Jilbaban
Sejak
SMA kelas 1 aku sudah bergaul dengan seksi kerohanian Islam. SKI dibimbing oleh
alumni SMA 1 yang sedang kuliah kedokteran, namanya mbk Laili. Aku sering
diajak mengkaji islam baik di rumahnya daerah Cabean maupun dating tiap Sabtu
di masjid SMA1. Mbak Laili termasuk pelopor jilbab pertama
kali di sekolahku. Dialah yang mengajak aku berjilbab hingga aku nekat untuk
berjilbab saat di sekolahku dilarang. Akhirnya setelah aku kuliah baru aku tahu
bahwa aliran ngajinya mbak Laili itu Tarbiyah yang agak keras.
Aku
memakai jilbab sejak kelas 2 semester 2. Perang batin “kamu kalau pakai jilbab
harus berlaku alim lo ya, gak boleh pacarana, gak boleh nyontek dan tanya teman
waktu ujian” meskipun aku juga tidak pernah pacarana dan tidak juga mencontek,
namun doktrin itu ikut berperang dalam benakku. Aku di ajak diskusi sama
keluarga pak Puh Sardji yaitu mas Gunawan “Kamu itu berjilbab alirannya siapa
Sri?, kalo kamu mau jilbaban itu harus hafal kitab-kitab dalam agama kita, apa
ilmumu tentang kitab islam sudah memenuhi?” uhhh itu kata-kata yang pedas
menghantam telinga dan hatiku.
Keluarga
pak puh Sartam juga menggembosi aku “Kalo kamu jilbaban, itu akan kesulitan
mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan suami, lagian ilmu agamamu sudah seberapa
dalam seh?” Uh ini pedas dan kedonyan.
Sampai-sampai saat aku lulus SMA disuruh mendaftar di STAN dan saat mendaftar
di Malang kantor Pajak dekatnya terminal Arjosari aku tidak diijinkan pakai
jilbab. Aku sangat malu dan takut ketemu teman teman SMA ku yang saat itu juga
mendaftar di sana. Aku berusaha menyembunykan mukaku supaya tidak dikenali. Hal
ini terjadi kedua kalinya saat ujian. Selain takut ketahuan aku buka jilbab,
aku juga takut ketahuan karena aku sudah diterima di UB jurusan MIPA biologi
jalur PMDK/Penjaringan Minat dan Kemampuan kalau sekarang jalur Undangan.
Aku
tetap nekat walaupun bapak dan emak tidak menyetujui karena dasarnya sudah
jelas bahwa “jilbaban itu wajib, Ketika ortu tidak menyetujuinya boleh kita
sebagai anak melakukan tetap kewajiban kita dengan tetap menghormati bapak dan
ibu” demikian mbak Laili menguatkan aku Ketika aku galau untuk terus berjilbab
atau berhenti dan menuruti keluarga. Akhirnya aku nekat dengan menjual giwangku
untuk membeli seragam sekolah, karena aku tidak mau merepotkan emakku hanya
karena menuruti keinginanku untuk membeli seragam lagi padahal seragam sudah
ada…..
Alhamdulillah
jaman itu masih bisa dihitung jari siswi SMA 1 yang memakai jilbab, diantaranya
adalah teman sekelasku Ida yang sadar karena kakaknya yang bernama mas Ibnu
Bintarto termasuk juga aktivis keislaman di kampusnya. Jaman itu hanya orang
aktivis dan yang sudah diwarnai oleh para aktivis itu yang berani berjilbab.
Rasanya
sangat beda sebelum jilbaban dan sesudahnya. Orang tidak berani sembarangan
mencolek, walaupun dulu aku juga tidak termasuk yang sering dicolek sih, namun
mata memandangku sudah tidak nakal lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar