Kamis, 16 September 2021

Jilbab

 





Jilbaban

Sejak SMA kelas 1 aku sudah bergaul dengan seksi kerohanian Islam. SKI dibimbing oleh alumni SMA 1 yang sedang kuliah kedokteran, namanya mbk Laili. Aku sering diajak mengkaji islam baik di rumahnya daerah Cabean maupun dating tiap Sabtu di masjid SMA1.   Mbak Laili termasuk pelopor jilbab pertama kali di sekolahku. Dialah yang mengajak aku berjilbab hingga aku nekat untuk berjilbab saat di sekolahku dilarang. Akhirnya setelah aku kuliah baru aku tahu bahwa aliran ngajinya mbak Laili itu Tarbiyah yang agak keras.

Aku memakai jilbab sejak kelas 2 semester 2. Perang batin “kamu kalau pakai jilbab harus berlaku alim lo ya, gak boleh pacarana, gak boleh nyontek dan tanya teman waktu ujian” meskipun aku juga tidak pernah pacarana dan tidak juga mencontek, namun doktrin itu ikut berperang dalam benakku. Aku di ajak diskusi sama keluarga pak Puh Sardji yaitu mas Gunawan “Kamu itu berjilbab alirannya siapa Sri?, kalo kamu mau jilbaban itu harus hafal kitab-kitab dalam agama kita, apa ilmumu tentang kitab islam sudah memenuhi?” uhhh itu kata-kata yang pedas menghantam telinga dan hatiku.

Keluarga pak puh Sartam juga menggembosi aku “Kalo kamu jilbaban, itu akan kesulitan mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan suami, lagian ilmu agamamu sudah seberapa dalam seh?”  Uh ini pedas dan kedonyan. Sampai-sampai saat aku lulus SMA disuruh mendaftar di STAN dan saat mendaftar di Malang kantor Pajak dekatnya terminal Arjosari aku tidak diijinkan pakai jilbab. Aku sangat malu dan takut ketemu teman teman SMA ku yang saat itu juga mendaftar di sana. Aku berusaha menyembunykan mukaku supaya tidak dikenali. Hal ini terjadi kedua kalinya saat ujian. Selain takut ketahuan aku buka jilbab, aku juga takut ketahuan karena aku sudah diterima di UB jurusan MIPA biologi jalur PMDK/Penjaringan Minat dan Kemampuan kalau sekarang jalur Undangan. 

Aku tetap nekat walaupun bapak dan emak tidak menyetujui karena dasarnya sudah jelas bahwa “jilbaban itu wajib, Ketika ortu tidak menyetujuinya boleh kita sebagai anak melakukan tetap kewajiban kita dengan tetap menghormati bapak dan ibu” demikian mbak Laili menguatkan aku Ketika aku galau untuk terus berjilbab atau berhenti dan menuruti keluarga. Akhirnya aku nekat dengan menjual giwangku untuk membeli seragam sekolah, karena aku tidak mau merepotkan emakku hanya karena menuruti keinginanku untuk membeli seragam lagi padahal seragam sudah ada…..

Alhamdulillah jaman itu masih bisa dihitung jari siswi SMA 1 yang memakai jilbab, diantaranya adalah teman sekelasku Ida yang sadar karena kakaknya yang bernama mas Ibnu Bintarto termasuk juga aktivis keislaman di kampusnya. Jaman itu hanya orang aktivis dan yang sudah diwarnai oleh para aktivis itu yang berani berjilbab.  

Rasanya sangat beda sebelum jilbaban dan sesudahnya. Orang tidak berani sembarangan mencolek, walaupun dulu aku juga tidak termasuk yang sering dicolek sih, namun mata memandangku sudah tidak nakal lagi.   

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar