Senin, 30 Mei 2022

Aku Takut dipermainkan

 QS 9 : 59

Cukuplah Allah bagi kami


Semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT seperti adanya pergantian siang dan malam, adanya alam yang indah, sebaliknya adanya hal-hal yang ditetapkan seperti bencana alam, musibah dan lain sebagainya. Begitu pula adanya perbedaan keadaan manusia, Allah menciptakan manusia dengan bermacam ragam, ada wujud yang sempurna atau kurang sempurna. Adapun Allah mengatur setiap kebutuhan manusia dan menempatkan kondisi manusia dalam berbagai macam hal yang berbeda. Karena yang sedemikian itu adalah sebuah ketentuan yang sudah pasti baik adanya dan seharusnya manusia juga mampu mengimani sampai sedalam itu.

Dalam ayat QS 9 : 59 orang yang ridho adalah orang yang akan lupa bahwa dia bagian dari takdir yang Allah tetapkan atasnya dan menjalani hidupnya dengan percaya dan berserah diri pada Allah SWT dan berkata "Cukuplah Allah bagi kami".

Sejatinya manusia mampu membuat rencana yang hebat. Mampu merencanakan untuk mencapai kepentingan dan tujuannya dengan detail dan rinci. Akan tetapi, sebagus-bagusnya rencana manusia ketika Allah tidak meridhoi rencana itu manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Mau tidak mau kita harus menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita baik ataupun buruk.

Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya). Dan ini hanya ada pada seorang mukmin, jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.

Kebanyakan muslim ketika ditanyai apa yang mereka cari dalam hidup ini? Mereka selalu menjawab mencari ridho Allah, karena mereka ingin mendapat ridho dari Allah. Akan tetapi hal yang sebenarnya bahwa ridho Allah bukan untuk diminta dan dicari tetapi untuk mereka lakukan. Karena subjek utama ridho Allah adalah diri mereka sendiri yang harus ridho kepada Allah bahwa kemudian Allah ridho adalah hal yang otomatis. Karena tidak mungkin kalau mereka ridho dengan takdir Allah lalu Allah tidak meridhoi.

Rumus sederhana untuk memasuki hilir kemesraan cinta dengan Allah ada di QS 89 : 27 - 28 menyebutkan bahwa semua manusia di muka bumi ini bisa jadi Allah meridhoi dan menerima amalan kita bisa jadi tidak, kecuali beberapa orang yang dijamin masuk surga oleh Allah seperti Rasulullah. Selain itu, semua manusia di dunia ini kedudukannya sama di mata Allah. Oleh karena itu, kita tidak usah sibuk mencari ridho Allah, akan tetapi kitalah yang harus terus menerus ridho kepada Allah karena rumusnya adalah Rodhiatan Mardiyah bukan terbalik Mardiyatan Rodhiah. Jadi kitalah yang harus memastikan setiap saat ridho kepada apapun saja yang Allah tentukan untuk kita, jika kita ridho dan terus ridho efeknya pasti diridhoi oleh Allah.

Kesimpulannya ketika umat muslim di dunia ini telah mengaplikasikan ridho untuk diridhoi, maka akan terciptanya hati yang senantiasa ikhlas kepada setiap ketentuan yang Alah berikan. Serta kita menjadi hamba Allah yang insyaAllah dimuliakan Allah karena mendapatkan ridho Allah. Semoga kita semuanya menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur atas ni’mat Allah dengan segala takdir-Nya......aamiin🤲❤️

Tulisan ini memberiku semangat untuk tidak takut jika kepindahanku dianggap karena aku berhasil me"lobi" yang dalam artian "ngathok"...naudzubillah. Ketika seseotang menganggapku begitu maka akan dengan seenaknya membuat skenario yang merendahkan aku. Namun aku melakukan sesuatu hanya mencari ridho Alloh. Jalan yang kutempuh juga tidak menyakiti orang lain. 

Pernah saat aku punya 3 balita, aku menjadi guru biasa. Awalnya sedih, merasa dikucilkan, tidak berguna, namun aku mendapat motivasi suamiku sehingga aku bisa mengejar potensiku yang lain. Menulis, ikut lomba, membaca dan akhirnya aku meraih juara di beberapa event. Alhamdulillah mungkin maksud orang lain untuk mengucilkan saya namun karena Alloh membimbing hati dan aktivitas saya, malah menjadi titik balik keberhasilan. Alhamdulillah segala nikmatMu sungguh mengagumkanku.

Bersama Ummu JTM (Lia, Ratna, Eka)

 

Motivasi bekerja


                                                         Silaturohim ke Abi Ihya Mei 2022

QS 9 : 105

Bekerjalah dan kerjakanlah yang mendatangkan manfaat

Bekerja, kata yang tidak asing dan merupakan sesuatu yang kita lakukan setiap hari, tapi setiap orang berbeda motivasinya, berbeda dalam bekerja sehingga muncul kalimat "Ketika mengejar kekayaan atau karir jangan sampai mengorbankan kesehatan. Karena sebenar-benarnya, kesehatan adalah kekayaan yang paling berharga”

Bekerja.... dahulu motovasi orang tua  menyekolahkan anak wanita supaya tidak tergantung pada suami, karena manusia tidak tahu ajal siapa yang dahulu dijempt malaikat dalam suatu rumah tangga. Pastinya antara suami dan istri dalam rumah tangga saling ketergantungan, saling melengkapi dalam mengurusi rumah tangga, sehingga jika salah satu mendahului pasti harus digantikan perannya oleh yang lainnya. 

 Suatu kenyataan jika suami meninggal duluan, istri tidak bekerja maka akan mengalami guncangan ekonomi. Istri pasti akan kebingungan mencari sumber ekonomi keluarga, apalagi jika suami tidak memiliki tinggalan sumber penghasilan (pensiunan misalnya atau investari yang berjalan terus walaupun sudah sedo : kost-kosan). Jika suami seorang PNS maka walapun hanya 1,5 juta perbulan masih menerima hasil. Kaget si pasti, lha mbk Mudi biasanya menerima 6juta tapi ini masih mendingan buat makan bersama anak. Kalau suami punya Kos-kosan, juga masih banyak bersyukur bisa menyekolahkan anak hingga kuliah (teringat mbk Virta dan mbak Titik) 

Istri sudah bekerja maka dia masih juga butuh memanagemen ekonominya yang biasanya 2 sumber jadi berkurang 1. Ingat temanku Herna, sumber satunya diganti Alloh dengan membuat buku yang dulu merupakan pekerjaan dari suaminya. Suami masih memberikan tinggalan amal dengan memberikan ladang pekerjaannya pada istrinya. 

Di Al Hikmah, ditanamkan bukan kata bekerja yang tujuannya untuk mencari uang, namun bekerja untuk berdakwah. Ustd Kadir, pembina Al Hikmah berkata "Kalau tujuan ke sini menjadi kaya, saya jamin tidak bisa dan saya tidak akan memelihara kalian di sini kalau untuk mencari uang. Kita di sini berdakwah. Mengajar merupakan aktifitas yang mulia. Guru adalah warosatul ambiya, pewaris para nabi." Begitulah beliau setiap tahun selalu mengingatkan dan membangkitkan niat positif warga Al Hikmah.....trimakasih ustd.  

Motivasi lain yang ditanamkan oleh Kepala sekolah SMP Al Hikmah 2003 ustd Edy , "Kalau kalian niat mengurusi anak orang lain maka anakmu akan diurus oleh Alloh". Alhamdulillah benar banget, kehidupan kebanyakan guru alhikmah banyak kemudahan dari Alloh. Saat aku masih penuh kerepotan dengan 5 anak yang masih kecil, selalu saja ada kemudahan yang aku rasakan. Hingga saat ini yang paling membahagiakan putri pertamaku sudah hafidz 30 juz dan beasiswa full bahkan bisa memberi adeknya dan kami angpo lebaran. Riza juga dalam proses menuju Hafidz, Kembar mau mondok dan menghafal kini sampai juz 7. Alhamdulillah diterima di Sulaimaniyah juga. Semua anugrah Alloh....Hadzamin fadli robby.  

Dalam ayat QS 9 : 105 pelajaran yang terpenting adalah motivasi untuk berbuat baik, berbuatlah, bekerjalah, berkaryalah karena karya dan perbuatan akan dilihat.

Bekerja akan bernilai ibadah apabila kita yakini didalam setiap hal yang kita lakukan dalam bekerja semata-mata untuk berbuat kebaikan.

Karena amal perbuatan kita kelak akan ditampilkan di hadapan Allah SWT dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin. Sebagaimana di : 

- QS 69 : 18 pasti akan terjadi kelak di hari kiamat.  

- QS 86 : 9 pada hari ditampakkan segala rahasia. 

- QS 100 : 10 dan yang tersimpan apa yang ada di dalam dada.

Apa yang kita kerjakan, entah itu perbuatan baik atau buruk maka sesungguhnya Allah Mahamelihat atas perbuatan kita, dan Rasulullah serta hamba-Nya yang beriman akan dapat melihat perbuatanmu 

walaupun perbuatan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi (terselubung).

Ayat QS 9 : 105 berisi peringatan keras terhadap orang-orang yang menyalahi perintah agama, bahwa amal mereka itupun nantinya akan diperlihatkan kepada Rasul dan kaum Muslimin lainnya kelak di Hari Kiamat. 

Dengan wafatnya seseorang maka ia dikembalikan ke alam akhirat. Di sana Allah akan memberitahukan kepada setiap orang tentang hasil dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya selagi ia di dunia dengan cara memberikan balasan terhadap amal mereka. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, dan kejahatan dibalas dengan azab dan siksa.

Mari kita bekerja dan melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan manfaat baik dunia maupun di akhirat ..... salam semangat Tilawah, Terjemah, Tadabur, Terpahamkan dan Teramalkan (5 T)💪❤️

Arti Namaku

 

QS 9 : 112

Mukmin Sejati Haus akan Ilmu


Islam menempatkan ilmu pada posisi yang sangat mulia, ibarat kata ilmu adalah perhiasan bagi si empunya. Manusia sempurna karena akal pikirannya, akal pikiran yang sempurna tentu asupan gizi yang sempurna pula yaitu ilmu dan hikmah.

Ayat QS 9 : 112, orang mukmin yang mencapai puncak kesempurnaan memiliki sifat sebagai orang-orang yang suka mengembara untuk menuntut ilmu dunia dan sesuatu yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan tanah air.


Dalam QS 58 : 11 orang yang berilmu akan memperoleh kedudukan yang mulia.

Menuntut ilmu juga salah satu bentuk ibadah  yang diwajibkan di dalam Islam. Berikut ini keutamaan menuntut ilmu, diantaranya:

1. QS 3 : 18 dapat mengetahui kebenaran.

2. QS 20 : 114 Allah tidak memerintahkan nabinya meminta tambahan selain ilmu.

6. QS 96 : 1 - 5  yang di dalamnya berisi perintah untuk membaca. Dalam hal ini tentu sangat berkaitan dengan keutamaan mencari ilmu, dimana tentunya hal ini merupakan sebuah bentuk kewajiban yang harus dijalankan oleh semua umat muslim yang ada di dunia. Dimana untuk senantiasa mencari ilmu agar memperoleh nilai dan pengetahuan yang bermanfaat.


Ilmu ibarat cahaya yang akan meneranginya dari gelap kebodohan, meningkatkan ilmu dan amal termasuk manivestasi ibadah. Sebagian ulama sampai berkata "Ilmu adalah shalat secara rahasia dan ibadah hati"

Sebagai mukmin sejati aktivitas menuntut ilmu sebagai tuntutan dalam dirinya, sesibuk apapun tetap menambah, memperbaiki dan mempertajam ilmu terutama yang mengantarkan untuk semakin paham dengan agama.

Dalam QS 3 : 200, sesungguhnya seseorang yang melatih (membiasakan) dirinya untuk menanggung kesulitan selama menuntut ilmu termasuk dalam ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.



Kesabaran

                                            Anak Kembarku yang sabar lagi PAT genap 2022

 QS 10 : 3
Ketekunan dan Kesabaran dalam Bertindak

Kesabaran dan Ketekunan adalah dua kualitas yang sangat terkait satu sama lain meskipun ada perbedaan antara kedua kata tersebut. Kesabaran menunjukkan toleransi atau ketahanan terhadap situasi sulit. Di samping itu, ketekunan menunjukkan tekad di mana seseorang berusaha untuk mencapai targetnya. Allah memberi pelajaran kepada kita  tentang ketekunan dan kesabaran di dalam bertindak. Sebagaimana di ayat QS 10 : 3 Allah menciptakan langit dan bumi dalam 6 masa/hari, artinya dalam masa yang perkiraannya sama dengan enam hari karena sesungguhnya pada masa itu belum ada matahari dan bulan. Akan tetapi seandainya Allah berkehendak maka Allah dapat menciptakannya dalam sekejap mata. Namun Allah tidak memakai cara tersebut agar manusia dapat mengambil pelajarannya.

Menurut Ali bin Abi Thalib sabar itu sebagian dari iman, nilai sabar itu identik kepala pada tubuh manusia. Jika kesabaran telah tiada berarti iman dalam diri manusia itu telah sirna.

Oleh karenanya orang yang tidak merugi di QS 103 : 1 - 3 adalah orang yang beriman, beramal saleh, saling berwasiat kebenaran, dan saling berwasiat kesabaran. Sabar merupakan akhlak terpuji yang harus dimiliki setiap Muslim.

Orang yang bersabar di ayat QS 2 : 158 akan memperoleh kemenangan yaitu Allah senantiasa bersamanya. 

Orang yang sabar tidak hanya bersikap lapang dada saat menghadapi kesulitan dan musibah, tetapi juga teguh pendirian (istiqamah) dalam memperjuangkan kebenaran, dan selalu dinamis dan optimistis dalam meraih masa depan yang lebih baik dan bermakna.

Sabar bisa diklasifikasikan menjadi lima, yaitu: 

1.  sabar dalam ketaatan, 

2. sabar dalam menjauhi kemaksiatan, 

3. sabar dalam menerima dan menghadapi musibah, 

4. sabar dalam menuntut dan mengembangkan ilmu,

5. sabar dalam bekerja dan berkarya.

Kelima bentuk kesabaran ini berkaitan erat dengan ketahanan mental spiritual, sehingga kesabaran itu selalu menuntut ketahanan jiwa dan kekayaan mental spiritual yang tangguh.

Pendidikan kesabaran juga merupakan salah satu cara untuk memperoleh petunjuk Allah SWT, karena orang yang sabar hanya mau mendengar suara hati nurani, bukan mengikuti hawa nafsu dan emosi. QS 32 : 24 sabar berarti kita harus ikhlas, menerima dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Wallahu a’lam.

Anakku semuanya sabar menghadapi kondisi keluarga, misalnya tidak meminta jajan yang mahal saat di swalayan. Sari dari Turky bilang "Mi, aku beli ciki2 dan chetos yang saat di Indonesia umi gak pernah belikan". Sebagai ibu aku sedih karena dulu tidak membahagiakan dia hingga saat kini dia sudah mendapat uang saku 2,5 juta dia membeli jajan yang belum terbeli olehku.   

Kembar sabar saat meminta membelikan buku note. Saat itu di toko buku di malang tidak ada yang menjual, satu-satunya penjual mahal dengan harga 20 ribu, ngalah-ngalahi harga buku 1 dosen. Maka kembar rela beli satu dan satunya baru aku kirim dari Surabaya dengan harga 4500 dan ongkir 5000, itupun dengan tambahan barang lainnya yang genap 1 kilogram. 

Mail, sabar memilih baju hem yang harganya 60 ribu, walaupun sebenarnya dia pingin hem yang berwarna hitam dengan harga 100 ribu. Dia sabar untuk menerima jubah pembelianku dibandingkan ikut membeli jubah seperti yang Hima pilih dengan harga 285 ribu. Mail sabar membantu aku membersihkan rumah, mengepel, menyapu dengan lebih bersih dibandingkan aku. Dia juga mau mengosek kamar mandi demi tugasnya di buku laporan romadhon.

Suamiku juga orang yang sabar, walau belum berhasil banyak bisnis yang sudah dia coba jalani, namun tidak pernah marah dengan kegagalan yang terjadi. Hebatnya juga tetap percaya diri menasehati 5 anaknya. Aku tidak bisa menjalani andai aku yang ada di posisinya. Mungkin aku akan sedih, putus asa dan bahkan akan menyalahkan Alloh. 

Riza, anak yang sabar terhadap temannya. Saat ke Mall beli baju, temannya gak bawa uang, atau mungkin gak punya uang tapi malu mengakuinya, maka Riza membelikan untuk temannya padahal menurutku itu tidak murah untuk seorang anak yang belum menghasilkan uang sendiri. Saat di kafe juga sering mentraktir temannya, menutupi rasa malu temannya yang tidak punya uang dengan mentraktirnya. Sabar dengan sangu yang aku berikan, bahkan pernah aku akan memberi dia bilang "gak apa Mik biar uangku saja, biar aku belajar membelanjakan uang dan tidak membebani umi, kan aku anak lanang bakalan menanggung nafkah keluarga"...Masyaallohhh...meleleh airmata ini.

Hasna paling banyak kesabarannya selama di rumah bersamaku. Bantu aku dalam segala pekerjaan rumah tangga kecuali menyetrika. Pernah menyetrikakan baju mas Kembar dengan hasil yang lumayan lebih baik dari hanya sekedar dilipat. Sabar dengan segala menu makanan yang aku sajikan, bahkan ketika tidak sempat masak dia pintar masak nasi, masak ceplok telur, mantuin aku bikin peyek, gimbal udang dan banyak makanan lagi yang dia belajar untuk membuat. Bikin bubur putih, bikin boba, bikin martabak dari nasi dengan panduan tiktok. Paling aku terharu, dia sabar pakai baju pemberian Bude Mudi, pakai bajuku yang kecingkrangen, bahkan dengan bangga dan senang dia memakai tas pemberian dek Nayla.....ya Alloh aku love u kalian semua...ternyata kau adalah hadiah terasri dalam hidupku. 

Kamis, 26 Mei 2022

Suamiku Jadul(6)


                                                                        Nasi di Turky

 Suamiku Jadul

Part 6 (Lugu tapi PD)

Dalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. 


Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil?  Apakah memang aku butuh?  Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. 

"Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. 

"Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. 

"Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. 

Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. 

(Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) 

Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Coba ku abaikan saja. 

"Jangan melayang karena dipuji-puji, Dek, jangan pula tumbang bila dihina," itu prinsip yang pernah dikatakan seseorang padaku. kata suami. 

"Oh, iya, ya, Bang," kataku seraya mengetik di WAG keluarga. 

(Tak akan tumbang karena hinaan, tak akan terbang karena pujian)  tulisku kemudian. 

(Hebat, itu baru kakakku)  Balas adik perempuanku. 

"Oh, ya, Bang, siapa yang bilang begitu sama Abang?" tanyaku kemudian. 

"Seseorang, Dek, seseorang dari masa lalu." 

"Wah, siapa dia?" entah kenapa aku cemburu suami bilang seseorang dari masa lalu. 

"Udahlah, Dek, kubilang pun tak kenalnya adek itu," suami seperti mengalihkan pembicaraan. 

Hari H pesta si Rapi tiba, aku ragu hendak pergi, akan kumpul nanti semua satu geng, kami ada sepuluh berteman mulai SMA, si Rapi inilah yang terakhir menikah. 

"Hari ini kan pesta itu, gak pigi kita, Dek?" suami justru mengingatkan, padahal aku sudah pura-pura lupa. 

"Gak, Bang, malas," 

"Gak baik gitu, Dek, diundang orang kita harus pergi,"

"Malas, Bang, temanku gak ada yang waras, nanti Abang diledek, aku gak bisa terima bila Abang yang dihina," kataku membalikkan ucapannya. 

"Udah, aku mau dipermak, asal jangan rambut ini," kata suami. 

"Benar, Bang?" 

"Iya, benar," 

"Oke Abangku sayang, kita ke mall dulu ya, beli baju untuk Abang," kataku seraya memeluknya dari belakang. 

Akhirnya kami ke mall, seperti biasa bila naik motor, aku yang bawa, kata suami dia gugup jalan di tempat ramai, ditambah dia gak punya SIM. 

"Dunia terbalik ya, istri yang pegang kemudi," celutuk tetangga sebelah rumah ketika kami hendak pergi. 

Hanya kutanggapi dengan senyuman. 

Ketika kami tiba  di mall, yang terjadi justru sebaliknya, tadinya kami kemari mau beli baju untuk suami, akan tetapi akulah akhirnya yang beli baju dan sepatu. Ternyata untuk pakaian suami sangat pemilih, tak ada yang cocok katanya. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gerai pakaian. 

"Itu baru cocok," kata suami seraya menunjuk pakaian cowboy. 

Akhirnya kami beli celana jeans dan kameja kotak-kotak serta topi Cowboy untuk suami. Niat hati ingin mengubah kejadulan suami, yang terjadi malah makin jadul. 

Akan tetapi ketika dia memakai pakaian itu, aku terpana melihatnya, dia tampak gagah dengan pakaian cowboy, yang jadi masalah kini rambut gobelnya. Aku menawarkan diri menyisir rambut gobel tersebut, ketika kuikat ke belakang, dia justru makin kelihatan gagah. 

Akhirnya kami berangkat menuju pesta, pakaian kami terlihat kontras, aku memakai gamis, dia memakai pakaian cowboy

Begitu kami sampai di pesta tersebut, dugaanku tepat, semua teman sudah kumpul di sana dengan pasangan masing-masing. 

"Lama hilang kau, Niyet, begitu muncul sudah bawa cowboy," celutuk temanku seraya memyalami kami. 

"Kau merantau ke Amerika ya?" goda temanku yang lain. 

Ketika waktu makan tiba, kulihat suami diam seraya melihat nasi di piringnya. 

"Kok gak makan, Bang?" Tanyaku. 

"Mana cuci tangannya?"

Duh, dasar suami jadul, pesta begini dia minta cuci tangan. 

"Pakai sendok, Bang," kataku kemudian seraya menunjuk sendok di piringnya. 

"Aku gak pande, Dek,"

Ya, Tuhan, ya Robbi, di jaman sekarang ini masih ada orang dewasa yang gak pandai pakai sendok? Aku harus bagaimana lagi, apakah akan kubiarkan suami makan pakai tangan di tengah pesta begini? 

Akhirnya aku menemui Ibunya Rapi, membisikkan masalah yang kuhadapi, Alhamdulillah beliau mengerti biarpun dia terlihat menahan tawa. Kami akhirnya di berikan tempat untuk makan di dalam rumah. Ribetnya punya suami jadul ini. 

"Dari mana aja kau Niyet, dari tadi dicariin," kata satu temanku ketika kami kembali ke pesta tersebut. 

"Ada yang mau dibuang tadi, emang ada apa cari aku, Nyet?"

"Itu, tuh, kau diajak nyanyi," katanya seraya menunjuk ke pentas. Di pentas, salah satu temanku sedang memegang mikrofon, lalu ... 

"Teman-teman, saya sekalian ingin memperkenalkan suami Niyet, dia pergi merantau ke Amerika, pulangnya bawa cowboy kita tak diundang, saya minta kepada tuan cowboy untuk menyumbangkan sebuah lagu sebagai perkenalan," kata temanku itu. 

Semua mata melihat ke arah suami, duh, apa yang akan terjadi? mereka seperti sengaja ingin mempermalukan aku. Teman yang lain mendorong Bang Parlin menuju pentas. 

"Jangan mau, Bang, itu mantanku, dia sengaja mau buat Abang malu." bisikku pada suami. 

Suami justru naik ke pentas setelah mendengar bisikanku. 

Dadaku berdebar-debar menunggu lagu apa yang akan dinyanyikan suami. Apakah dia tahu musik, soalnya belum pernah kudengar dia menyanyi. 

Kulihat Bang Parlin  berbicara dengan tukang keyboard-nya, lalu tukang keyboard itu memberikan seruling. Wah, seruling? 

"Karena cowboy yang dipanggil, saya akan menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan cowboy padang lawas, namanya ungut-ungut,, lagu yang biasa dinyanyikan anak gembala di padang rumput," kata suami. 

Sujurus kemudian, Bang Parlin sudah memainkan seruling. Duhai, suaranya mendayu-dayu, semua pengunjung terdiam mendengar suara seruling itu, musik justru tak main, yang terdengar hanya suara seruling. Lalu suami menyanyi, aku tak mengerti dia sedang menyanyikan lagu apa, akan tetapi suaranya sangat menyayat hati, nadanya seperti suara seruling itu. Setelah menyanyi sebait, baru seruling lagi, menyanyi lagi, seruling lagi, begitu seterusnya. Suasana pesta jadi hening, ini sesuatu yang langka terjadi di pesta.

Selesai menyanyi, semua pengunjung pesta bertepuk tangan, aku justru menitikkan air mata, entah apa yang sedih itu aku tak tahu. Ah, suami jadulku, aku makin sayang padamu.

Suamiku Jadul (5)

 

                                         Pemilik toko Emas yang Memulikan Tamu Hafidzah


Suamiku Jadul

Part 5 (Tajir dan Kreatif)

Ketika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh. 

"Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah. 

Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula. 

Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka semua sudah punya anak, tinggal aku yang belum. 

"Bang, aku pengen pulang ke kampung Abang," kataku di suatu sore. Saat itu suami sedang membuat bangku dari kayu. Memang begitu suamiku ini, ada saja yang dia kerjakan. Buat kandang ayam, buat kursi, buat meja, bahkan dia buat lemari untuk kami. 

"Gak ada enaknya di kampung, Dek, Adek gak akan tahan, rumah terdekat jauhnya seratus meter, lembu banyak berkeliaran, bukan lembu yang dikandangkan lagi, tapi rumah yang dikandang, sementara lembu berkeliaran bebas." kata suami. 

Aku justru makin penasaran dengan kampungnya, seperti apa kira-kira peternakan lembu dua ratus ekor? 

"Abang punya kebun sawit ya?" tanyaku lagi. 

"Sedikit, Dek."

"Ayah bilang luas?"

"Gini, Dek, Abang berikan gambaran tentang kampung Abang ya. Ada kebun sawit sepuluh hektar, sekeliling kebun ini dikandang, baru dilepas lembu di bawah sawit itu, di dalam kebun, ada rumah karyawan enam, sama rumah kita jadi tujuh, bisa bayangkan, Dek, seluas sepuluh hektar hanya ada tujuh keluarga. Jarak dari jalan besar ke kebun kita ada empat puluh kilometer, jalan belum bagus, kalau adek ke sana belum sampai udah pingsan duluan, hahaha," kata suami. 

Baru kali ini suami tertawa lepas begitu, dia orang yang jarang tertawa betul kata kakakku bagi orang yang belum kenal dia orang akan mengira suamiku yang aneh-aneh. 

"Aku tetap pengen, Bang," kataku lagi. 

"Ya, udah, nanti kita ke sana, sekarang kita masih bulan madu," kata suami seraya melirikku nakal. 

"Dah tiga bulan, masih bulan madu?" kataku sambil mencubit pinggangnya pelan. 

"Iya, Dek, sebenarnya Abang ingin selamanya bulan madu, sudah lelah Abang yang kerja itu dua puluh tahun sudah, Abang ingin menikmati hidup dulu, ingin melihat dunia yang luas ini," kata suami. 

"Emang bisa, Bang, selamanya bulan madu, gak diurus rupanya kebun dan sapi itu?" 

"Orang yang urus, Dek, kita hanya terima hasil setahun sekali, panen lembu hanya Idul adha saja."

"Sawit?"

"Oh, itu Ayah yang urus, biar sudah tua Ayah masih sanggup urus."

"Bagaimana penghasilan sapi ini, Bang?" entah kenapa aku ingin tahu banyak. 

"Begini, Dek, sapinya dibesarkan di lahan kita, pekerja dapat setengah, kita setengah, satu keluarga paling bisa urus sapi empat puluh, maksimal itu, bila sapinya beranak, bagi dua." 

"Penghasilannya berapa setahun?"

"Tergantung, Dek, satu sapi betina beranak satu kali dalam satu tahun, kita memakai dua sistem, penggemukan dan pembibitan. Bila penggemukan, sapi bakalan dibeli dan dibesarkan di lahan sawit itu, setelah satu tahun baru dijual, keuntungan dari satu sapi penggemukan kira-kira sepuluh juta satu tahun, tergantung sapinya, bagi dua sama pekerja, jadi kita dapat lima juta, selama ini Abang yang kerjakan sendiri, sekarang abang sudah lelah, ingin menikmati hidup, capek kawinkan sapi terus, diri sendiri tidak kawin."

Aku mulai menghitung keuntungan, satu sapi lima juta, kali dua ratus sapi, satu milyar setahun,  bagi dua belas bulan kira-kira delapan puluh juta sebulan. Itu baru dari penggemukan, ada lagi katanya pembibitan  Wah, hebat suamiku, dia bergaji delapan puluh juta hanya duduk ongkang kaki di rumah.

"Kenapa Abang lama kawin?" tanyaku lagi. 

Aneh memang kami bila dipikir-pikir, setelah tiga bulan menikah baru mulai ada komunikasi, mungkin ini yang dikatakan orang pacaran setelah menikah, saling mengenal pribadi pasangan setelah menikah. 

"Gak ada yang mau, Dek, gak ada cewek yang mau sama tukang sapi, keahlianku hanya mengawinkan sapi, hingga lupa diri sendiri, udahlah, Dek, gak usah bahas itu, pokoknya kita bahagia, gak perlu kerja."

Pembicaraan kami terhenti karena ada tamu datang, ternyata si Rapi yang datang. 

"Gimana sih kau, Niyet, ditelepon gak diangkat, di-Wa gak dibaca, kirain kau sudah pindah ke kutub utara?" kata Rapi begitu dia buka helm. 

Aku baru ingat, HP-ku kuletak di kamar, entah kenapa aku jadi terikut suami tak pegang HP. 

"Emang ngapain kau cari aku, Rapet?"

"Ini nih, ngantar  undangan, aku gak kayak kau, kawin gak undang teman," kata Rapi seraya memberikan undangan. 

"Wah, laku juganya kau, ya, Rapet,"

"Ya, iyalah, datang kau ya, sekalian kita reuni, ajak si Rambo ini," kata Rapi sebelum dia akhirnya pergi. 

Wah, reuni?  Apa nanti kata teman satu gengku bila melihat suamiku yang jadul ini?

Rumah tanggaku jadi aneh, setidaknya begitu kata orang, kami lakukan semuanya bersama, belanja bersama, makan bersama-sama, bahkan mandi dan nyuci pun kami selalu bersama. Bersama suami aku mulai bisa mengurangi ketergantungan gatget, jadulnya seperti menular padaku. Kegiatan suami hanya mengurus ayam jago tiga ekor. 

"Pagi, Mas, gak pergi kerja?" kudengar tetangga sebelah menyapa suamiku. Saat itu aku lagi nonton TV, sedangkan suami di luar menyapu halaman. 

"Pagi juga, Mbak," jawab suami. 

"Gak kerja, Mas?" tanyanya lagi. 

"Ini lagi kerja," jawab suami. 

"Eh, Mbak Nia, maaf ya, bukannya mau kepo, tapi cuma heran memang suaminya gak kerja?" tanyanya lagi, ketika aku keluar. Eh, ini tetangga katanya gak kepo, tapi kepo juga. 

Aku tak tahu harus jawab apa, mungkin mereka sudah heran, suamiku selalu di rumah tiap hari. Gak pernah pergi ke mana-mana, kalau pergi kami selalu berdua.

"Lagi nganggur,"  jawabku akhirnya. 

"Oh, kasihan sekali ya, nanti kutanya suami mana tau ada lowongan," kata tetangga ini.

Tetangga mulai banyak bertanya, penampilan suami yang seperti tukang kebun ditambah lagi rambut gobelnya membuat para tetangga menggunjing. Sering sampai terdengar telinga Ini mereka membicarakan suamiku. 

"Bang, kita tak bisa begini terus berhentilah pura-pura miskin," kataku pada suami. 

"Abang gak pernah pura-pura, Dek, memang begini adanya. Orang saja yang menganggap miskin."

"Kita pergi aja tiap hari, Bang, biar dikira tetangga pergi kerja,"

"Itu baru pura-pura, Dek," 

Ah, susah memang ngomong sama suamiku ini, dia bisa saja tenang jadi pembicaraan orang, dia tak peduli orang berkata apa. Pernah tetangga nyindir suami. 

"Jadi laki gak tanggung jawab, kerjanya cuma ngurus ayam," 

Suamiku hanya membalasnya dengan senyuman. Ingin rasanya kubungkam mulut tetangga ini, tapi suami selalu melarang. 

"Biar saja dianggap orang miskin, Dek, daripada dianggap kaya," begitu selalu kata suami. 

Padahal di luaran sana banyak orang berlomba-lomba supaya dianggap kaya, nyicil mobil, nyicil motor, HP canggih.

Suatu hari aku panas melihat pesan kakak ipar di grup WA keluarga. Dia tulis begini;

(Hasil dari jaga lilin tak akan berkah, lihat saja rumah saja ngontrak, dikasih rumah kredit gak mau) 

Aku tahu pesan itu ditujukan untukku. 

(Bukan jaga lilin, tapi miara bocil, botak cilik) 

Sambung istri dari adikku. 

Aku makin panas, aku berteriak memanggil suami. 

"Banggg ...!" 

"Apa sih, Dek?"

"Aku lelah selalu dihina, saudara sendiri pun menghina, aku mau tunjukkan pada mereka suamiku punya rumah, rumah itu hanya sepuluh sapi," kataku pada suami. 

"Duh, ada apa, sih, Dek, yang hina siapa, kapan, perasaan kita gak ke mana-mana hari ini,"

"Di WAG keluarga, Bang," kataku. 

"WAG itu apa?" 

Duh, aku lupa suamiku berasal dari tahun delapan puluhan. 

Ini, Bang, ini," kataku seraya menunjukkan HP-ku. 

"Wah, menggosip pun bisa lewat HP ya," kata suami. 

"Suami gak peka, gak ngerti perasaan istri," kataku seraya membalikkan badan. 

"Aku juga manusia, Bang, sedikit pamer itu sudah kodrat manusia, ini tahun dua ribuan, bukan delapan puluhan," omelku lagi. 

Saudara yang menghinaku, suami yang kumarahi. 

"Udah, Dek, kita beli rumah dan mobil, telepon Bank, kita cairkan uang kita, bila kurang kita jual sapi," kata suami. 

Ternyata ini kelemahan suami, dia tak terima bila istrinya yang dihina. Ah, aku makin cinta pada lelaki jadul ini.

Rabu, 25 Mei 2022

Suamiku Jadul(14) (Cita2nya Mengentaskan orang)

 CERBUNG 

Suamiku Jadul

Karya; Bintang Kejora

_Part 14 (Cita2nya Mengentaskan orang)


Ayah mertua tak menginap, langsung pulang sore harinya juga. Berbagai cara kulakukan untuk menahan, akan tetapi Ayah mertua tetap ngotot pulang, alasannya tinggal sawit, tinggal kambing peliharaan Ayah mertua. 

Kubelikan oleh-oleh khas Medan untuk Ayah mertua. Bika ambon dan bolu gulung. Sebelum pulang Ayah mertua berbicara lama dengan Bang Parlin, aku sedikit kesal karena mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumenengerti, ingin ikut bicara tapi tak tahu apa yang dibahas. 

Setelah Ayah mertua pergi, segera kukeluarkan uang dalam tas kresek itu. "Kita hitung ya, Bang," tanyaku pada Bang Parlin. 

"Jumlahnya dua ratus lima puluh juta, itu hasil empat bulan," kata suami. 

"Dari mana Abang tau?"

"Ayah yang bilang, Dek,"

"Banyak juga ya," 

"Iya, Alhamdulillah,"

"Kita apain ini uang, Bang?" tanyaku lagi. 

"Ya, disimpan, Dek, keluarkan dua setengah persen untuk zakat," 

"Dua setengah persen?" aku lalu coba berhitung, matematika memang kelemahanku, akhirnya kuambil HP, terus ke kalkulator. Wah, enam juta dua ratus lima puluh ribu. Akan ke mana ini dibayarkan? 

"Ke mana dibayarkan, Bang?"

"Biasanya Abang berikan ke orang yang betul-betul butuh, Abang pernah kasih dua puluh lima juta kepada satu orang, itu zakat satu tahun," 

"Wah, dua puluh lima juta ke satu orang, dibagi ke orang banyak seratus ribu seorang dah berapa itu, bisa menyaingi si Baim Abang," 

"Siapa si Baim?"

Duh, aku lupa, suamiku ini tak kenal medsos, dia hanya nonton TV. 

"Kenapa harus ke satu orang, Bang?"

"Supaya berguna, benar-benar bisa merubah kehidupan orang, biasanya sebelum Abang kasih, survey dulu, Abang kasih ke orang yang benar-benar butuh, misalnya butuh modal mau ternak, modal buka warung. Pokoknya yang bisa merubah orang, kalau dikasih satu juta seorang, percuma, tiga hari sudah habis. Tak ada yang berubah." 

"Ooo," mulutku membulat, andaikan semua orang kaya seperti Bang Parlin, mungkin tak akan ada orang yang terjebak riba karena ngutang modal. 

"Jadi ini enam jutaan, kita kasih siapa, Bang?" tanyaku. 

"Genapkan dua puluh juta, sekalian zakat uang yang di Bank itu, adek yang cari orang yang pantas menerimanya." kata suami. 

Dua puluh juta, harus keberikan kepada satu orang, yang bisa mengubah kehidupan orang? Aku mulai berpikir, siapa ya? adikku? Abangku? entah kenapa yang teringat pertama justru keluarga. tapi apa mereka akan bisa berubah dengan uang dua puluh juta?

"Tak inginkan Abang beli HP?" tanyaku di suatu malam, saat itu dia lagi memperhatikan aku yang lagi berselancar di Facebook. 

"Ada kok, HP Abang,"

"Mana?"

"Ya, itu,"

"Maksudnya HP yang gini, Bang." kutunjukkan HP-ku padanya. 

"Kembali ke kebutuhan dan keinginan, Dek, kebutuhan Abang hanya ditelepon, mau SMS saja Abang kesulitan, buat apa HP begitu," jawab suami. 

"Udah ketemu belum orangnya?" tanya suami lagi. 

"Aku masih bingung, Bang, antara tiga orang, satu Janda, butuh motor untuk jualan keliling, satu lagi seorang anak muda yang butuh uang untuk bayar kuliah kedokteran. Satu lagi seorang bapak tua yang butuh modal buka warung," kataku menerangkan, memang sudah ada tiga kandidat yang akan menerima uang dua puluh juta kami. Aku masih bingung pilih yang mana. 

"Bukan itu, Dek, si Rara itu, Adek bilang hari itu pasti ketemu," kata suami. 

Ih, sebel, ternyata dia masih ingat si Rara. Kucek inbok masuk, memang aku jarang buka inbox. Ternyata ada tiga yang inbok mengaku si Rara. Kuperhatikan satu persatu, ada yang masih sekolah SMA, langsung kuabaikan, sudah pasti bukan dia, yang dicari adalah orang yang berumur sekirra tiga puluh enam tahun. 

(Bang Pain, itu Bang Pain,) ada inbox seperti itu dari sebuah akun bernama Mams Lindung. sudah pasti bukan dia, yang dicari Rara, yang cari Parlin, bukan Pain. 

"Belum ada, Bang, ada yang ngaku Rara, masih SMA, ada yang bilang Pain ...,"

"Itu dia, Rara panggil aku Bang Pain," seru suami. 

Wah, segera kulihat akun Mams Lindung ini, tak ada foto yang jelas. Coba kubalas inboknya. 

(Ini Rara?) 

(Iya, saya Rara, ini istrinya Bang Pain ya) balasnya dengan cepat.

(Iya, Bang Parlin yang gobel kayak Sanjay Dut) 

(Bang Pain, minta izin VC boleh) 

(Boleh, tapi saya gak punya messenger, lewat WA saja,) balasku seraya memberikan nomor WA. 

Lalu datanglah panggilan vc itu. 

"Ini Rara-mu, Bang Pain," kataku seraya menunjukkan pada Bang Parlin. 

"Bang Pain, apa kabar? sehatkah, sudah berapa anakmu," kata Rara dari seberang. 

"Rara, maafkan aku, Rara, rambut Sanjay Dutnya sudah hilang," kata suami. 

Ishh, lebay amat, sih? 

"Kami baik saja, Rara, kabarmu bagaimana?" aku yang menjawab seraya menempelkan badanku ke Bang Parlin. Aku ingin si Rara ini lihat Bang Painnya sudah bahagia. 

"Si Nunung sudah mati, kau lama kali datangnya," kata suami seraya menitikkan air mata. Ah, aku makin kesal, suamiku ini terlalu lebay.

"Kenalkan ini anakku Lindung Cafri," kata Rara seraya menunjukkan seorang anak laki-laki berambut gobel."

"Dah berapa umurnya?" tanyaku karena suami terus saja diam, dia sibuk menghapus air matanya. 

"Lima tahun, namanya diambil dari Parlindungan juga," jawab Rara. 

Ah, dua orang ini lebay betul, punya anak pun ambil dari nama mantan. Entah kenapa aku terbakar cemburu. 

"Bagaimana utangku, Rara, aku merasa tak enak, puluhan tahun kutunggu untuk membayarnya," kata Bang Parlin. 

"Udah, gak apa-apa, melihat kau sukses saja aku sudah senang,"

"Tapi utang tetap utang, Rara,".

" Aku tak pernah anggap itu utang, Bang Pain, ini suamiku," kata Rara seraya menunjukkan seorang lelaki yang lagi tiduran. 

"Oh, ya, kalau kau sudah bahagia, aku juga bahagia, Rara, terima kasih, salam untuk Bapak."

"Akan kusampaikan, Bang Pain, siapa nama kakak itu?"

"Nia," jawabku cepat. 

"Nia, jaga Bang Pain, kau beruntung mendapatkan dia," kata Rara. 

"Iya, Rara."

"Udah, ya, Bang Pain, lupakan saja utangmu itu, aku anggap lunas," kata Rara. 

Sambungan video call pun terputus. 

"Abang dengar itu, Rara sudah bahagia," kataku pada Bang Parlin, matanya masih basah. 

"Percaya gak kau, Dek, Abang tak pernah punya pacar, Abang mau nikah karena ayah,"

"Percaya, Bang, percaya,"

"Ajari dulu Abang main HP, kata Bang Parlin. 

"Jangan, Bang, gak usah, banyak dosanya, banyak godaannya,"

"Berarti banyak dosamu, Dek," 

"Ih, Abang bikin gemas saja," kataku seraya mencolek pipinya. 

Uang zakat dua puluh juta masih di tanganku, belum kuputuskan untuk berikan pada siapa, bingung juga memilih orang yang paling pantas mendapatkan uang dua puluh juta ini, amanah dari Bang Parlin harus bisa mengubah kehidupan seseorang itu.

Abangku yang tertua datang, dia datang bersama kakak ipar, tumben juga, mereka tiba-tiba sudah ramah. Mereka datang  bawa duku dan manggis. Katanya oleh-oleh untuk kami. Kakak ipar yang biasanya selalu menyindir dan sarkas kini super ramah. 

"Eh, Nia, kau makin cantik saja setelah nikah," kata kakak ipar. 

"Hehehe," aku hanya tersenyum. 

"Parlin memang saudara yang baik, dia beli rumah ini, kalau dia tak beli jadi rumah orang lain rumah kita," kats abangku. Aku mulai menduga-duga ke mana arah pembicaraan mereka. 

"Begini Parlin, kami dengar kalian punya sawit yang luas, sapi ratusan, wah, aku senang sekali punya ipar seperti kamu," kata abangku. 

"kami juga mau buka kebun sawit seperti kalian," 

"Oh, ya, bagus itu,"

"Tapi kan kami belum punya lahan, jadi sebai saudara, kami datang minta bantuan modal untuk buka lahan sawit, kalau bisa beli kebun yang sudah ditanami, biar gak capek nunggunya," kata kakak ipar. 

Oh, ternyata karena mau pinjam, makanya ramah. kulihat suami, menunggu jawaban apa yang akan dia berikan. Entah dari mana abangku tahu semua ini. 

"Kedengar kalian mau hibahkan uang, sama kami ajalah, Nia, saudara harus didahulukan lo," kata kakak ipar lagi.

makin ramai lancar..kita lanjut



Kampung Coklat 2021


Suamiku Jadul(13)

                           Anne Kaya yang dermawan, membelikan arloji dan uang saku 200TL



CERBUNG

Suamiku Jadul

Karya; Bintang Kejora

Part 13 (Pemaaf dan tak segan minta maaf)


"Dek, rambutku hilang, Dek," kata suami lagi, dia tampak panik. Badannya masih bersabun ketika membangunkan aku. 

"Mungkin digigit tikus, Bang," kataku sekenanya. 

"Mana mungkin, Dek."

"Mungkin si Rara sudah ikhlas, Bang," kataku lagi. 

"Ini sudah dua puluh tahun, Dek, selalu kujaga tetap seperti ini," kata suami seraya memegang belakang kepalanya. 

"Baik, Bang, aku ngaku aja, aku yang gunting, cemburu aku, Bang, ternyata Abang berambut seperti itu karena orang, cewek pula," kataku akhirnya. 

"Adek kok gitu, sih, egois kamu, Dek." kata suami seraya kembali ke kamar mandi. 

Wah, dia marah, baru kali ini kulihat suamiku marah. Secinta itukah dia sama Rara? Kudatangi Bang Parlin ke kamar mandi, dia masih menatap wajahnya di cermin. 

"Maafkan Adek, Bang, Abang sih buat adek cemburu saja," kataku seraya memeluknya dari belakang. 

"Perlu dua tahun biar tumbuh lagi ini," kata suami. 

"Apa sih istimewanya rambut begitu? seandainya dikumpulkan orang satu dunia ini hanya Abang yang berambut begitu?" aku jadi kesal juga, kulepaskan pelukanku. 

"Aku orang yang setia, Dek, orang yang tepati janji, aku janji pada seseorang akan memanjangkan rambut belakang sampai kami bertemu lagi, ini soal janji, Dek, janji itu harus ditepati, bukan soal cinta," kata Bang Parlin. 

"Abang lebay jadi orang," 

"Lebay itu apa, Dek?"

"Gak tau," kataku seraya balik badan meninggalkan kamar mandi. Aku justru makin penasaran dengan sosok Rara ini, sampai suami setia menunggu begitu lama. Adakah pria begini, setia berambut kuno demi janjinya? Ah, suamiku memang langka, segala yang ada pada dirinya langka. 

Sampai siang harinya, Bang Parlin masih juga memegang belakang kepalanya, aku jadi merasa bersalah juga. Aku akan minta maaf untuk yang kedua kalinya. 

"Bang!"

"Abang minta maaf ya, Dek," kata suami sebelum sempat aku minta maaf. 

"Iya, Bang, adek juga minta maaf, ada kok obat penumbuh rambut biar cepat tumbuh," kataku kemudian. 

"Udah, Dek, gak usah, biarlah, si Nunung juga udah dijual, kok, semua tak harus sama," 

"Si Nunung, apa hubungannya dengan si Nunung?" Tanyaku heran. 

"Nunung itu sapinya si Rara, Dek, dia suruh Abang jaga."

"Oh ..."

"Dulu dia titipkan tiga hal, satu sapi, satu kucing, satu lagi ya, rambut ini, kucing sudah lama mati, Nunung terpaksa dijual karena sudah tua, rambut pun sudah dimakan cemburu," kata suami. 

"Hahaha ... " tawaku lepas juga mendengar Bang Parlin bilang dimakan cemburu. 

"Udah, Bang, aku bantu cari Rara," kataku akhirnya. 

"Bagaimana caranya?"

"Ini, lewat HP, kalau dia masih hidup pasti ketemu," kataku lagi. 

Lalu kuambil foto kami berdua, sengaja kubuat terlihat mesra. Kuposting di Facebook dengan caption: 

(Bagi yang kenal Rara, tolong sampaikan, ini Bang Parlindungan mau tepati janji) 

Kubagikan ke beberapa grup Facebook, berharap dibaca si Rara ini, kasihan suami terus-terusan merasa berhutang. 

Rumah orang tua yang sudah kami beli harus ditempati, tak mungkin dibiarkan kosong begitu. Kami sepakat pindah saja. Ketika sedang mengangkat barang tetangga datang. 

"Mau pindah, Mbak Nia?" tanya tetangga ini. 

"Iya, Bu,"

"Memang kontraknya sudah habis? kalian kan baru empat bulan di sini?" kata tetangga kepo ini lagi. 

"Mau pindah ke rumah orang tua aja, Bu," jawabku lagi. 

"Oh, iya, ya, orang tuanya baru meninggal ya,"

"Iya, Bu, mari, Bu," pamitku kemudian. 

Setelah semua kami angkat dan ketika kami menyusun barang, adik laki-lakiku yang paling bungsu datang. 

"Kak, isi rumah ini juga harus dibagi?" katanya setelah basa-basi sedikit. 

"Isinya?" 

"Iya, kak, tempat tidur dua, sofa ini asli Jepara ini, vespa ayah lagi," kata adikku. 

"Bagaimana membaginya, kita enam orang?" tanyaku lagi. 

"Ya, belilah, Kak, uangnya kita bagi," kata adikku lagi. 

"Iya nanti kita bicarakan, besok kita kumpul di sini," kataku akhirnya. 

"Kasih saja mereka bagi semua, Dek, kita beli yang baru,' kata suami setelah adikku pergi.

Sebenarnya aku malu dengan sifat saudaraku ini, bahkan sofa pun minta dibagi, padahal rumah ini sudah kami hargai lebih, kami tambah dua puluh juta. Akan tetapi dari pada membuat pertengkaran kuiyakan saja permintaan mereka. 

Besok harinya kami berkumpul lagi, kakak yang nomor dua tidak bisa hadir karena sudah pindah ke desa. Seperti biasa abangku yang tertua duluan yang bicara. 

"Permintaan si Bungsu kita harus bagi isi rumah ini, jadi mari kita hitung bersama, baru dibeli Nia," kata Abangku. 

"Boleh bicara?" suami yang angkat tangan. 

"Boleh silakan," 

"Silakan kalian ambil saja semua, kosongkan dari sini, kami tak mau bayar," kata suami. 

"Kok gitu, sombong sekali kau, Parlin," kata kakak ipar. 

Aku juga heran, kenapa tiba-tiba suami perhitungan begini, bagaimana mereka bisa angkat semua, tentu butuh waktu menjualnya.

"Iya, perhitungan sekali kau?" sambung abangku. 

"Yang perhitungan itu kalian, masa belum tiga hari sudah bicara warisan, sama tempat tidur pun kalian hitung, padahal sudah kami tambah harganya kemarin," kata suami. 

Para saudaraku terdiam semua. 

"Ingat pesan Ayah sebelum pergi hari itu, beliau bilang kita harus rukun, jangan saling iri," kata Bang Parlin lagi. 

"Kita kan rukun, yang iri juga siapa? Orang kampung seperti kau mau diiriin?" kata kakak ipar. 

"Udah, terserah kalian," kata Bang Parlin seraya pergi menjauhkan diri. 

Ada apa dengan suamiku ini?  Apakah karena rambutnya? aku lalu mendekati suami. 

"Ada apa sih, Bang? gak biasanya sensi gini?"

"Maaf, Dek, entah kenapa pikiran Abang jadi begini, geram lihat mereka,"

"Biasanya kan Abang sabar,"

"Gak tau juga, Dek," jawab suami seraya memegang belakang kepalanya. 

Duh, apakah karena rambut yang kupotong itu? sebentar sebentar dia memegang kepalanya bagian belakang. Dia seperti kehilangan, seperti bukan dirinya sendiri. Begitu berpengaruhkah rambut gobel itu. 

Saudaraku akhirnya melelang semua barang di rumah itu, semua kosong, bahkan kompor gas pun ikut dijual, luar biasa, aku malu pada diri sendiri, malu punya saudara seperti mereka. 

Seminggu kemudian Ayah mertua datang, aku cukup terkejut juga, beliau datang bersama saudaranya yang Bang Parlin panggil "Bou" itu. 

"Terima kasih, Maen, hebat kau, si Parlin akhirnya mau potong kuncir kuda itu," kata Ayah mertua begitu melihat rambut Bang Parlin. 

"Hehe," aku hanya terseyum simpul, Ayah mertua malah memujiku, padahal butuh drama panjang rambutnya itu akhirnya terpotong. 

"Kami datang mau antar hasil panen sawit, sekalian mau raun-raun," kata Ayah mertua lagi. 

Ayah mertua lalu mengeluarkan uang tunai yang sangat banyak, tempatnya justru di tas kresek hitam. Aku terpana melihat uang yang banyak itu. 

"Ini, Maen, setelah dipotong upah pekerja dan pupuk semua, ini hasilnya," kata Ayah mertua lagi. 

"Kok samaku, Pak," kataku seraya melihat Bang Parlin dan Bou-nya. 

"Dalam rumah tangga itu, istri menteri keuangannya, bendaharanya, sekaligus banknya," kata Ayah mertua. 

Tanganku gemetar menerima uang yang banyak itu. Tak tahu harus bicara apa lagi. 

"Udah, simpan, Dek," perintah suami. Dengan tangan masih gemetar, kuangkat tas kresek hitam berisi uang tersebut, kusimpan di bawah tempat tidur. 

"Ini uang kontrakan rumah," kata Bou itu lagi, seraya memberikan uang. 

Lah, aku bendahara, aku menteri keuangan.

... to be continued 

Suamiku Jadul(16)

 Suamiku Jadul


Part 16


Perkataan Rapi selalu terngiang di telinga ini, dia benar-benar meracuni otakku. Aku terus berpikir ke depan. "Suami itu kalau gak diambil Tuhan ya diambil pelakor" perkataannya itu terus membuat aku was-was. Aku memang harus punya harta sendiri, aku ingin punya rumah atas nama sendiri juga. 


"Bang aku mau buka usaha, boleh?" kataku di suatu malam, saat itu kami lagi tiduran di kamar setelah selesai ... 


"Mau usaha apa, Dek?"


"Apa saja, Bang, adek capek lo di rumah terus,"


"Sebaiknya gak usah, Dek, usaha kita banyak, kok, ada sawit, sapi, apa mau tambah lagi? "


"Tapi, aku capek, Bang, di rumah terus, gak ada kegiatan."


"Sebenarnya Abang gak setuju, Dek, tapi kalau itu maunya Adek ya, silakan saja."


"Gak jadi Bang, kalau Abang gak ridho."


"Kalau Adek bosan di rumah terus, kita jalan-jalan, Dek."


"Jalan-jalan?" 


"Iya, Dek, terserah Adek mau ke mana, Abang ngikut aja, asal jangan ke luar negeri."


Wah, jalan-jalan, tapi ke mana, ya, Bali, Jakarta? Hidupku rasanya terlalu indah, terlalu sempurna. Jalan-jalan pun boleh kupilih ke mana, akan tetapi aku justru ingin segera punya anak, sudah lima bulan menikah belum ada tanda-tanda kehamilan. Apakah aku sudah terlalu tua untuk punya anak? 


Pagi itu masih jam tujuh, Bang Parlin sedang di halaman depan mengurus tanamannya. Dia memang memanfaatkan lahan yang sedikit itu bertanam sayur, katanya untuk cari keringat, karena berat badannya mulai naik. HP jadul suami tiba-tiba berbunyi, ini sesuatu yang jarang terjadi, dalam satu minggu paling ada panggilan dua kali saja. Kulihat di layar HP tersebut tertera nama "Dame" Oh, ini pasti salah satu saudara Bang Parlin. 


"Assalamu'alaikum," kataku seraya menempelkan HP ke telinga. 


"Waalaikumsalam, mana Bang Parlin?" jawabnya dari sana dengan logat batak yang kental. 


"Oh, ini istrinya, Bang Parlin lagi kerja tu," jawabku. 


"Oh, kakaknya itu, salam kenal Kak, aku Pardamean, juru damai di keluarga,"


"Oh, yang tinggal di Riau ya,"


"Pas, sekali, dari Pa Pa itu semua aku yang paling tampan, tapi aku juga yang belum laku,". gokil juga si Dame ini. 


"Riau di mananya?'


"Pelosok, Kak, daerah Rokan Hilir, saking pelosoknya sampai gak ada cewek di sini, kenalin dulu aku boru, Kak,"


"Kau mau cari jodoh gitu?"


"Iya, Kak, tapi yang mau tinggal di rawa, ada gak ya?"


"Tinggal di rawa? siapa yang mau, paling juga buaya betina, hahaha." Entah kenapa jadi cepat akrab dengan si Dame ini. 


"Serius, Kak, cari dulu di sana boru untukku, umurku sudah tiga empat, maunya yang di bawah tiga puluhanlah, yang penting dia mau tinggal di tengah kebun, berteman sapi dan kerbau," 


"Wah, sulit dapat itu, tapi kuusahakan ya, kirim fotomu ke WA-ku serta biodata,  berapa penghasilan juga penting."


"Aku gak punya WA, Kak." Wah, ternyata abang dan adik sama jadulnya. 


"Di sana ada sinyal gak?" 


"Ada, tapi untuk internet masih sulit," 


"Datanglah kau kemari, biar dicari di sini," kataku akhirnya. 


"Itu dia masalahnya, Kak, gak bisa kutinggalkan tempat ini."


"Berarti sulit itu, kau pikir bisa datang cewek ke tempatmu tawarkan diri gitu?"


Bang Parlin datang, "siapa yang nelepon?" tanya Bang Parlin. 


"Ini, si Dame," kataku seraya menyerahkan HP tersebut. Mereka lalu bicara, aku tetap menguping, akan tetapi percuma, biarpun speaker sudah kuhidupkan tetap saja tak kutahu apa yang mereka bicarakan karena mereka memakai bahasa daerah. 


"Bang, dia mau cari jodoh?" tanyaku setelah mereka selesai bertelepon. 


"Iya, nasib kami memang, tak bisa cari jodoh sendiri, semua musti dijodohkan, carikan dulu , Dek, tapi jangan yang cantik," kata Bang Parlin. 


"Hahaha, emang kenapa kalau cantik?" 


"Jangan yang lebih cantik dari Adek, dia itu suka pamer," kata suami, "Eh, tapi gak ada ya, yang lebih cantik dari adek," sambung suami lagi. 


"Hmmmm,"


"Betul, Dek, di mataku adek lah yang paling cantik semua,"


"Gombal,"


Aku dapat misi mencari jodoh untuk Pardamean, wanita yang mau tinggal di lahan sawit yang katanya daerah rawa-rawa. Siapa kira-kira? Coba kutanya Rapi, temanku yang selalu setia menjawab segala pertanyaanku. 


(Rapet, ada gak cewek untuk jadi istri adik iparku, syaratnya di bawah tiga puluhan, mau tinggal di tengah kebun sawit daerah Riau.)  pesanku padanya. 


(Ada, bilang saja si Rina) 


(Mantanmu itu) 


(Iya, biar dia rasakan tinggal di tengah sawit, hidup pelik, berteman kerbau) 


(Jahat kau) 


Akan tetapi boleh juga usul si Rapi ini, Rina adalah temanku yang juga mantan Rapi, Rapi meninggalkannya dan menikah dengan orang lain. Segera ku-chat Rina, dia justru langsung mau dan minta nomor Pardamean. Segera kuhubungi lagi si Dame, menyarankan mereka untuk saling kenal dulu.


Tak disangka seminggu kemudian mereka sudah sepakat akan menikah, maharnya juga sudah disepakati delapan puluh juta. 


(Mahar si Rina lima ekor sapi) pesanku pada Rapi. 


(Siapa juga yang tanya) 


(Pengumuman, biar kau tau orang yang kau sia-siakan dapat yang lebih baik,) 


(Bleh)


Akhirnya disepakati satu bulan lagi Dame akan menikah, kata Bang Parlin akan ada pesta tiga hari tiga malam di kampung. Menurut Bang Parlin lagi, kami juga akan dipestakan ulang, memotong kerbau dan Margondang. Kami memang belum melaksanakan resepsi di kampung suami. Kami juga sudah melakukan pembicaraan dengan keluarga Rina. 


"Kami sekeluarga akan kumpul semua, Dek, pasti seru," kata Bang Parlin. Dia tampak antusias. 


"Memang sekeluarga banyak, Bang?"


"Banyak, Dek, Ayahku tujuh orang bersaudara, laki-laki pula semua, anak-anaknya sudah banyak, kami aja udah empat, ada empat puluh orang nanti."


"Wah, seru juga ya, siapa saja nama saudara Ayah," tiba-tiba aku jadi kepo dengan keunikan nama mereka. 


"Ayah kan Pardomuan, itu yang paling tua, baru udakku Parningotan, terus Perhimpunan, Parlaungan, Partahanan, Parlagutan dan yang paling kecil Pangiutan."


"Hahaha," spontan aku tertawa mendengar nama mereka semua. 


"Kenapa ketawa, Dek?"


"Namanya lucu, gak adakah nama lain?"


"Kok lucu, itu nama semua ada artinya," kata suami lagi. 


"Emang Parlindungan apa artinya?"


"Perlindungan, Dek, sederhana saja, doa orang tua supaya aku bisa jadi tempat berlindung para saudara dan keluarga, atau yang lebih luas, bisa melindungi orang lain,"


"Kalau Pardamean?"


"Itu karena dulu ayahku lagi berselisih dengan pihak Ibu, jadi lahir si Dame, diberi nama Pardamean, dengan harapan lahirnya dia bisa membawa kedamaian,"


Kucoba ketik Parlindungan di kolom pencarian FB, ternyata ratusan orang bernama begitu, bukan nama yang aneh ternyata. Aku justru jadi malu karena namaku tak ada artinya.


"Dek, Abang mau jujur, pernah Abang berbohong,"


"Berbohong, bohong apa, Bang?" hatiku jadi tak tenang, jangan-jangan dia berbohong kalau sudah punya istri lain. Entah kenapa pikiran buruk selalu datang, karena seperti kata Rapi tak ada orang sesempurna suamiku. 


"Janji Adek jangan marah ya?"


"Gak bisa janji, Bang, bilang dulu," jawabku seraya menatap matanya tajam. 


"Janji dulu,"


"Baik, Abang bohong apa?"


"Itu, Dek, waktu abang bawa HP baru, abang bilang hadiah dari toko, itu sebenarnya Abang beli, pengen juga kek orang, WA sepertinya sudah jadi kebutuhan di kota ini bukan lagi keinginan, tapi setelah Abang coba, masukkan e-mail pun Abang sudah bingung," 


"Hahaha, Abang mau WA si Rara ya?"


"Gak, Dek, asal kenalan sama orang semua tanya nomor WA,"


"Ooh, adek juga pernah bohong, Bang,"


"Bohong apa, Dek?"


"Jangan marah ya,"


"Iya, Dek, janji,"


"Waktu kakak ipar bilang pakai gamis tapi tel4njang, sebenarnya bukan karena gak pake emas,"


"Jadi?"


"Karena pakai gamis tapi lekukan tubuh kelihatan, adek malu bilangnya sama Abang,"


"Oh, begitu, rezekimu lah, Dek, akhirnya beli emas yang banyak," 


"Maaf ya, Bang, badan memang sudah begini,"


"Iya, Dek, itu yang membuat Abang jatuh cinta, mirip si Nunung,"


"Ish, Abang!"


"Kalau mau pulang kampung nanti pesta, emasmu harus ditambah lagi, Dek, orang di kampung banyak-banyak emasnya." 


Kukira Bang Parlin akan marah, ternyata tidak, justru emasku akan ditambah. Suamiku memang yang terbaik, kelemahannya hanya satu, yaitu Jadul.


Cacatan kaki: 


Margondang= Pesta adat yang besar. 

Udaku= Pamanku.



Suamiku Jadul(15)

                                                                    Di Pantai Tuban

 Suamiku Jadul

Part 15

Suami melirikku, aku mengerti lirikannya, ya, aku memang salah, sempat aku cerita ke Rapi soal kami mau bayarkan zakat ke satu orang. Mungkin dialah yang cerita ke kakak iparku, sehingga kakak ipar berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi ramah dan tiba-tiba bawa oleh-oleh. 

"Dalam agama juga dianjurkan supaya memberi ke orang terdekat dahulu," kata kakak ipar lagi. 

"Tapi itu zakat, Kak." Bang Parlin akhirnya bicara. 


"Iya, gak apa-apa, zakat pun jadi," abangku tampak semangat.


"Apakah Abang merasa orang yang berhak menerima zakat?" kata Bang Parlin lagi. 


Abang dan kakak iparku terdiam, mereka menunduk. 


"Karena kebetulan Kakak singgung soal agama, menurut agama kita orang yang berhak menerima zakat adalah. Fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, Gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil, itu kata Allah dalam al-quran, surat At-Taubah ayat 60. Jadi pertanyaanku adakah diantara yang delapan itu termasuk Abang, apakah Abang fakir, apakah Abang miskin, atau mualaf, atau barangkali fisabilillah?" kata suami lagi. 


Aku sampai melongo mendengar Bang Parlin bicara, makin yakin saja dia pernah mondok lima tahun, cara dia bicara mirip ustadz. Abang dan kakak ipar seperti kena mental, tak  bicara lagi. 


"Bergayalah sesuai isi dompet, kalau sampai minta warisan, minta zakat untuk gaya hidup, maaf, Bang, Kak, itu memalukan," kata Abang Parlin lagi. 


"Ya, udah, kami permisi dulu," kata abangku akhirnya. Baru kali ini kulihat abang dan kakak iparku seperti ini, biasanya, abangku orang yang pandai bicara. Kini baru satu ayat dibilang Bang Parlin, dia sudah seperti kena mental. 


"Maaf, Bang, hari itu kubilang si Rapi kita mau bayar zakat untuk satu orang, minta bantuan dia untuk menyelidiki orang yang aja kita bantu," kataku pada suami berharap dia tak marah. 


Aku tak menyangka Rapi akan bicara ke kakak ipar, memang aku juga salah, tak kubilang kalau ini rahasia. Ah, kadang sebel juga punya suami begini, orang kasih zakat sedikit saja sudah pakai pengumuman di medsos, ini musti diam-diam. Kadang sesekali ada juga keinginan untuk pamer. Entahlah. 


"Kenapa sih, Bang, harus diberikan ke satu orang, kita berikan saja ke panti asuhan, atau Lembaga Amil zakat resmi, kita jadi gak pusing." tanyaku pada suami. 


"Karena begitu yang kudapat, Dek, karena ada orang yang memberikan zakat dengan cara seperti itu pada Abang dulu, makanya Abang bisa begini, abang ingin berbuat seperti itu juga, biar ada yang terselamatkan kehidupannya," kata suami. 


"Pasti si Rara," kataku kemudian. 


"Bukan, Dek, orang tuanya, dia dokter puskesmas di desa dulu, dia yang berbuat begitu pada Abang, Abang dikasih lahan, ketika abang mau bayar kembali pada bapak itu, dia justru bilang begini, "Nanti kalau kau sukses, lakukan seperti yang kulakukan padamu, modali orang yang benar-benar mau berusaha, anggap saja Zakat, harta bersih, orang terbantu." kata Bang Parlin. 


"Oh, begitu,"


"Orang yang sudah kubantu pun pesan kita begitu, bila dia sukses, lakukan seperti yang dia dapatkan, jadi semacam arisan berantai, Ayahnya Rara bantu aku, setelah aku sukses, kubantu minimal tiga orang, yang tiga orang ini bantu tiga orang pula, begitu seterusnya, jadi ini akan menyebar, akan banyak orang yang terbantu."


Metode kebaikan yang sederhana, tapi hasilnya sangat nyata, luar biasa, aku jadi penasaran siapa pencetus ide tersebut, apakah Ayah Rara?


"Hebat sekali Ayah Rara ini ya, Bang, aku jadi penasaran ingin bertemu, ide kebaikannya bagus," kataku pada suami. 


"Bukan ide dia, dia pun dapat begitu, ada orang yang bantu dia kuliah kedokteran, baru bapak itu bantu tiga orang, Abang salah satunya,"


"Andaikan orang kaya begitu semua ya, Bang,"


"Iya, Dek, tapi Abang tak berhasil, yang Abang bantu sudah banyak, tapi mereka belum bisa seperti yang dipesankan, bahkan ada yang justru setelah kaya kawin lagi sampai tiga," kata Bang Parlindungan. 


Akhirnya kuputuskan berikan uang dua puluh juta kepada seorang janda dengan empat orang anak, dia butuh motor untuk usaha dagang onlinenya. Aku pelanggannya, masakannya enak, bila aku pesan, dia selalu antar dengan jalan kali. 


"Bu, ini uang dua puluh juta, untuk ibu sebagai modal jualan dan beli motor," kataku ketika memberikan uang tersebut. 


"Maaf Bu Nia, aku gak berani utang," katanya. 


"Bukan utang, Bu, ini zakat," kataku. 


"Alhamdulillah," katanya seraya berurai air mata. 


"Bagaimana aku bisa membalas kebaikan Bu Nia?" 


Aku lalu teringat metode yang dikatakan Bang Parlin, ingin kucoba juga. 


"Gak usah, Bu, tapi bila Ibu sukses suatu hari nanti, bantulah orang yang betul-betul butuh bantuan, jadi bayarnya bukan ke kami, tapi entah pada siapa saja yang butuh bantuan," kataku lagi. 


"Sekali lagi terima kasih, Bu." katanya kemudian. Ada rasa bahagia tak terlukiskan, tak tertulis dengan kalimat. Ternyata begini rasanya bahagia bila bisa membantu orang. 


"Sudah beres, Bang," laporku pada suami. 


"Alhamdulillah, sama siapa jadinya?" tanya suami. 


"Itu, Bu Rena, yang suaminya baru meninggal, anaknya empat," 


"Oh, alhamdulillah, membantu janda memang tak harus menikahinya," kata Bang Parlin. 


"Emang abang mau nikahi janda?"


"Gak lah, Dek, siapa bilang?"


"Kenapa Abang bilang membantu janda tak harus menikahinya?"


"Abang salah omong apa Adek yang salah mengerti?"


Kami mulai dikenal sebagai keluarga tajir, makin banyak orang datang meminta. Saudara-saudaraku juga berubah jadi tiba-tiba baik. Akan tetapi selalu saja ada mulut yang nyinyir karena memang kami terlihat tak pernah kerja. Kemana-mana selalu bersama, kegiatan suami justru bertanam sayur di halaman rumah kami. 


(Niyet)  pesan WA dari Rapi. 


(Apa Rapet) 


(Bukan mau ngompori ya) 


(Ya, ada apa, Rapet) 


(Rumah tangga itu tak kita tahu bagaimana ke depannya, sekarang kalian baik, siapa tahu nanti kalian cerai) 


(Hei, Rapet, rumah tanggamu aja, urus) 


(Gitu kau, kan, padahal niatku ingin membantu kau, Niyet,) 


(Bantu apa) 


(Bagaimana seandainya kalian cerai? apa sudah ada persiapan?) 


("Persiapan seperti apa) 


(Capek kali ngomong sama kau, Niyet, kalau kalian berpisah, itu pasti, kalau tak direbut pelakor suamimu ya diambil Tuhan, perpisahan itu pasti terjadi, kalau itu terjadi, apa kau sudah ada persiapan?) 


(Berbelit-belit kau, Rapet, bilang aja langsung) 


(Gini, Niyet, sudah adakah harta yang atas namamu, karena harta suamimu bukan percarian kalian bersama, bila tak ada, hartanya nanti ya kembali ke orang tuanya, kau tinggal gigit jari, bangun rumah atau beli tanah atas namamu, hanya untuk jaga-jaga)


(Repot kali kau Rapet, harta orang kau urusi) 


Akan tetapi dalam hati aku mengakui kebenaran kata-kata Rapi. Aku datang Bang Parlin sudah kaya raya, bagaimana kalau kami cerai? siapa tahu semakin ke sini dia mulai berubah, siapa tahu nanti ada pelakor yang bisa mencurinya, siapa tahu dia nanti mau poligami?  Ah, di Rapet telah meracuni pikiranku. 


Aku terkejut Bang Parlin pulang dari pasar bawa HP baru, padahal dia tadinya mau beli obat pertanian yang mau dikirim ke kampung. Apakah suamiku sudah mulai berubah, tak bisa kubayangkan dia punya akun Facebook. 


"Dek, ini HP untukmu saja, hadiah dari toko China itu tadi, HP-mu sudah buluk itu," kata suami. HP-ku ini memang sudah tiga tahun. 


Duh, ternyata aku yang selalu berburuk sangka pada suami. Segera kupeluk suami dan mengucapkan terima kasih. 


"Ada apa ini, Dek, masih siang ini udah peluk-peluk, nanti malam bagianmu, Dek," kata suami. 


"Aku ingin punya anak, Bang," kataku. 


"Iya, Dek, abang juga ingin punya anak, tapi nanti malam kita bikin anak ya, sekarang masih panas,"

Suamiku Jadul (12)

 Cerbung 

Suamiku Jadul

Karya: Bintang Kejora

Part 12 


Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh puluh lima juta,yangperempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Niamemberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lamapula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpunsaudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadiperhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah dua puluh juta gak minta hitam putih kau," kata kakak iparku. "Beda, itu memberikan, sedangkan ini jual beli," kata Bang Parlin. "Oke, pergi beli kertas sama meterai," perintah Bang Julham pada adikbungsuku. Begitulah akhirnya, kami berikan uang tersebut, ada surat perjanjian bermaterai. Ternyata kalau soal jual beli Bang Parlinsangat hati-hati, tidak percaya walau padasaudaraku sendiri. Sementara itu abang iparku betul-betul berhenti kerja, dia datang lagi setelah rumah merekadi-overkreditkan. "Parlin, aku ikuti saranmu, kami mau pindah ke desa, mana lahan yang kaujanjikan," kata Abang ipar. "Oh, sebentar ya," kata suami serayamengambil kertas dan menulis sesuatu. "Temui ayahku, namanya Pardomuan Siregar, kasih surat ini, ini alamatnya," kata suami sambil menyerahkan surat tersebut. Abang iparku pulang, kakak mengirim pesan perpisahan di grup WA keluarga. "Abang akan ketahuan," kataku pada suami, saat itu kami lagi tiduran di depan TV, aku main HP, sedangkan Bang Parlin nonton TV. "Kakakku pasti nanti cerita kalau sudah di kampung, Abang ketahuan punya sapi banyak," kataku lagi. "Memang Abang gak pernah pura-pura, kok, cuma gak pamer aja," kata suami. "Bang, Abang pande nyanyi ya, pande main seruling, pande baca doa," kataku seraya membaringkan kepalaku di pangkuannya. "Iya, Dek, kalau lagi menggembalakan sapi hanya itu hiburan." "Abang pande ngaji," 'Ya, pande lah, Dek, abang pernah lima tahun di pesantren." "Pesantren mana?" "Purba baru," 'Oh, itu, aku pernah dengar, terus kenapa gak sampe tamat," "Orang tua gak sanggup biayai lagi, Dek, aku terpaksa putus sekolah," "Terus, bagaimana ceritanya biar bisa punya sawit luas," "Pertama sistem bapak angkat, ada pemodal yang biayai Abang buka kebun sawit, setelah panen dibagi dua, Abang buka sepuluh hektar, setelah panen, pemodalnya malah berikan semua ke Abang, mereka pindah ke jawa, gak pernah kontak lagi setelah itu." Bang Parlin mulai cerita. "Baik kali dia." "Iya, Dek, sangat baik, Bapak itu dokter yang bertugas di puskesmas desa kami. Bapak itu sangat berjasa pada kami, putrinya juga baik, dia suka kasih Abang uang," lanjut suami. "Putrinya?" "Iya, Dek, Rara namanya, dia suka nonton film India, adek tau Sanjay Dut, itu aktor kesukaannya. Hanya di rumahnya yang ada video di desa kami, jadi kami selalu nonton video di rumahnya." "Oh, sekarang udah di mana si Rara itu?" kataku seraya ketik Sanjay Dut di google, penasaran juga aku siapa aktor Sanjay Dut ini. "Itulah, setelah mereka pindah, tak pernah lagi bertemu, bertahun-tahun kutunggu, masih ada utangku sama si Rara, dia gak pernah pulang lagi," kata suami. Entah kenapa ada rasa cemburuku sedikit ketika dia sebut Rara, apakah Rara ini orang dari masa lalunya? Pencarian Sanjay Dut dapat, aku terkejut dengan aktor tersebut, model rambutnya persis model rambut suami. Gobel. Inikah penyebab suami selalu berambut gobel? Kuketik Rara di kolam pencarian FB, ada ratusan bernama Rara, entah kenapa aku cemburu pada Rara ini, begitu kuat pengaruhnya sampai suami setia dengan rambut gobel. "Rambut ini permintaan Rara ya?" tanyaku pada suami.


'Iya, kok tau, Dek?" "Abang lama nikah karena tunggu dia ya?" Tanyaku lagi. Suami diam, tak menjawab pertanyaanku lagi. Ternyata selama ini ada Rara di hati suamiku. "Seperti apa wajah si Rara ini, Bang?" tanyaku lagi. "Dia putih, matanya sipit, rambutnya panjang, kalau senyum ada lesung pipinya pokoknya cantik," Ah, aku jadi panas suami menyebut Rara ini cantik. "Ini Rara?" Tanyaku pada suami seraya menunjukkan foto dari Facebook. "Bukan," "Ini?" "Tidak," "Pasti ini, yang ini ada lesung pipinya," "Bukan, Dek," "Baik Bang berarti si Rara ini sudah tak ada dia tak lihat lagi rambut Abang sekarang yang ada Nia aku gak mau Abang rambut begitu lagi potong itu"

Baik, Bang, berarti si Rara ini sudah tak ada, dia tak lihat lagi rambut Abang, sekarang yang ada Nia, aku gak mau Abang rambut  begitu lagi, potong itu. "Jangan, Dek, jangan," kata suami seraya memegang rambutnya. "Potong, Bang," "Jangan," "Masa lalu biarlah berlalu, Bang, biarpun dia baik, akulah jodohmu, Bang, bukan si Rara, si Rara ingin rambut gobel, tapi aku tidak. Kalau bicara masalah mantan, aku juga punya, Bang, bahkan banyak lagi, tapi kulupakan semua, hanya Abang yang ada dalam hatiku, Bang lupakan Rara ya, Bang," kataku dengan sedikit emosi. "Jujur aku cemburu pada Rara, Bang, begitu setianya abang berambut gobel karena dia, padahal dia mungkin tak peduli lagi sama abang, buktnya dia tak pernah pulang, apakah abang yakin si Rara itu kenal lagi sama abang, aku yakin dia sudah lupa, di Jawa banyak cowok, dia putri dokter, pasti berpendidikan juga," kataku lagi seraya melihat suami, ternyata aku bicara sendiri. Pria jadul itu sudah tertidur. Sebel! Pikiran jahat tiba-tiba muncul di kepalaku, akan kepotong rambut gobel itu, aku cemburu, ternyata dia berambut seperti itu karena permintaan cewek, dua puluh tahun dia setia berambut seperti itu. Wah, kesetiaan yang luar biasa. Aku berdiri dengan perlahan, kuambil gunting dan .... Sreekkk ...! Rambut gobel itu kepotong habis, Bang Parlin tidak terbangun sampai rambut bagian belakangnya habis. Aku pun tertidur. "Dekkk ...!" terdengar suara keras suami ketika subuh tiba. Saat itu dia masih di kamar mandi. Aku tahu apa yang akan terjadi, takut juga aku mendengar suara suami memanggil, akhirnya aku pura-pura tidur. "Dek, rambutku hilang," kata suami seraya mengguncang bahuku. Aku tetap diam. "Dek, rambutku, Dek." Ya, Allah, sesayang itukah dia pada rambutnya, atau sayangpada orang yang menyuruhnya berambut begitu?




Suamiku Jadul (11)

CERBUNG

Suamiku Jadul 

Karya: Bintang Kejora

_Part 11 (Ide cerdas dan Pinter memimpin doa)


 Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. 

"Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. 

Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin akan jujur? Atau dia teruskan candaannya?

 "Sebenarnya bukan ngepet, Bang, tapi pedet," kata suami.

 "Pedet? maksudnya anak sapi gitu?" 

"Iya, Bang, sapi pedet bisa menghasilkan uang yang banyak," jawab suami. 

Sementara aku terus menyimak pembicaraan mereka, baru ini kutahu pedet itu anak sapi. 

"Bagaimana caranya?" tanya Abang ipar. 

"Iya, mudah saja, pelihara sapi pedet sepuluh, dalam setahun utang kalian bisa lunas," kata suami. 

"Kok bisa gitu?" 

"Iya, bisalah, modal pedet hanya sekitar lima juta satu ekor, Abang besarkan selama setahun lebih, sudah bisa dijual enam belas juta. Untung sebelas juta satu sapi, kali sepuluh sudah seratus sepuluh juta, utangnya gak sampe segitu kan?" kata suami. 

Abang iparku menganggukkan kepala, dalam hati aku memuji suamiku ini. Ternyata bisa juga dia cari solusi. Ngepet dia pelesetkan jadi pedet. 

"Tapi aku kerja, Parlin, lagian mana ada modal," kata Abang iparku lagi. 

"Bukan maksud menghina ya, Bang, tapi kerja satpam itu susah meningkatnya, sepuluh tahun Abang kerja paling jadi kepala satpam, tetap makan gaji, kalau pedet dalam sepuluh tahun Abang sudah bisa menggaji orang, terus sesuaikan pendapatan dengan keinginan serta kebutuhan, misalnya gaji hanya empat juta, ngicil rumah dua juta setengah, itu sama dengan mengikatkan tali ke leher kita," kata suami lagi. 

Aku kembali manggut-manggut, tak kusangka pria jadul ini bisa bicara seperti ini. Orang desa yang biasa bergelut dengan rumput tiba-tiba jadi penasehat.

 "Tapi sudah terlanjur dikredit, tujuh tahun lagi lunas," kata Abang ipar.

 "Jual saja, uangnya bayar utang semua, sisanya untuk pedet, soal lahannya aku bisa cari," kata suami.

 "Dalam tujuh tahun Abang bisa beli rumah lebih dari itu, tak pusing mikirin utang," sambung suami lagi.

 "Terima kasih, Parlin, sungguh pembicaraan ini membuka mataku, jujur, aku sudah tersiksa kerja satpam ini, mikirin utang yang menggunung," kata Abang ipar seraya menyalami suamiku. 

Setelah Abang itu pulang, kutatap suami dengan pandangan penuh selidik, entah kerasukannya suamiku ini, tiba-tiba bisa jadi motivator hebat. 

"Apa tengok-tengok, Dek?"

 "Ini masih Bang Parlindungan Siregar kan?" kataku seraya mendekatkan wajah ke wajahnya. 

"Bukan, ini Ardi Bakrie suaminya Nia Ramadani," kata suami seraya menaik-turunkan alisnya.

 "Abang bikin adek gemas aja," kataku seraya mencubit kedua pipinya. 

Kami habiskan malam dengan canda dan tawa, aku jadi lupa akan kesedihanku yang baru ditinggal Ayah. Teringat pesan terakhir almarhum ayah, beliau bilang supaya kami rukun, jan saling iri. Akan tetapi tampaknya ini berat. Saudara tentu saja akan iri bila tahu suamiku seorang milyarder. Dari semua saudara, aku hanya cocok dengan Ria, adik perempuanku. Hanya dia yang mau bela aku bila dopojokkan saudara yang lain. Keesokan harinya kami ke rumah orang tua, setelah sebelumnya mencairkan uang tiga ratus juta, untuk membayar rumah tersebut. ada acara tahlilan ketiga malam harinya, tentu saja kami akan masak.

Ketika kami sedang sibuk di dapur, kakakku datang, suaminya tidak ikut, dia terlambat mungkin, akan tetapi begitu datang, bukannya membantu, malah marah-marah pada Bang Parlin.

 "Hei, Parlin, kau apakan suamiku, kau yang nganggur kau ajak orang nganggur, gara-gara kau gak mau dia kerja lagi, dia sudah mengajukan surat pengunduran diri," kata kakakku.

 "Gak ada kuapain, Kak, dia minta diajari pedet," jawab suami. 

"Pedet? apaan itu," kakak Ipar--istri dari Abang tertua ikut bicara.

 "Sodaranya ngepet, cara jitu dapat uang," aku yang menjawab. 

Para saudaraku tampak bingung, kakakku menarik tanganku menjauh dari orang ramai. 

"Nia, abangmu seketika berubah, dia tak mau kerja, rumah pun mau dia jual over kredit, mau pindah ke kampung katanya, padahal kusuruh dia ke rumah kalian belajar ngepet, malah berhenti kerja,"

"Turuti saja apa kata Abang, bila dia jual rumah, biarkan, dari pada hidup tak tenang," kataku.

 "Aku akan jadi orang kampung," kata kakak, raut wajahnya tampak sedih.

 "Orang kampung itu bukan sesuatu yang memalukan, Kak, aku sudah ke sana, pekerjaan paling mulia itu petani," kataku lagi.

 "Entahlah, Nia, abangmu ancam menceraikan aku bila aku tak menurut," kata Kakak lagi. 

Dih, ternyata sampai segitu seriusnya Abang iparku itu. Perkataan Bang Parlin ternyata benar-benar membuka matanya. Malam harinya ketika tahlilan diadakan, hujan gerimis turun, entah karena apa, orang yang biasa membaca doa tidak datang. Ada empat orang yang biasa bawa doa, akan tetapi kebetulan tak ada yang datang. Para tamu saling suruh, tak ada yang baca doa lalu seorang pria berkata. 

"Ustaz kita tak ada yang datang, jadi untuk baca doa sebaiknya tuan rumah saja," kata pria itu. 

Semua mata lalu mengarah ke abangku, sebagai yang lebih tua dia kami harap bisa bawa doa, akan tetapi dia malah menyuruh adikku, adikku menyuruh adiknya lagi. Tak ada ternyata keluargaku yang bisa baca doa, malunya kami. Akan tetapi suami menyelamatkan muka kami, dia raih mikropon, lalu mulai baca doa. Ya, Allah, ternyata suamiku bisa, suaranya juga merdu. Tak kusangka, sungguh tak kuduga, ternyata dibalik rambut gobelnya dia menyimpan otak yang cemerlang. Aku sampai menangis ketika suami menyebut nama ayah di dalam doanya. Abang Gobel, kau selalu membuat aku meleleh.


... to be continued

                                                Kembar persiapnan PAS kls 7


Suamiku Jadul(10)

 CERBUNG

Suamiku Jadul

Karya: Bintang Kejora

_Part 10


Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. 


"Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. 


"Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. 


"Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. 


"Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. 


"Kok benci Abang, emang Abang salah apa?"


"Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju."


"Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,"


"Lo, Abang kan gak salah?"


"Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,"


"Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. 


Kami pun pulang ... 


Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam hari, biarpun tak mereka tegur, kami tetap datang. Hingga malam kedua, adikku yang paling bungsu bicara pada kami. 


"Kata Abang habis tahlilan nanti jangan langsung pulang dulu, kita musyawarah," kata adikku tersebut. 


Aku dan suami menurut saja, setelah semua orang pulang, kami pun berkumpul di ruang tengah. 


"Begini, besok malam kan malam ke-tiga tahlilan, seperti tradisi di sini akan ada nasi berkat serta kue-kue, jadi kita butuh dana sekitar dua juta," kata Abang yang tertua. 


"Urusan dana kalian lah dulu yang lumayan itu," langsung disambut kakakku yang nomor dua. 


"Kamipun lagi susah, tambah lagi ini bulan tua," kata adikku. 


Aku dan suami tetap diam, ingin rasanya aku membantu, tapi takut mereka tuduh pula uang ngepet. 


"Jadi bagaimana? kita tiadakan saja?" kata Abang tertua. 


"Emangnya uang kemalangan tidak ada?" aku akhirnya bicara juga. 


"Ada, tapi kan sudah habis untuk biaya ini dan itu," jawab adikku. 


"Berapa yang dibutuhkan?" tanya suami. 


"Kan udah dibilang, sekitar dua juta," jawab kakakku. 


"Kami talangi semua, ambil duitnya, Dek, uangmu bikin, nanti uangku dikira pula hasil ngepet," kata suami. 


Semua terdiam, aku keluar untuk mengambil uang ke ATM, kali ini aku pakai ATM-ku, karena uangku juga masih ada, ditambah lagi kalau uang sapi itu sudah masuk. 


Aku terkejut melihat saldo ATM-ku, kukira uang sapi itu hanya sekitar dua puluh juta, ternyata saldoku sudah tujuh puluh juta, seumur hidup belum pernah aku punya uang segitu. Aku ambil seperlunya saja, dua juta sesuai permintaan mereka. Aku kembali dan memberikan uang tersebut pada abangku yang tertua. 


"Satu lagi, kebetulan kita semua di sini, aku ingin bicara perihal warisan, seperti kita tahu, warisan orang tua kita hanya rumah ini, jadi biar bisa dibagi, kita jual saja, taksiranku rumah ini laku tiga ratus juta, kita bagi sesuai kebiasaan saja, yang laki-laki dapat tujuh puluh juta seorang yang perempuan dapat tiga puluh juta" kata Abang tertua. 


"Aku gak setuju rumah ini dijual, banyak kenangan di sini," kata adik perempuanku. 


"Jadi bagaimana, kan gak mungkin kita belah membaginya?"


"Biarkan saja di sini, siapa yang mau tinggal boleh," kata adikku lagi. 


"Tapi kami lagi butuh uang ini," sambung adik iparku. 


"Udah, aku yang beli, tapi dua ratus juta, itupun uangnya dua bulan lagi," kata kakakku. 


Aku kenal kakakku ini, dia tukang ngutang, uangku pun sudah sering dia utang dan tak pernah dibayar. Dugaanku dia mau gadaikan rumah ini dulu baru uang gadainya dia kasih kami bagi. 


Suami lalu berbisik ke telingaku, "bilang kita yang beli," bisik suami. 


'Kenapa bukan abang yang bilang," jawabku sambil berbisik. 


"Ini rumah kalian, Abang gak boleh ikut campur," kata suami masih dengan berbisik. 


"Baik, kami yang bayar tiga ratus juta," kataku kemudian. 


"Tunai?" tanya kakak iparku. 


"Ya, tunai,"


"Dari mana pula kalian ambil uang segitu?" kakak ipar ini memang bicaranya selalu merendahkan.


"Mudah saja, aku ngepet dulu malam ini, besok pagi sudah ada uangnya, kami tambah jadi tiga ratus dua puluh juta." suami tiba-tiba bicara membuat semua mata melihat ke arahnya. Kucubit paha suami, gemas juga, dianggap orang dia miskin, dia terima, dianggap orang dia ngepet malah dia iyakan.


"Bagaimana? kalau ditunggu sampai laku, bisa sebulan, dua bulan, bahkan bisa tahunan, dijual cepat pasti murah, sementara kalian butuh uang, jadi aku ngepet saja, urusan dosanya biar aku yang tanggung," kata suami lagi. 


Semua terdiam. 


"Baik, kita sepakati, tapi harus besok pagi uangnya," kata abang yang tertua. 


"Pagi sekali tidak bisa, karena siang dulu baru bisa kembali jadi orang," kata suami lagi. Aku makin gemas, kucubit pahanya makin keras. 


"Aduh!" Bang Parlin akhirnya mengaduh juga. 


Rapat ditutup, kamipun pulang, dalam perjalanan pulang kuomeli suami habis-habisan. 


"Apa sih susahnya bilang sawit Abang luas, sapi Abang banyak?" kataku seraya mengemudi. 


"Abang kesal, Dek, belum tiga hari mereka sudah bicara warisan," kata suami. 


"Iya, gak gitu juga kali, masa Abang bilang Abang ngepet?"


"Abang itu sesuai anggapan orang, bila dianggap orang Abang miskin, ya, miskin, dianggap orang kaya, ya, kaya."


"Abang aneh,"


"Ha, itu satu lagi, bila dianggap adek Abang aneh, ya, Aneh," kata suami. 


Aku makin gemas saja. 


Sampai di rumah aku masih terus mengomel, akan tetapi suami malah ngajak bercanda. 


"Jaga lilin ya, Dek, Abang pergi dulu cari uang," kata suami, kubalas dengan lemparan bantal.


"Jangan sampai lilinnya mati, ya, Dek," katanya lagi seraya menghidupkan lilin. Ini suami ternyata bisa juga bercanda, tuduhan orang pun dia buat sebagai candaan. 


Tok ... tok ... 


Terdengar suara ketukan di pintu diiringi suara salam dari seseorang. Segera kubuka pintu ternyata abang Ipar-suami dari kakakku yang datang. Saat itu suami masih memegang lilin candaannya. 


"Ada apa, Bang, silakan masuk," kataku kemudian. 


"Parlin, tolong dulu aku, aku sudah lelah dikejar utang terus, ajari dulu aku ngepet," katanya setelah duduk. 


Aduh, Abang ipar ini ternyata menganggap Bang Parlindungan bicara serius, harus bagaimana lagi ini, kebetulan pula dia lihat suami memegang lilin. 


"Kakakmu banyak utang, Nia, di mana-mana utangnya berserak, makan pun jadinya tak enak, tidur tak bisa nyenyak, aku sudah putus asa," kata Abang iparku ini lagi. 


Kulirik suami dia justru memegang mulutnya  menahan tawa.


... to be continued


                                            Bersama U. faurida, U Sakinah dan U Arum