mulai naik. HP jadul suami tiba-tiba berbunyi, ini sesuatu yang jarang terjadi, dalam satu minggu paling ada panggilan dua kali saja. Kulihat di layar HP tersebut tertera nama "Dame" Oh, ini pasti salah satu saudara Bang Parlin.
"Assalamu'alaikum," kataku seraya menempelkan HP ke telinga.
"Waalaikumsalam, mana Bang Parlin?" jawabnya dari sana dengan logat batak yang kental.
"Oh, ini istrinya, Bang Parlin lagi kerja tu," jawabku.
"Oh, kakaknya itu, salam kenal Kak, aku Pardamean, juru damai di keluarga,"
"Oh, yang tinggal di Riau ya,"
"Pas, sekali, dari Pa Pa itu semua aku yang paling tampan, tapi aku juga yang belum laku,". gokil juga si Dame ini.
"Riau di mananya?'
"Pelosok, Kak, daerah Rokan Hilir, saking pelosoknya sampai gak ada cewek di sini, kenalin dulu aku boru, Kak,"
"Kau mau cari jodoh gitu?"
"Iya, Kak, tapi yang mau tinggal di rawa, ada gak ya?"
"Tinggal di rawa? siapa yang mau, paling juga buaya betina, hahaha." Entah kenapa jadi cepat akrab dengan si Dame ini.
"Serius, Kak, cari dulu di sana boru untukku, umurku sudah tiga empat, maunya yang di bawah tiga puluhanlah, yang penting dia mau tinggal di tengah kebun, berteman sapi dan kerbau,"
"Wah, sulit dapat itu, tapi kuusahakan ya, kirim fotomu ke WA-ku serta biodata, berapa penghasilan juga penting."
"Aku gak punya WA, Kak." Wah, ternyata abang dan adik sama jadulnya.
"Di sana ada sinyal gak?"
"Ada, tapi untuk internet masih sulit,"
"Datanglah kau kemari, biar dicari di sini," kataku akhirnya.
"Itu dia masalahnya, Kak, gak bisa kutinggalkan tempat ini."
"Berarti sulit itu, kau pikir bisa datang cewek ke tempatmu tawarkan diri gitu?"
Bang Parlin datang, "siapa yang nelepon?" tanya Bang Parlin.
"Ini, si Dame," kataku seraya menyerahkan HP tersebut. Mereka lalu bicara, aku tetap menguping, akan tetapi percuma, biarpun speaker sudah kuhidupkan tetap saja tak kutahu apa yang mereka bicarakan karena mereka memakai bahasa daerah.
"Bang, dia mau cari jodoh?" tanyaku setelah mereka selesai bertelepon.
"Iya, nasib kami memang, tak bisa cari jodoh sendiri, semua musti dijodohkan, carikan dulu , Dek, tapi jangan yang cantik," kata Bang Parlin.
"Hahaha, emang kenapa kalau cantik?"
"Jangan yang lebih cantik dari Adek, dia itu suka pamer," kata suami, "Eh, tapi gak ada ya, yang lebih cantik dari adek," sambung suami lagi.
"Hmmmm,"
"Betul, Dek, di mataku adek lah yang paling cantik semua,"
"Gombal,"
Aku dapat misi mencari jodoh untuk Pardamean, wanita yang mau tinggal di lahan sawit yang katanya daerah rawa-rawa. Siapa kira-kira? Coba kutanya Rapi, temanku yang selalu setia menjawab segala pertanyaanku.
(Rapet, ada gak cewek untuk jadi istri adik iparku, syaratnya di bawah tiga puluhan, mau tinggal di tengah kebun sawit daerah Riau.) pesanku padanya.
(Ada, bilang saja si Rina)
(Mantanmu itu)
(Iya, biar dia rasakan tinggal di tengah sawit, hidup pelik, berteman kerbau)
(Jahat kau)
Akan tetapi boleh juga usul si Rapi ini, Rina adalah temanku yang juga mantan Rapi, Rapi meninggalkannya dan menikah dengan orang lain. Segera ku-chat Rina, dia justru langsung mau dan minta nomor Pardamean. Segera kuhubungi lagi si Dame, menyarankan mereka untuk saling kenal dulu.
Tak disangka seminggu kemudian mereka sudah sepakat akan menikah, maharnya juga sudah disepakati delapan puluh juta.
(Mahar si Rina lima ekor sapi) pesanku pada Rapi.
(Siapa juga yang tanya)
(Pengumuman, biar kau tau orang yang kau sia-siakan dapat yang lebih baik,)
(Bleh)
Akhirnya disepakati satu bulan lagi Dame akan menikah, kata Bang Parlin akan ada pesta tiga hari tiga malam di kampung. Menurut Bang Parlin lagi, kami juga akan dipestakan ulang, memotong kerbau dan Margondang. Kami memang belum melaksanakan resepsi di kampung suami. Kami juga sudah melakukan pembicaraan dengan keluarga Rina.
"Kami sekeluarga akan kumpul semua, Dek, pasti seru," kata Bang Parlin. Dia tampak antusias.
"Memang sekeluarga banyak, Bang?"
"Banyak, Dek, Ayahku tujuh orang bersaudara, laki-laki pula semua, anak-anaknya sudah banyak, kami aja udah empat, ada empat puluh orang nanti."
"Wah, seru juga ya, siapa saja nama saudara Ayah," tiba-tiba aku jadi kepo dengan keunikan nama mereka.
"Ayah kan Pardomuan, itu yang paling tua, baru udakku Parningotan, terus Perhimpunan, Parlaungan, Partahanan, Parlagutan dan yang paling kecil Pangiutan."
"Hahaha," spontan aku tertawa mendengar nama mereka semua.
"Kenapa ketawa, Dek?"
"Namanya lucu, gak adakah nama lain?"
"Kok lucu, itu nama semua ada artinya," kata suami lagi.
"Emang Parlindungan apa artinya?"
"Perlindungan, Dek, sederhana saja, doa orang tua supaya aku bisa jadi tempat berlindung para saudara dan keluarga, atau yang lebih luas, bisa melindungi orang lain,"
"Kalau Pardamean?"
"Itu karena dulu ayahku lagi berselisih dengan pihak Ibu, jadi lahir si Dame, diberi nama Pardamean, dengan harapan lahirnya dia bisa membawa kedamaian,"
Kucoba ketik Parlindungan di kolom pencarian FB, ternyata ratusan orang bernama begitu, bukan nama yang aneh ternyata. Aku justru jadi malu karena namaku tak ada artinya.
"Dek, Abang mau jujur, pernah Abang berbohong,"
"Berbohong, bohong apa, Bang?" hatiku jadi tak tenang, jangan-jangan dia berbohong kalau sudah punya istri lain. Entah kenapa pikiran buruk selalu datang, karena seperti kata Rapi tak ada orang sesempurna suamiku.
"Janji Adek jangan marah ya?"
"Gak bisa janji, Bang, bilang dulu," jawabku seraya menatap matanya tajam.
"Janji dulu,"
"Baik, Abang bohong apa?"
"Itu, Dek, waktu abang bawa HP baru, abang bilang hadiah dari toko, itu sebenarnya Abang beli, pengen juga kek orang, WA sepertinya sudah jadi kebutuhan di kota ini bukan lagi keinginan, tapi setelah Abang coba, masukkan e-mail pun Abang sudah bingung,"
"Hahaha, Abang mau WA si Rara ya?"
"Gak, Dek, asal kenalan sama orang semua tanya nomor WA,"
"Ooh, adek juga pernah bohong, Bang,"
"Bohong apa, Dek?"
"Jangan marah ya,"
"Iya, Dek, janji,"
"Waktu kakak ipar bilang pakai gamis tapi tel4njang, sebenarnya bukan karena gak pake emas,"
"Jadi?"
"Karena pakai gamis tapi lekukan tubuh kelihatan, adek malu bilangnya sama Abang,"
"Oh, begitu, rezekimu lah, Dek, akhirnya beli emas yang banyak,"
"Maaf ya, Bang, badan memang sudah begini,"
"Iya, Dek, itu yang membuat Abang jatuh cinta, mirip si Nunung,"
"Ish, Abang!"
"Kalau mau pulang kampung nanti pesta, emasmu harus ditambah lagi, Dek, orang di kampung banyak-banyak emasnya."
Kukira Bang Parlin akan marah, ternyata tidak, justru emasku akan ditambah. Suamiku memang yang terbaik, kelemahannya hanya satu, yaitu Jadul.
Cacatan kaki:
Margondang= Pesta adat yang besar.
Udaku= Pamanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar